Maura menghempaskan punggungnya di kasur. Daffa sebenarnya memintanya untuk menginap saja. Tapi Maura bersikeras untuk kembali ke apartemennya. Ia membutuhkan ruang untuk memikirkan kembali semuanya. Memilih Andre untuk membantunya, ternyata tak semudah yang ia kira. Lelaki itu terlalu superior untuk menuruti kemauan Maura.
Ia mengambil ponselnya, teringat Andre mengatakan ia sudah mentransfer balik uangnya. Dan ternyata memang benar. Ada mutasi masuk ke rekeningnya sejumlah yang ia transfer sebelumnya ke rekening Kenzo. Persis. Tak kurang satu senpun.
Apa maksudnya ia mengembalikan semuanya?
Pikiran Maura berkelana. Ia kemudian membuka salah satu sosial medianya dan mengetikkan nama Andre di sana. Beberapa profil muncul, tapi tak satupun yang sesuai dengan ekspektasinya. Maura kembali berpikir. Apa mungkin nama belakangnya bukan Lazuardi?
Maura akhirnya bangkit. Ia membuka laptop dan mulai mengecek beberapa informasi di internet. Mencoba mencari tahu melalui beberapa nama belakang yang ia ketahui, ada atau tidak yang memiliki anak laki-laki bernama Andre.
Hingga larut Maura berselancar, tapi tak satupun informasi yang memuaskannya. Ia akhirnya menutup laptopnya dan bergelung di balik selimutnya. Mengabaikan ponselnya yang berkedip-kedip menandakan pesan masuk.
*
Maura terlambat bangun esok paginya, padahal ada banyak hal yang harus dia bereskan hari ini di kampus. Kepalanya sedikit berdenyut karena ia tidur terlalu larut. Ia menuang su-su di gelas dan meminumnya, lalu mengambil satu butir apel. Mengenakan sepatu ketsnya dan membawa perlengkapannya ke kampus.
Maura benar-benar sibuk hari itu, ia bahkan tak sempat mengecek ponselnya. Setelah tengah hari dan perutnya terasa keroncongan, Maura baru sempat membuka ponselnya sambil mengisi perutnya yang kelaparan.
Grup pertemanannya ternyata ramai sejak semalam. Maura membukanya. Ada sebuah foto yang dikirim Emily.
‘Dia ternyata sudah officially merit’
‘Bodo amat.’
‘Kamu jahat, Kait. Dia itu gak sembarang artis lho.’
‘Iya. Dia ganteng. Cool. Pintar. Apalagi?’
‘Pewaris the eRWe’
Maura mengzoom foto yang dikirim Emily. Dia memang tak pernah mengikuti kabar dunia hiburan dan selebritis tanah air yang baginya penuh hura-hura semata. Dia bahkan tak mengenal siapa yang sedang dibicarakan kedua sahabatnya di grup mereka semalam.
Tapi begitu melihat foto di ponselnya, matanya membelalak. Wajah itu begitu mirip dengan Andre. Jantung Maura berdegup kencang. Siapa dia?
Maura membaca ulang perbincangan kedua sahabatnya semalam, mencoba mencari informasi tentang siapa yang sebenarnya mereka bicarakan semalam di grup. Tapi tak satupun ia temukan. Baik Emily maupun Kaitlyn tak menyebutkan nama sama sekali.
The Erwe. Maura mencoba mengorek informasi dalam memorinya, tapi tak satupun ingatannya membantunya, membuat Maura berdecak kesal.
Ponselnya berdering. Nama kakaknya muncul. Ia memang sempat melihat beberapa pesan dari Daffa tadi. Tapi belum sempat dibacanya.
“Kamu dimana? Gak lupa kan, kalau Papa akan pulang hari ini?”
Suara Daffa terdengar lebih ketus dari biasanya. Maura menepuk jidatnya. Dia bergegas keluar dari area kampus tanpa memperdulikan hal lainnya. Jika suara Daffa sudah meninggi, itu artinya taka da ampun lagi baginya.
“Iya, Kak. Aku ke sana.”
“Kamu dimana?”
“Kampus.”
Terdengar Daffa berdecak lalu sambungan teleponnya terputus. Maura merasa benar-benar sial. Bagaimana mungkin harinya begitu kacau. Semua gara-gara Andre. Umpatnya kesal.
*
Ayahnya sudah siap dengan kopornya saat Maura sampai di apartemen kakaknya. Mereka sudah akan berangkat ke bandara. Untung saja ia tepat waktu datang.
“Dari kampus?” sambut ayahnya.
“Iya, Pa. Maaf ya. Maura kesiangan tadi, jadi banyak kacaunya hari ini. Sampai lupa jadwal Papa pulang.”
“Kesiangan kenapa? Gak bisa tidur? Mikirin pacarmu semalam?” ledek ayahnya.
“Eh, enggak. Siapa yang mikirin dia.”
Ayahnya tertawa. “Kalau serius sama dia, tolong cek lagi latar belakang keluarganya, Maura,” ayahnya melingkarkan tangannya di pundak Maura sambil berjalan keluar apartemen.
“Bukan apa-apa. Kamu anak perempuan Papa satu-satunya. Papa juga pingin kamu mendapatkan calon suami yang jelas asal-usulnya. Gak hanya asal comot hanya karena dia ganteng.”
“Maksud Papa, Andre itu ganteng? Begitu?” tanya Maura berkelakar, mencoba mengubah suasana pembicaraan mereka agar tak terlalu serius.
“Ya, memang ganteng kan.”
“Aku rasa dia mirip sama seseorang. Tapi aku belum bisa ingat siapa,” sambung Daffa.
“Siapa?” tanya Maura dan ayahnya hampir berbarengan.
“Wajahnya terasa familiar. Mungkin artis atau siapalah.”
Mereka masuk ke dalam taksi dengan pikiran masing-masing. Maura dan ayahnya tampaknya berusaha mengolah informasi yang didapatnya dari Daffa.
Baru kali Maura menyesal tak pernah mengikuti berita gossip dunia hiburan tanah air. Dia bahkan takt ahu siapa saja artis tanah air yang tengah naik daun. Padahal Daffa pernah mengingatkannya, jika ia ingin berkarir sebagai desainer, maka artis-artis itu yang akan jadi konsumennya. Tak mungkin seorang kalangan biasa menggunakan gaun karya desainer setiap saat kan?
*
“Kamu kenapa?”
Tanya Daffa sepulang mereka dari airport. Mereka sepakat untuk mengantarkan Maura kembali ke kampusnya dengan menggunakan taksi. Dari sana, barulah Daffa akan kembali ke kantornya.
“Gak apa-apa.”
“Jangan bohong Maura.”
Maura berdecak. “Kakak tahu the eRWe?” tanyanya hati-hati.
“The Erwe? Kenapa memangnya?”
“Itu jaringan bisnis atau apa sih?”
“Hotel.”
“Oh.”
“Kenapa memangnya?”
“Punyanya artis?”
Daffa mengernyit. “Artis? Kayaknya pernah ada yang bilang begitu, pewaris The Erwe lebih memilih menjadi artis tapi Kakak gak paham yang mana. Ada apa?”
“Enggak sih. Tadi Kaitlyn sama Emily bahas itu.”
“Oh. Gimana kabar mereka? Sudah mau pada selesai kuliahnya?”
“Hmm kayaknya sengaja dilama-lamain biar gak balik ke Indonesia.”
“Awas aja kalau kamu juga pilih gitu.”
Maura hanya tertawa. Dia lalu mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu.
‘Kalian ngomongin apa sih? Kayak gak ada kerjaan, ngegibahin laki orang.’
‘Ra, akhirnya lo muncul juga,’ balas Emily cepat.
‘Em patah hati, Ra. Hahaha.’
‘Siapa sih dia. Gak jelas makanya dari samping gitu.’
Sebuah foto close up lalu muncul, membuat jantung Maura berdebar keras. Mengapa begitu mirip?
‘Raka Akarsana,’ tulis Emily.
‘Akarsana nama keluarganya?’
‘Bukan, Ra. Kamu sih gak mau nonton sinetron. Itu namanya. Nama keluarganya Ranuwijaya.’
‘Yang punya jaringan hotel The Erwe, Ra,’ tambah Kaitlyn.
‘Oooh.’
Maura menyimpan nama itu dalam catatan di ponselnya. Sepertinya, ia memang harus mencari tahu kebenaran informasi ini. Siapa tadi? Raka Akarsana Ranuwijaya?
***