Bab 6: Unexpected

1012 Words
Maura memeluk ayahnya. Ia menjemput laki-laki itu bersama Daffa. Ayahnya akan menginap di tempat Daffa terlebih dahulu karena ada urusan bisnis yang perlu ia diskusikan dengan anak keduanya itu. “Kamu tambah kurusan.” “Maura lagi nyiapin fashion show, jadi kurang tidur.” “Pasti makannya gak keurus juga.” “Makan kok. Kakak sering anterin makanan.” “Kerjaanmu beres, Daf?” “Beres, Pa.” “Kamu kapan selesai, Ra?” “Tahun depan mudah-mudahan, Pa.” “Papa istirahat di apartemen dulu kan?” tanya Daffa memastikan “Iya.” “Sama Maura dulu ya nanti, aku masih ada kerjaan di kantor.” Daffa sudah menyiapkan kamarnya untuk ditempati ayahnya. Ia kemudian pamit kembali ke kantor, sementara Maura menyiapkan teh untuk ayah mereka. “Papa berapa lama rencananya?” “Seminggu paling lama.” Maura menghela napas. Seminggu bersama papanya? Bukannya Maura tak suka ayahnya ada di dekatnya. Tapi laki-laki itu, meski telah menjelajah banyak negara maju, kadang masih kolot pemikirannya menurut Maura. Terutama perihal pernikahan. “Kamu udah pikirin yang Papa kasih tahu ditelepon tempo hari?” “Soal apa?” Maura menyodorkan secangkir teh pada ayahnya. “Perjodohan kamu.” “Papa bisa enggak sih gak usah jodoh-jodohin aku.” “Bisa aja. Kalau kamu gak coba-coba deketin sembarang laki-laki.” “Sembarang laki-laki siapa? Gak ada aku deket sama siapapun kecuali kak Daffa.” “Genta. Awas saja kalau kamu masih berhubungan sama dia.” “Enggak, Papa. Dia itu cuma temen.” “Temen apa?” ayahnya terlihat jengkel. Maura diam. Ia sepertinya tak akan bisa membuat ayahnya berhenti mencurigainya sejak ia nekat mengencani Genta, seorang pengusaha yang memang jauh lebih tua darinya. Ia dan Genta dulu pernah bertetangga dekat. Entah apa yang membuat keluarganya begitu membenci laki-laki itu, Maura belum tahu. * ‘Berapa yang akan aku dapatkan?’ Pesan itu membuat mata Maura membulat sempurna. Andre? Benarkah? Ia tak percaya akhirnya laki-laki itu menghubunginya setelah beberapa pesan Maura diabaikannya begitu saja. Menyebalkan sekali memang. Dan Maura bisa-bisanya selalu berharap Andre membalas satu saja pesannya. Maura memilih menelpon dibandingan membalas pesan chat tersebut. “Apa maksudmu?” tanyanya angkuh menjaga harga dirinya. “Menjadi pacar pura-puramu. Seorang Bimantara pasti tak cuma-cuma meminta bantuan kan? Atau kamu sudah punya kandidat yang lebih baik dariku?” “Aku gak butuh.” “Yakin? Jadi kamu lebih memilih dijodohkan dengan Michael?” “Apa urusanmu?” Maura naik pitam. Bisa-bisanya seorang Andre yang bukan siapa-siapa berbicara seperti itu padanya. “Baiklah. Nanti aku akan kirimkan nomor rekening kemana kamu harus mentransfer kalau membutuhkan jasaku. Kalau dalam satu kali dua puluh empat jam kamu gak transfer berarti kita selesai. Dollar ya. Aku gak butuh selain dollar.” Andre memutus sambungan teleponnya lalu sebuah pesan masuk berisi nomor rekening dan nominal minimal yang ia minta. “Keterlaluan,” umpat Maura kesal. Bagaimana bisa ia malah dimanfaatkan seperti ini? Apa Andre sedang menjebaknya kemudian memerasnya? “Ayo ketemu sekarang. Aku transfer langsung saat kita ketemu,” Maura mengetikkan pesan di ponselnya. “Aku gak di New York.” Begitu balasan yang Maura dapatkan. Dia membaca kembali nama pemilik rekening yang diberikan Andre. Itu adalah nama orang lain. Maura memutar otaknya memikirkan alasan untuk menolak. “Berikan nomor rekeningmu, bukan rekening orang lain,” ia mengetik kembali di ponselnya. “Aku butuh dana ke rekening itu. Gak masalah kalau kamu gak bersedia.” Maura memijat keningnya. Ia tahu Andre berada di New York tempo hari karena memang ada kebetulan. Ia tak menyangka akan seperti ini jadinya. Biasanya Maura begitu cuek dan masa bodoh dengan laki-laki manapun yang mendekatinya. Mengapa dengan Andre ia tak bisa? “Maura, jangan lupa, malam ini kita ada makan malam.” Satu pesan dari kakaknya membuat Maura mendesah. Urusan dengan Andre saja belum jelas, ia sudah harus menghadapi keluarganya. Maura yakin itu bukan sekedar acara makan malam biasa. * Maura sengaja tak berdandan. Ia hanya menggunakan celana panjang kain dan kemeja, kemudian menutupnya dengan coat. Membuat penampilannya terkesan tak menarik dan apa adanya. Maura tahu pasti ada orang lain yang akan datang pada dinner kali ini. Ayah dan kakaknya sudah datang lebih dahulu. Menyusul kemudian Maura yang duduk dengan enggan. “Jelek amat itu muka,” komentar kakaknya. “Brisik.” “Selamat malam,” seorang laki-laki datang dengan tas ransel dan jaket yang sudah kusam warnanya. “Ken?” Daffa memastikan. Laki-laki itu mengangguk penuh percaya diri. “Ya. Daffa Bimantara?” Daffa bangkit dan mengulurkan tangan. Ken menyalaminya. “Duduk, Ken. Kenalkan ini Papaku, dan ini adikku Maura. Ken ini ahli IT professional.” “Ken siapa namanya?” tanya Bimantara senior. “Ken saja, Om,” jawab Kenzo tegas. Maura mengernyit, ia teringat nama pemilik rekening yang dikirim Andre. Ia memeriksa ponselnya untuk memastikan tapi tak berani untuk menyimpulkan. Kenzo? Batinnya. Daffa membicarakan urusan sistem IT untuk perusahaan mereka dengan Ken. Maura yang tak terlalu tertarik hanya mendengarkan dengan acuh. Dia tak banyak bicara. Dan tak tertarik dengan pembicaraan yang tak dimengertinya itu. Entah apa alasan Daffa mengajaknya. Maura pamit ke toilet setelah selesai makan. Begitu keluar, ia melihat Ken juga baru keluar dari toilet. Tanpa jaket pudarnya, ia bisa melihat sosok yang berbeda dengan yang dilihatnya tadi. Ken tampak lebih cerdas dan berkelas hingga mampu mengintimidasi sekitarnya. “Belum ditransfer?” ucapnya lirih sambil tersenyum miring dan meninggalkan Maura. Maura membeku. Otaknya segera tersambung. Jadi Kenzo yang ini pemilik rekening itu. Dia punya hubungan apa dengan Andre? Maura bergegas kembali ke mejanya. Tapi Ken sudah tak ada. “Dia kemana, Kak?” tanyanya pada Daffa. “Tuh,” Daffa menunjuk pintu keluar restoran. Maura melangkah cepat mengejarnya, tapi Ken sudah membuka pintu dan melangkah keluar. “Ken,” panggilnya. Hawa dingin menyeruak begitu ia membuka pintu karena Maura meninggalkan coatnya. Ken tersenyum miring. “Transfer saja seperti permintaannya kalau kamu ingin Andre membantumu.” “Kamu siapanya Andre?” Maura bisa merasakan tubuhnya mulai kedinginan. Ken tak menjawab, ia melanjutkan langkahnya dengan cepat. Maura menghela napas, udara terasa semakin menggigit di luar. Dia pun melangkah cepat kembali ke dalam sebelum tubuhnya membeku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD