Maura sedang menghadapi buku sketsa dan notebooknya saat Kaitlyn masuk ke apartemennya. Sahabatnya itu begitu khawatir karena Maura terkesan menghindar dan sulit dihubungi sejak pesta dansa tempo hari.
“Maura, lo kenapa sih?”
“Gak apa-apa. Gue lagi mikirin tugas aja, belum ketemu tema yang pas buat fashion show.”
“Maura,” Kaitlyn menutup notebook Maura. Dia tahu sahabatnya itu sedang tidak berkonsentrasi pada notebook maupun sketsanya.
“Ayo cerita ada apa. “
“It’s okay, Kait. Gue waktu itu pergi duluan karena gak nyaman aja.”
“Bukan cuma itu kan yang bikin lo menghindar beberapa hari ini?’
“Papa mau ke sini. Mau ngomongin perjodohan sama anaknya Prayoga Brata,” aku Maura meski bukan itu penyebab terbesar kegundahan hatinya.
“Hah?” Kaitlyn melongo. “Anak Prayoga Brata yang mana? Michael? Jangan deh, Ra. Red flag banget dia tuh.”
“Bukan perkara Michael atau siapa sih, Kait. Gue udah enek aja sama semuanya. Begitu-begitu semua gaya hidupnya. Kerja, klub, one night stand. Udah illfil gue.”
“Ya emang mau ngapain lagi. Mereka kan udah gak mikir tagihan. Makanya lo coba clubling sering-sering biar ngerti rasanya.”
“Kapok gue. Lo sama Emily tuh juga sama aja.”
Kaitlyn tertawa. “Beda dikit dong. Nyatanya kita bisa bestie-an. Terus gimana rencana lo?”
“Ya gak tahu. Kak Daffa sih nyuruh gue bawa cowok buat dikenalin ke Papa.”
“Bawa aja temen lo atau temennya Daffa kek. Yang bule aja, jadi Papa lo mau ngelacak keluarganya agak susah. Jangan bawa orang kita deh, Ra. Bakal ketahuan anaknya siapa dan t***k bengeknya.”
“Kak Daffa gak mau minjemin salah satu temennya.”
Kaitlyn kembali tertawa. “Lo kira duit pake pinjem. Tapi temen Daffa boleh juga lho, Ra.”
“Puas bener ya ketawanya.”
“Kamu pulang sama siapa dari pesta dansa?”
“Sendiri.”
“Jangan bohong. Temen gue ada yang lihat lo sama cowok.”
“Cuma ditemenin jalan doang.”
“Siapa?”
“Andre.”
“Andre siapa?”
“Andre Lazuardi.”
“Lazuardi siapa?”
“Mana gue tahu. Dia cuma bilang begitu. Lagian apa pentingnya buat gue.”
“Ya siapa tahu jodoh kan?”
Maura mencibir. Dia menunduk malu teringat ia pernah meminta Andre untuk menjadi pacar pura-puranya. Sekarang sepertinya ia memang harus pasrah. Siapapun yang papanya akan jodohkan dengannya, pasti sudah diseleksi baik-baik. Setidaknya Maura tidak perlu hidup susah mikirin tagihan.
Maura meraih pinsilnya dan mulai membuat coretan di buku sketsanya. Melihat sahabatnya tampak mulai sibuk menuangkan idenya, Kaitlyn menyingkir ke sofa dan membuka ponselnya.
*
Setelah Kaitlyn, malamnya, Daffa mampir ke apartemen adiknya sepulang dari kantor dengan membawa makanan. Maura seharian ini memang tak keluar. Bahkan ke kampus pun tidak. Ia sedang sibuk mengerjakan project fashion shownya.
“Ayo makan dulu. Kamu pasti belum makan kan?” Daffa meletakkan makanan yang dibawanya, kemudian menuju pantry untuk mencuci tangannya.
“Gak baik lho balas dendam ke kerjaan begitu,” tambah Daffa.
“Siapa yang balas dendam.”
“Ayo sini, kita makan sambil ngobrol,” Daffa mengambil dua gelas dan mengisinya dengan air mineral.
Daffa membuka ramen yang dibawanya. Aroma yang semerbak akhirnya membuat Maura beranjak ke sofa tempat kakaknya duduk. Ia mengambil bagiannya dan melipat kedua kakinya di sofa, menghadap ke kakaknya.
“Papa udah telepon Kakak. Besok lusa sampai sini.”
“Uhuk,” Maura tersedak. Ia terbatuk berkali-kali membuat Daffa memberinya air putih dan menepuk-nepuk punggungnya.
“Gak usah dipikir serius kalau kamu emang belum siap nikah. Kalau perjodohannya bertahan sampai pernikahan ya mungkin emang dia jodoh kamu. Kalau gak jodoh ya, Alhamdulillah, berarti ada yang lain yang lebih baik.”
“Kakak kok bisa sesantai itu?”
“Ya ngapain dipikir pusing sekarang. Nanti juga lebih pusing lagi. Emang nikah bakal happy terus, lebih banyak pusingnya tau.”
“Sok tau Kakak. Terus Maura terima aja nih?”
“Pokoknya kamu jangan ngelawan Papa, didengerin aja dulu gimana maunya. Nanti kita sambil kumpulin bukti kalau memang Michael gak baik, Kakak yakin Papa gak akan gitu aja lepasin kamu sama dia.”
“Tapi nanti Papa jodoh-jodohin aku lagi sama yang lain.”
“Ya kalau kamu udah punya pilihan sendiri yang bisa buat Papa mikir he’s the best one, bawalah kenalin ke Papa. Atau ke Kakak dulu biar Kakak lihat fit and proper enggak. Ada?”
“Hah apaan?”
“Ada enggak?”
“Siapa?”
“Malah nanya.”
“Temen Kakak gak ada ya? Bule gak apa-apa deh. Biar aku gak usah balik ke Indon.”
“Kamu gak punya temen cowok apa?”
“Ya banyak. Tapi gak ada yang cukup capable dijadiin suami.”
“Kamu masih muda kok. Gak usah buru-buru juga. Lakuin aja semua hal yang memang kamu ingin lakuin. Ngejar karir. Travelling.”
“Kakak lagi ngomongin diri sendiri?”
Daffa tertawa. “Mau ikut enggak?”
“Kemana?”
“Eropa Timur.”
“Boleh?”
“Boleh dong. Gak di hotel-hotel mewah tapi ya. Bener-bener travelling.”
“Sama Kak Daffa kan?”
“Iya. Nanti aku mintakan ijin ke Papa sekalian kalau mau.”
“Aku mau. Thanks ya kak.”
“Besok kalau diajak ketemuan sama keluarga siapapun yang mau dijodohin Papa, bilang Kakak, biar Kak Daffa ikut.”
Maura tersenyum lebar. Dia tahu kakaknya satu ini paling bisa diandalkan.
***