Maura melihat Andre menerima telepon di luar. Ia menjaga jarak agar tak mendengar percakapan yang tampaknya penting. Laki-laki itu berdiri membelakanginya sambil menendang sesuatu dengan ujung sepatunya. Ia kemudian mengerutkan kening begitu berbalik dan mendapati sosok Maura ada di sana.
Kepalang tanggung tertangkap basah mengikutinya, Maura akhirnya mendekat tanpa bersuara. Membiarkan Andre menyelesaikan percakapannya di telepon.
“Nguping?” sindirnya sambir mengantongi kembali ponselnya di saku jaketnya. Maura baru menyadari sejak tadi laki-laki itu masih mengenakan jaketnya.
“Aku bahkan cuma mendengar ujungnya tanpa paham isinya.”
Andre mengangkat bahu acuh. “Aku mau jalan-jalan. Acara itu gak cocok buatku.”
“Aku ikut.”
Andre mengernyit.
“Aku tinggal gak jauh dari sini.”
“Aku gak punya kendaraan untuk mengantarmu.”
“Kita bisa jalan bareng. Tadi kamu bilang mau jalan-jalan kan?”
Maura mendahului berjalan menuju arah apartemennya. Andre yang melihat gaun yang dikenakan Maura mengekspos sebagian punggungnya, akhirnya melepaskan jaketnya dan menyandarkannya di bahu gadis itu.
“Thanks,” Maura tersenyum.
“Aku temani kamu pulang.”
“Kamu kenapa datang ke acara tadi?”
“Diajak teman. Aku lagi ada sedikit keperluan di sini.”
“Kalau begitu kita sama. Bagian diajak teman tadi.”
Mereka berjalan berdua dalam diam. Malam masih cukup terang dengan jalanan yang tak pernah sepi manusia.
“Apartemenku di ujung situ. Kamu tinggal dimana?”
“Aku antar kamu sampai apartemen.”
Maura menyadari sesuatu. Laki-laki ini tak mau mengatakan dimana ia tinggal, tapi ingin mengantar Maura sampai ke apartemennya. Apa ia tulus memastikan Maura aman, atau ia hanya sekedar modus supaya tahu dimana Maura tinggal.
“Aku tinggal di lantai lima. Mau mampir?” tawar Maura.
Andre menggeleng. “No. Thanks. Aku duluan. Take care.”
“Andre,” panggil Maura saat Andre baru beranjak beberapa langkah. “Kita belum tukeran nomer ponsel,” Maura menyodorkan ponselnya pada Andre.
Andre tersenyum datar. Ia mengetikkan nomornya pada ponsel Maura dan tak lama kemudian ponselnya bergetar.
“Itu nomerku. Simpan ya. Namaku Maura, jangan lupa.”
Maura berbalik dengan anggun. Demikian juga Andre. Keduanya berpisah begitu saja tanpa berencana untuk kembali bertemu.
*
Maura mengernyit heran. Kenapa jadi gue yang agresif? Seketika wajahnya memerah karena malu. Ia berdiri di dekat jendela apartemennya dan menyibak tirainya. Melihat ke arah jalanan dan mencoba mencari sosok Andre di sana, lalu mendesah kecewa.
Ponselnya berbunyi tak lama kemudian. Nama salah satu sahabatnya muncul. Ia menggeser tombol hijau sambil menghempaskan punggungnya di sofa.
“Ya, Kait.”
“Lo dimana? Jangan bilang lo kabur sama cowok?”
“Gue di apartemen. Pusing kepala gue lihat orang-orang itu,” Maura berbohong.
Dia tak mungkin mengatakan pada mereka bahwa ia kabur mengikuti cowok yang baru saja dilihatnya kan? Betapa bodohnya Maura. Bagaimana kalau tadi Andre menjahatinya? Mana ia menawari laki-laki untuk mampir pula tadi. Maura menutup wajahnya dengan bantal sofa menyesali kebodohannya.
“Tapi lo gak kenapa-napa kan, Ra?”
“I’m okay. Don’t worry. Kalian lanjutin aja, siapa tahu ketemu jodoh di sana.”
“Yakin kita gak perlu balik nyusul lo?”
“Enggak. Kalian lanjutin seneng-seneng aja. Sorry ya gue gak pamit tadi.”
“Gak dijahilin cowok yang tadi duduk samping lo di meja bar kan?”
“Hah?” Maura tak mengira Kaitlyn melihatnya. “Jangan doain jelek dong. Udah ah, gue mau mandi terus tidur.”
Maura masuk ke kamarnya. Ia meletakkan ponselnya di nakas kemudian masuk ke kamar mandi. Membiarkan air hangat mengguyur tubuhnya.
Sejak tinggal di New York, Maura selalu mandi menjelang tidur. Merilekskan otot-otot tubuhnya dengan air hangat sebelum bergelung di balik selimut sambil membaca buku.
*
Maura membuka matanya yang masih mengantuk. Ponselnya berderit sejak tadi memaksa mimpinya berakhir. Dia mendesah mendapati nomor ayahnya di layar.
“Ya, Papa,” jawabnya enggan.
“Baru bangun?”
“Papa ini masih jam enam pagi.”
“Papa minggu depan ke New York. Ada urusan bisnis. Dan ada yang perlu Papa bicarakan sama kamu.”
“Soal apa?” Maura memicing waspada.
“Keluarga Prayoga menanyakan kamu.”
“Papa,” Maura bangkit tak terima.
“Jangan buru-buru menolak, Maura. Kamu bahkan belum tahu anak keluarga Prayoga yang mana.”
“Papa, jangan Papa kira aku gak ngerti anak-anak mereka. Aku bisa cari tahu sendiri, Papa.”
“Jangan mudah percaya media. Media itu gampang dipelintir asal kita punya uang.”
“Tidak bisakah Papa biarkan aku tenang kuliah dan memilih sendiri pendampingku nanti?”
“Memilih yang seperti apa? Yang jauh lebih tua darimu dan tidak jelas asal-usulnya itu?”
Maura berdecak. Kedekatannya dulu dengan seseorang selalu dijadikan senjata bagi keluarganya untuk membuat Maura kalah berdebat. Dia memang salah mendekati laki-laki matang saat usianya masih belia. Bertingkah seperti sugar baby. Tapi itu dilakukannya hanya untuk bersenang-senang dan taruhan saja.
“Denger, Papa gak mau mendengar penolakan kamu sekarang. Apalagi tanpa alasan yang jelas. Nanti setelah kita bicara dan kamu punya argument yang kuat untuk menolak, bisa Papa pertimbangkan. Ini baru rencana, Maura. Setidaknya kita harus menghargai niat baik keluarga Prayoga.”
“Ya, Maura mengerti.”
Maura kembali memeluk gulingnya. Dia tahu siapa saja anak laki-laki keluarga Prayoga. Keluarga yang banyak memiliki bisnis pada infrastruktur jalan.
“Aaarrgh,” Maura menjambak rambutnya sendiri dengan kesal.
Ia harus melakukan sesuatu.
***