Bab 3: Rencana Perjodohan

801 Words
“Kenapa? Ayo cepat, waktuku gak banyak,” ucap Daffa sambil menyuap croissant ke mulutnya. Maura, adik perempuan satu-satunya itu, menelponnya pagi-pagi dan memaksanya bertemu. Akhirnya dipilihlah kafe yang searah kantor Daffa agar ia juga sempat sarapan. Mereka memang tak lagi tinggal di apartemen yang sama. Maura memerlukan ruang yang cukup untuk menampung manekin dan semua hasil karyanya. Belum lagi studio mini yang digunakannya untuk membuat foto katalog. Dia tak ingin merepotkan kakaknya itu dengan semua barang-barangnya. Apalagi Daffa membayar apartemennya sendiri dari hasil bekerja di sebuah kantor konsultan keuangan. “Papa telepon aku tadi katanya minggu depan mau ke sini.” “Ya bagus kan. Kita bisa peras Papa selama di sini.” “Keluarga Prayoga katanya menanyakan aku.” “Soal apa? Perjodohan?” Maura mengangguk lesu. Dia sudah beberapa kali hendak dijodohkan dengan anak dari relasi bisnis ayahnya. Tapi tak ada satupun yang digubrisnya. “Bilang aja kamu nunggu Kak Daffa nikah dulu.” “Papa mana terima alasan begitu.” Daffa tertawa. “Kamu sudah punya pilihan lain belum? Selain Genta ya, Ra. Kakak pun gak rela kalau kamu sama dia.” “Aku tuh gak ada apa-apa sama dia, Kak.” “Tapi dia ada apa-apa sama kamu, Maura Sayang.” Maura menekuk wajahnya dengan kesal. Ia tahu ia salah, tapi tak menyangka akan sampai berlarut seperti ini jadinya. Dia mendekati Genta hanya penasaran saja. Dan lagi laki-laki itu baik pada Maura, meski banyak berita miring yang Maura dengar tentangnya. “Keluarga Prayoga kan juga baik.” “Anaknya yang single kan tinggal Michael, Kak. Kak Daffa tahu sendiri dia gimana.” Daffa kembali tertawa. Dia jelas tahu persis pergaulan anak-anak relasi bisnis ayah mereka. Mereka berada di dalam satu circle yang sama. Circle sekolah mereka bahkan selalu saja beririsan satu sama lain sehingga terlalu mudah untuk saling mengetahui aib masing-masing. “Kasian bener sih kamu. Cantik-cantik tapi belum laku juga,” ia mengacak rambut Maura dengan gemas. “Kak Daffa, bahasanya lho. Jelek amat. Kakak juga belom laku padahal sudah tiga puluh lebih. Nyari yang kayak apa coba?” “Kalau cuma yang cakep sih banyak, Ra, yang ngantri.” Maura mengangguk setuju. Daffa memang berbeda dengan dua kakaknya yang lain. Jadi yang jadi istri kakaknya kelak, tak cukup sekedar cantik dan pintar. “Kak Daffa harus tolongin aku pokoknya.” “Temenmu gak ada yang bisa bikin kamu naksir gitu?” “Aku tuh gak mau sama anak pengusaha-pengusaha itu lho, Kak. Ribet hidupnya.” “Kayak kamu gak ribet aja jadi cewek. Gak harus anak pengusaha, Ra. Kalau dia high quality Papa pasti oke kok. Kamu tuh anak perempuan satu-satunya, Maura. Wajar Papa agak strict ke kamu. Beda sama Kakak. Papa masih punya Anthony dan Nicholas untuk diandalkan.” Maura mendesah. “Apa harus begitu, Kak?” “Begitu apa?” “Tunjukin cowok ke Papa?” “Kamu punya cara lain?” “Temen cowok Kak Daffa gak ada gitu yang rekomended buat jadi pacar pura-pura aku?” “Hah? Apa? Enggak.” Daffa sungguh tak habis pikir dengan adik bungsunya ini. Apa katanya tadi? Pacar pura-pura? “Temen kantor Kakak kan eksekutif muda semua. Masa gak ada yang bisa Kak Daffa rekomendasikan ke aku.’ “Jangan ngaco,” Daffa menyentil kening Maura. “Kita bicara lagi nanti. Kakak bisa telat kalo dengerin kamu terus. Kamu kabari Kakak nanti rencanamu. Kakak jalan dulu. Jangan coba-coba bawa sembarang laki-laki.” Maura melepas kepergian kakaknya dengan wajah murung. Dari ketiga kakak laki-lakinya, Daffa lah yang paling dekat dengannya. Dan Daffa pula yang dengan sukarela pindah dari Chicago ke New York saat ayahnya hendak mengirimnya sekolah keluar dan Maura menginginkan sekolah desain fashion sebagai tujuannya. Maura menghabiskan sarapannya sebelum kembali ke apartemennya dengan lesu. Jarak apartemennya dengan apartemen Daffa tidak lahterlalu jauh. Maura terbiasa berjalan kaki selama di sana. Beda cerita kalau ia berada di Jakarta. Tuhan, aku harus gimana? Siapa yang bisa aku kenalkan ke Papa sebagai pacarku? gumamnya dalam hati. Tanpa sengaja, ia melihat bayangan seseorang yang dikenalnya. Jantung Maura mendadak berdegup kencang. Apa dia jawabannya, Tuhan? Andre berjalan keluar dari sebuah restoran dengan mengenakan training dan T-shirt serta sepatu olahraga. Tubuh atletisnya tampak berbaur dengan natural bersama orang lain. “Andre,” gumamnya. Maura seakan terhipnotis oleh gerakan di kejauhan itu. Jantungnya dengan tidak sopan berdetak lebih kencang. Ia bergegas hendak menyusul sambil meneriakkan namanya. Tapi suara Maura hilang ditelan hiruk pikuk orang yang berlalu lalang. Andre terus saja melangkah, mengayunkan kaki panjangnya, memperlebar jarak. Maura tak kehabisan akal. Dia mengeluarkan ponselnya dan menelpon laki-laki itu, berharap Andre akan segera berhenti. “Andre, please,” ucapnya sambil berlari mengejar Andre. Napas Maura terengah. Dia nyaris putus asa ketika teleponnya tak juga dijawab. Namun tiba-tiba, laki-laki itu menengok. Menatap ke arahnya dengan sedikit mengerutkan kening. Dunia Maura terasa berhenti sedetik itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD