Sudah beberapa minggu ini Maura kurang tidur karena mempersiapkan fashion show yang menjadi tugas akhirnya. Ia mengambil tema etnik pada gaun malam yang didesainnya. Meski harus merogoh koceknya lebih dalam karena harus mendatangkan beberapa kain dari Indonesia tapi ia cukup puas.
Kepalanya mulai terasa sakit setelah kurang tidur beberapa lama. Ia bermaksud memejamkan matanya dulu saat ponselnya berbunyi. Tanpa melihat siapa yang menelponnya, ia menggeser tombol hijau sambil memejamkan kembali matanya.
“Hallo,” sapanya malas.
“Maura?”
Maura membelalak seketika. Jantungnya berdegup kencang. Ia menjauhkan ponselnya memeriksa siapa yang menelponnya.
“Andre?”
“Kamu di apartemen? Aku perlu bicara.”
“Iya.”
“Aku naik sekarang.”
“Hah? Tempatku lagi berantakan.”
Panggilan terputus. Maura masih mencoba mendapatkan kesadarannya ketika bel apartemennya berbunyi. Ia mengikat asal rambut panjangnya dan membukakan pintu.
Maura menunduk malu. Apartemennya masih berantakan. Begitu juga dengan dirinya. Ia sendiri sejak kemarin belum sempat mandi. Andre melongo mendapati banyak kain perca bertebaran.
“Kamu lagi ngerjain apa?” tanyanya heran.
“Tugas akhir,” Maura menyingkirkan beberapa benda di sofanya, dan memindahkannya dengan asal ke atas meja. Ia duduk menyandarkan kepalanya di punggung sofa.
“Aku ganggu ya?” Andre merasa prihatin dengan kondisi Maura yang berantakan.
“Ada apa?” Maura melirik Andre. Ia tentu saja senang laki-laki ini tiba-tiba menelpon dan muncul di hadapannya. Tapi tidak dalam kondisi dirinya begitu kacau begini. Rasanya Maura ingin menenggelamkan diri ke kolam saja.
“Itu kerjaanmu?” Andre menunjuk satu gaun yang menempel di manekin dengan cantik. “Bagus. Seleramu boleh juga.”
“Kamu ke sini bukan tanpa tujuan kan, Ndre?”
Andre menghela napas. Tadinya ia memang ingin menuntut penjelasan Maura mengapa ayah gadis ini sampai menelpon dan menanyakan hubungan mereka. Tapi melihat kekacauan yang sedang terjadi di ruangan apartemen ini, tiba-tiba saja ia merasa tak tega.
“Ini mau kamu tampilkan?”
“Iya.”
“Kapan?”
“Dua pekan lagi.”
Andre mengangguk. Gadis ini pasti kurang tidur mengerjakan semuanya. Apa ia harus menambah beban pikirannya sekarang?
“Seperti fashion show kan? Boleh dilihat untuk umum?” Andre memastikan.
Maura mengernyit. Apa Andre bermaksud untuk melihat dan memberinya dukungan? Ah beruntung sekali dirinya jika memang seperti itu. Tapi Maura tak ingin bermimpi terlalu tinggi. Dia sedang berusaha mewujudkan salah satu impiannya. Dan ia tak ingin bermimpi untuk hal lain yang mungkin bisa menghancurkan semuanya, termasuk dirinya.
“Boleh. Kamu mau ngobrolin apa tadi?”
“Gak penting. Nanti saja kalau urusan kamu yang ini sudah selesai. Aku gak mau menambah ruwet isi kepalamu.”
“Kamu sudah mengganggu waktu tidurku lho, Ndre. Dan sekarang kamu bilang gak penting.”
“Perempuan jam segini malah tidur.”
“Aku kurang tidur beberapa pekan ini.”
“Jadi aku mengganggumu?”
“Iya.”
“Ya sudah aku akan pergi sebentar lagi. Kamu pergilah tidur lagi.”
Maura menatap tak percaya laki-laki itu.
“Aku gak akan mengganggumu, Kak Maura,” Andre memberi penekanan pada sebutan Kak.
“Jangan kurang ajar.”
“Kamu kan memang lebih tua dariku,” Andre terkekeh. “Udah sana tidur, aku numpang sebentar.”
“Ambil sendiri kalau mau minum atau apapun. Jangan coba-coba masuk kamar.”
Maura bangkit. Meski sebetulnya ia enggan melewatkan moment bersama laki-laki ini, tapi tubuhnya sudah benar-benar butuh istirahat. Sepasang matanya sudah tak bisa lagi diajak kompromi.
“Iya. Jangan lupa kabari aku kapan kamu fashion show,” ucap Andre sebelum Maura menghilang di balik pintu kamarnya.
Maura merebahkan diri di kasur. Kepalanya kembali berdenyut. Ia memejamkan matanya. Ada perasaan tenang yang tiba-tiba hadir. Hingga kemudian, ia terlelap begitu nyenyak.
*
Andre bangkit menuju lemari pendingin untuk mengambil minuman. Ia melihat hanya ada beberapa butir apel dan roti tawar serta bahan makanan di kulkas.
Andre mengambil minuman dan satu butir apel. Ia membuka laptopnya dan mulai mengerjakan sesuatu. Ada urusan bisnis yang harus ia tangani beberapa hari ini di New York.
Dua hari lalu, ia sebenarnya mendapatkan telepon dari tuan Pahlevi Bimantara, ayah Maura, yang menanyakan kejelasan hubungan mereka. Bahkan bukan sekedar menanyakan. Laki-laki itu juga menuntut Andre untuk segera meresmikan hubungan mereka dan mempublikasikannya secara resmi.
Tadinya Andre ingin mengkonfirmasi hal tersebut pada Maura. Tapi melihat kekacauan di apartemen kecil itu, rasanya ia tak tega.
Ia seperti sedang melihat kamar kakak perempuannya ketika sedang menyelesaikan tugas akhirnya. Bermacam buku dan kertas bertebaran tak jelas di kamarnya. Nadya bahkan kerap mengungsi ke kamar Andre, yang membuat Andre harus rela tidur di sofa.
Andre juga yang kerap membelikan jajanan untuk kakaknya, karena kakak tertua mereka saat itu sudah tidak tinggal bersama di rumah orang tua mereka. Dialah yang banyak menjadi saksi perjuangan kakak perempuannya. Karenanya ketika melihat Maura membutuhkan bantuan, ia teringat Nadya dan tak bisa menolak membantu Maura.
Andre mengambil ponselnya dan melakukan pemesanan makanan melalui fasilitas pesan antar. Perutnya memang belum terlalu lapar, tapi nanti saat terbangun, Maura pasti kelaparan sementara di kulkasnya tinggal tersisa beberapa butir apel dan roti tawar saja. Entah makanan jenis apa yang masuk ke perutnya selama ia lembur menyelesaikan tugasnya.
*
Matahari sudah redup saat Maura membuka matanya. Akhirnya, ia bisa merasalak kembali tertidur dengan begitu nyaman. Sepertinya mimpinya terlalu indah hingga ia enggan bangun.
Maura tersenyum tipis. Tapi kemudian, sebuah kesadaran membuat ia menggeragap bangun. Andre memang datang kan?
Ia bangkit dan membuka pintu kamarnya. Tapi tak didapatinya siapapun di apartemennya selain dirinya dan sisa-sisa pekerjaannya yang berantakan. Maura duduk dengan lesu di atas kursi. Mencoba meluruskan kenyataan bahwa ia hanya bermimpi laki-laki itu datang ke apartemennya.
Tapi sebuah kotak pizza membuat matanya memicing. Ia membukanya perlahan. Pizza berukuran medium yang sudah terkurangi beberapa potong.
“Aku pergi. Terimakasih sudah memberi tumpangan. Makanlah. Kamu pasti lapar. Hangatkan dulu kalau tidurmu terlalu lama. Kabari aku kapan kamu fashion show. Siapa tahu aku bisa lihat. Andre.”
Begitu tulisan tangan yang ada di balik nota pizza.
Maura tersenyum lebar. Semua bukan sekedar mimpi. Maura terlalu bahagia, dan ia ingin menikmatinya sendiri saat ini. Dia tak peduli setelah ini bagaimana. Biarlah itu nanti saja ia pikirkan.
Dia mengambil air minum lalu menikmati pizza yang sudah dingin. Senyumnya tak berhenti mengembang. Entah apa yang membawa laki-laki itu tadi menelponnya dan datang ke apartemennya.
Maura sangat yakin Andre pasti ingin membicarakan hal yang penting. Tapi mungkin melihat kondisi Maura dan apartemennya yang berantakan, laki-laki itu mengurungkan niatnya dan membiarkan Maura beristirahat.
Rasanya Maura tak jadi menyesal karena tadi begitu mengantuk dan meninggalkan Andre sendirian.
***