Senyum Maura mengembang. Harapannya seakan melambung seketika ke langit ketujuh. Tapi seketika itu juga ia seperti dijatuhkan hingga ke pusat bumi yang paling dalam. Andre berbalik dan melangkah lebar menjauhi Maura.
“Andre,” gumamnya putus asa.
Maura sudah tak mungkin mengejar. Kakinya sudah berasa kebas. Ia tak biasa berlari. Ia butuh duduk. Dengan gontai, Maura menyebrang ke taman, mencari kursi kosong, dan duduk di sana, menekuri kesialannya.
Kakinya yang tadi ia paksa berlari tapi entah kenapa hatinya yang terasa begitu sakit. Padahal ia tak mengenal Andre. Mereka baru bertemu semalam. Itu pun sekedar bertemu dan menyusuri jalan bersama. Tak ada apa-apa.
Maura, sadarlah. Air mata Maura tiba-tiba merebak. Ia duduk diam di sana hampir setengah jam ketika ponselnya bergetar. Tanpa melihat siapa yang menelpon, Maura menempelkan ponselnya di telinga.
“Ada apa menelponku lebih dari sekali?” sebuah suara berat terdengar di sebrang sana.
Maura berusaha berpikir sejenak. Ia kemudian menjauhkan teleponnya untuk melihat siapa yang menelpon. Dia menutup mulutnya dengan satu tangan menyadari siapa sang penelpon. Jantungnya kembali berdetak kencang.
“Gak ada apa-apa,” jawabnya parau.
Entah bagaimana lidahnya kelu, dan ia ingin menangis. Ada apa sebenarnya dengan dirinya.
“Kamu dimana?” tanya seseorang di seberang sana.
“Taman,” jawabnya datar.
“Shareloc sekarang, dan tunggu aku di sana. Jangan bergerak kemanapun.”
Kata-kata itu begitu tegas. Membuat Maura tak punya pilihan lain selain menurutinya. Memangnya dia mau kemana. Kakinya saja masih terasa sakit. Maura membagikan lokasinya melalui aplikasi dan duduk diam menunggu di sana.
Ada sesuatu yang tak ia mengerti di hatinya. Sesuatu yang baru yang belum pernah ia kenali. Sesuatu yang melewati batas-batas nalarnya. Maura tak pernah merasakan ini sebelumnya.
Mata Maura kembali berkaca-kaca. Andre berdiri di hadapannya dengan pakaian yang sama yang dilihat Maura tadi. Laki-laki itu mengernyit heran. Ia membungkuk sedikit mengamati sepasang mata di depannya.
“Habis nangis? Diputus pacar lo?” Andre duduk dengan cuek di sisi Maura. Merentangkan tangannya di punggung kursi di belakang Maura, dan melipat satu kakinya menikmati udara pagi yang hangat.
Maura memberengut. Kenapa pula ia sampai menangis tadi. Apa sebenarnya yang ia tangisi? Menyebalkan sekali.
Andre melirik Maura. “Ada apa menelponku? Aku tadi habis lari, ponsel kutinggal. Sorry ya, kalau bau keringat. Belum sempat ganti,” Andre menggeser sedikit duduknya menjauhi Maura.
“Aku tadi lihat kamu keluar dari resto.”
Andre tak menyahut. Ia memang tadi sempat sarapan di resto setelah berlari. Apa gadis ini melihatnya kemudian menelponnya? Waktu panggilan teleponnya yang tertera di ponsel rasanya sesuai. Andre mengedarkan pandangannya mengelilingi sekitar sambil berpikir.
“Kamu berapa lama di sini?” tanya Maura.
“Hari ini aku balik.”
“Gak ke sini lagi?”
“Pekan depan mungkin. Aku ada sedikit urusan.”
“Pasti ke sini kan?”
“Belum tahu juga. Kenapa?”
Maura menarik napas panjang. “Aku butuh bantuan kamu.”
“Apa?”
“Jadi pacar aku.”
“What?”
“Pura-pura aja, Ndre," ralat Maura cepat. Ia tak mau laki-laki ini beranggapan ia serius menembaknya. "Papa aku akan ke sini. Kalau aku belum punya pacar, Papa mau jodohin aku sama anak relasi bisnisnya.”
“Kamu mau bohongin orang tuamu sendiri?”
“Bukan begitu.”
“Minta tolong orang lain aja,” tolak Andre tegas. "Kita baru ketemu semalam. Bagaimana mungkin kamu minta orang yang baru sekali kamu temui untuk menjadi pacarmu dan kamu kenalkan orang tuamu," Andre beralasan.
“Please. Gak ada lagi orang lain yang bisa bantu yang gak dikenal Papaku.”
“Hei, bule banyak. Orang Indonesia juga di sini banyak.”
“Ndre, apa susahnya bantuin temen.”
“Temen? Lo yakin kita berteman? Kita baru ketemu semalem kalau lo lupa.”
Maura menghela napas kemudian menunduk malu. Apa ia terlalu agresif? Atau Andre yang terlalu angkuh? Siapa dia sebenarnya?
“Ya sudah gak apa-apa kalau lo gak mau bantuin. Mungkin udah nasib gue jadi menantu keluarga Prayoga.”
"Prayoga siapa?"
“Prayoga Brata.”
"Bagus dong. Konglomerat."
“Kamu tahu?”
“Pernah denger.”
Keduanya kemudian terdiam beberapa lama. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga Maura bangkit berpamitan terlebih dahulu..
“Aku harus ke kampus. Thanks ya udah nyusul aku ke sini.”
Andre hanya menatap datar punggung yang terlihat rapuh itu. Maura Bimantara. Bungsu dan perempuan satu-satunya dari keluarga Bimantara. Andre bukannya tak tahu tentang perempuan yang semalam ia temui dan pagi ini tiba-tiba menelponnya. Terlalu mudah bagi dirinya untuk mengetahui tentang Maura.
Dan siapa anak keluarga Prayoga Brata yang hendak dijodohkan dengannya? Si bungsu Michael? Yang benar saja.
Andre tersenyum miris. Siapa yang tak tahu reputasi Michael. Jika bukan karena nama keluarganya, pemuda itu tak ubahnya seperti laki-laki pengangguran pembuat onar.
Andre melirik smart watchnya. Ia memang tidak mengaktifkan data seluler di smart watchnya tadi hingga tidak tahu ada panggilan masuk dari Maura saat ponselnya tertinggal.
Bimantara dan Prayoga Brata. Sepertinya menarik.
Andre mengetikkan sesuatu di ponselnya seraya bangkit meninggalkan taman untuk kembali ke apartemennya yang terletak tak jauh dari situ.
***