Maura menutup telinganya. Dia sedang berkonsentrasi pada tugasnya saat sahabatnya tak henti berbicara tentang pesta dansa yang akan diadakan salah satu anak konglomerat dari negeri asal mereka.
“Maura, lo kenapa sih?” Emily menarik tangan Maura, sementara Kaitlyn mengintip laptop sahabatnya itu.
“Uhu, cakep banget. Kamu kayaknya butuh model cowok untuk itu, Ra.”
“Temenku ada,” jawab Maura acuh. Ia sudah tahu kemana arah pembicaraan selanjutnya.
“Hemm, bule-bule itu mana cocok buat jadi model outfit yang etnik begitu.”
“Apaan sih, coba lihat,” Emily menggeser monitor Maura.
“Em, pelan-pelan. Mahal ini.”
“Ih, duit bapak lo kan banyak. Ah temenmu kan pada gemulai, Ra, mana cocok bawain desain lo. Cari yang eksotik juga dong. Ikut deh, besok. Eh, anak-anak bisnis Harvard mau pada dateng katanya.”
“Males ah.”
Maura tahu benar, anak-anak Indonesia yang kuliah di sekolah bisnis Harvard pasti dari kalangan pebisnis juga. Mereka adalah para pewaris bisnis keluarga yang digadang-gadang akan menjadi penerus kerajaan bisnis keluarganya. Apa istimewanya?
Lahir dan besar di keluarga pebisnis kelas atas, membuat Maura jengah dengan segala intrik kehidupan para konglomerat. Apalagi perihal percintaan yang kerap tak menguntungkannya. Terakhir kali ia dekat dengan seseorang, ayahnya murka dan mengirimnya ke tempat ini.
Maura menginginkan seseorang yang bisa memberinya kedamaian tanpa perebutan harta dan tahta. Seseorang yang mungkin dari kalangan biasa saja tapi menghargai dan meratukan Maura. Menempatkannya sebagai prioritas, tak hanya sekedar opsi apalagi sebuah objek dan alat tukar semata.
“Ra, udah deh, jangan terlalu mencari romantisme. Laki-laki tuh yang penting berduit,” kata Emily.
Emily adalah yang paling hedon dan cuek dengan segala bentuk romantisme perasaan. Ia lebih banyak menggunakan kepalanya dalam bertindak. Dia tak pernah memiliki hubungan yang intens selain karena simbiosis mutualisme saja. Satu-satunya hubungan yang bertahan lama yang ia miliki adalah persahabatannya dengan Maura dan Kaitlyn.
“Iya, Ra, laki sekarang banyak yang mokondo. Tapi yang duitnya banyak pun belagu. Makanya kita gak boleh lemah.”
Maura dan Emily tertawa teringat pacar terakhir Kaitlyn. Seorang laki-laki kebangsaan Inggris yang mendekati gadis itu karena butuh tumpangan tempat tinggal sementara.
“Gak usah curhat,” tegur Em.
“Ayo kita dateng ke pesta dansa pakai outfit desain Maura,” usul Kaitlyn.
“Kita ke apartemen lo yuk, Ra, liat baju.”
“Enggak. Nanti kalian acak-acak lagi,” tolak Maura.
“Ra, lo beneran gak bisa move on dari om Genta lo itu?” tuduh Kaitlyn tiba-tiba.
“Apaan sih kalian? Jangan asal nuduh deh.”
“Abisnya sejak itu lo gak pernah jalan sama siapapun.”
“Jangan sok tahu!”
“Jadi lo pernah jalan sama cowok lain tapi gak kasih tahu kita?” tuduh Emily.
“Brisik lo pada.”
Maura melipat notebooknya dan berjalan cepat meninggalkan kedua temannya itu, membuat kedua sahabatnya tergopoh-gopoh mengejarnya.
*
Setelah beberapa hari membujuk Maura, Emily dan Kaitlyn akhirnya tertawa lebar begitu sahabatnya mengijinkannya melihat koleksi gaunnya. Beberapa gaun itu adalah hasil karya Maura sendiri. Ia yang kuliah di jurusan desain, memang kerap membuat beberapa model pakaian untuk tugas kuliahnya.
Emily dan Kaitlyn lah yang paling bahagia dengan semua tugas-tugas kuliah Maura. Mereka berteman sejak SMA dan kini sama-sama kuliah di New York meski di kampus yang berbeda dengan Maura. Maura yang memang suka mendesain baju sejak kecil akhirnya mengambil sekolah desain di sana.
Mereka berangkat ke pesta dansa bertiga. Acara itu diadakan di sebuah klub malam. Seorang anak konglomerat yang mengundang circle sesama anak konglomerat yang sedang kuliah di negeri paman sam tersebut.
Sebagian besar mereka mengambil jurusan bisnis, meski ada beberapa yang mengambil arsitektur, IT, kedokteran, dan hukum. Mungkin hanya Maura seorang yang mengambil jurusan desain fashion.
Maura kenal sebagian dari mereka meski ia tak terlalu antusias untuk mengenal lebih dekat. Ia memilih duduk di meja bar tanpa berniat memesan minuman.
Seorang laki-laki yang baru Maura lihat duduk di sisinya. Meski cukup tampan, ia terlihat lebih sederhana dibanding yang lainnya. Tak ada brand mahal internasional yang menempel di tubuhnya.
“No, thanks,” dia menolak bartender yang menawarinya minum.
“Gak minum alkohol?” tanya Maura. “Aku kayaknya baru lihat kamu. Aku Maura. Maura Bimantara,” Maura mengulurkan tangannya.
“Andre. Andre Lazuardi.”
Dalam otaknya, Maura berusaha mencari file nama keluarga Lazuardi, tapi tak satu pun berhasil ia temukan. Dan ia pun baru melihatnya kali ini. Apa mungkin exchange student?
“Kuliah dimana?”
“Business school.”
“Harvard?”
Andre mengangguk acuh. Ia memang berusaha menutupi identitas keluarganya selama kuliah. Ia ingin orang melihatna terlebih dahulu sebagai Andre, bukan sebagai seorang Ranuwijaya.
“Kok aku baru lihat. Gak pernah ikut acara mereka?”
Andre menggeleng. Pembawaannya yang cuek justru menarik perhatian Maura. Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya yang bergetar, lalu bergegas keluar sebelum menjawabnya. Dan entah apa yang begitu menarik bagi Maura sehingga ia mengikutinya.
Tunggu. Maura yang sekian lama tak pernah berkencan dengan laki-laki, tiba-tiba tertarik pada makhluk ini? Jangan biarkan Emily dan Kaitlyn mengetahuinya, atau Maura akan diinterogasi habis-habisan.
***