Bab 7: Perkenalan

1236 Words
“Kenapa, Ra? Kamu kenal sama Ken sebelum ini?” Daffa sudah ada di balik pintu begitu Maura masuk kembali ke dalam restoran. Maura menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya mencari kehangatan. “Enggak. Aku ingat seseorang yang namanya serupa. Kupikir orang yang sama. Tapi sepertinya bukan.” “Dia ahli IT. Kita lagi nego biar dia mau bantu sistem IT di perusahaan,” terang Daffa setelah mereka kembali ke meja mereka. “Dia gak mau bantu?” Maura sepertinya mendapat firasat tak baik. “Dia bilang akan pikirkan. Entahlah. Kakak merasa ada seseorang di balik dia.” Maura menunduk. Pikirannya tertuju pada Andre. “Papa sudah selesai belum?” tanyanya. “Ayo kita kembali ke apartemen,” ayahnya bangkit diikuti Daffa dan Maura. Daffa mengantarkan Maura ke apartemennya. Ia sempat turun saat adiknya itu turun dari mobil setelah berpamitan pada ayah mereka. “Ra, kamu yakin gak kenal Ken?” Maura menggeleng. “Enggak, Kak. Aku memang gak pernah ketemu sebelum ini. Tapi mungkin saja dia kenal dengan salah seorang kenalanku.” “Siapa?” “Bukan siapa-siapa. Aku juga belum lama kenal secara tak sengaja.” “Baiklah. Kabari kalau ada yang mencurigakan ya. Kakak agak khawatir sebenarnya dengan kemampuan dia, tapi kita mungkin butuh dia.” Maura mengangguk. “Kakak tinggal. Take care,” Daffa menepuk lengan Maura dan kembali ke dalam mobil. Begitu masuk ke apartemennya, Maura membuka teleponnya. Dia mentransfer sejumlah uang seperti permintaan Andre ke rekening yang disebutkan laki-laki itu. Tak lama ponselnya bergetar menandakan sebuah pesan masuk. “Kapan aku harus bekerja sebagai pacar pura-puramu?” Ingin rasanya Maura melemparkan gelas ke wajah Andre seandainya laki-laki itu ada di depannya. Tidakkah ia punya kalimat yang lebih baik yang bisa disampaikannya pada Maura? “Papaku mungkin akan kembali ke Indonesia dalam empat hari ini,” balas Maura. Setelah itu sepi tak ada balasan lagi meski Maura menunggu. Tanpa ia duga, ia menjadi kesal sendiri lalu melemparkan ponselnya ke atas kasur. Benar-benar menyebalkan. * Maura sedang mencari baju yang pas untuk dikenakannya saat bel apartemennya terdengar. Ia mengernyit. Ia tak punya janji dengan siapapun. Ia merapatkan bathrobe-nya dan melangkah keluar. Tak mungkin laki-laki kan? Satu-satunya laki-laki yang begitu bebas keluar masuk apartemennya bahkan tanpa membunyikan bel terlebih dahulu hanyalah Daffa, kakaknya. “Andre?” Maura terkejut melihat sosok di balik pintu apartemennya. “Lama amat,” Andre mendorong pintu dan memaksa masuk. Maura gugup. Ia kembali merapatkan bathrobenya yang hanya sampai di atas lutut. Otaknya seakan membeku. Bagaimana bisa laki-laki ini ada di apartemennya tiba-tiba. “Aku numpang istirahat. Aku ada perlu dengan seseorang tiga jam lagi. Nanggung kalau aku sewa hotel,” Andre beralasan. Ia kemudian merebahkan punggungnya di sofa. Sebenarnya ia bisa saja ke apartemennya sendiri yang ditempati Ken. Tapi sahabatnya itu sedang sibuk dengan projectnya. Dan apartemen mereka hanya akan layak huni untuk Ken seorang jika dia sedang mengerjakan sebuah project. “Kamu kan bisa ke tempat temanmu atau kemana kek,” protesnya kesal. “Jangan cerewet. Ganti baju sana.” Maura menekuk bibirnya. Bagaimana mungkin laki-laki ini memerintahnya seenak jidatnya. Dan Maura, meski kesal, dia akhirnya berbalik masuk ke kamarnya dengan menghentakkan kaki. “Menyebalkan. Bisa-bisanya dia tiba-tiba muncul dan main perintah seenaknya,” omel Maura setelah di dalam kamar. Dia menatap lemari bajunya yang sudah terbuka pintunya. Dia harus ke kampus hari ini, dan tiba-tiba saja ada tamu tak diundang. Setelah berpikir beberapa saat, Maura akhirnya keluar. Ia tak ingin menggagalkan semua agendanya hanya karena seorang Andre. “Aku harus ke kampus,” ia memberitahu. “Pergi saja. Aku akan pergi dalam tiga jam.” Maura tak menyahut. Apa-apaan ini. Seakan ia berpamitan pada seseorang yang istimewa saja. Dia merasa aneh dengan hubungan mereka. * Maura sedikit gelisah. Ia tak benar-benar bisa fokus dengan apa yang dikerjakannya. Ia ingin segera pulang ke apartemennya. Seberpengaruh itukah seorang Andre padanya? Ia kesal sendiri. Terlebih ketika tergesa kembali ke apartemennya dan tak mendapati laki-laki itu di sana. Maura mendesah kecewa. Tak ada jejak apapun yang ditinggalkan Andre selain bau parfumnya di atas sofa. Laki-laki itu sepertinya memang hanya numpang istirahat saja. Andre bahkan tak menyentuh apapun. Maura menghempaskan tubuhnya di sofa. Ada bau yang begitu menenangkan yang tertinggal di sana. Maura membenamkan wajahnya ke bantal sofa. Jantungnya berdegup kencang. Ia seakan bisa merasakan kehadiran Andre di sana. Ada apa dengannya? Apa ia benar-benar jatuh cinta pada laki-laki itu? Ia bahkan tak mengenal siapa Andre. Ponselnya berdering tiba-tiba membuat Maura tersadar dari lamunannya. “Maura, aku akan kembali ke Boston malam ini. Setelah itu aku gak akan punya waktu kemari. Ayo selesaikan kerjasama kita.” “Kerjasama?” “Menjadi pacar pura-puramu. Aku punya waktu dua jam lagi.” Sambungan itu terputus begitu saja. Apa maksudnya? Apa Maura harus mengenalkan Andre pada ayahnya saat ini juga? Apa katanya tadi? Dia akan kembali ke Boston malam ini? Maura menghembuskan napas kesal. Kenapa jadi laki-laki itu yang memegang kendali atas semuanya? Dan Maura dibuat tak berkutik olehnya. * Dua jam kemudian, Andre sudah berdiri di depan apartemen Maura. Laki-laki itu masih mengenakan pakaian yang sama dan menyandang ransel yang sama. “Waktuku gak banyak, Maura. Kalau kamu butuh bantuanku kita lakukan sekarang bertemu orang tuamu,” Andre merangsek masuk. “Kamu memaksa meminta bayaran sesukamu dan sekarang memaksaku lagi untuk bertemu Papaku?” “Aku bisa mengembalikan uangmu sekarang. Cepatlah. Ambil jaketmu.” Meski kesal, tapi Maura tak bisa menolak Andre. Laki-laki ini terlalu superior. Auranya begitu mengintimidasi Maura. Ia akhirnya mengambil long coatnya tanpa mengganti pakaiannya. “Alamatnya dimana?” tanya Andre begitu mereka keluar. Maura menyebut alamat apartemen kakaknya dan tak menyangka Andre akan menghentikan taksi untuk jarak yang tak terlalu jauh. “I need you to drive fast,” Andre menyebutkan alamat yang diberikan Maura dan menyelipkan uang yang jelas melebihi tarif seharusnya sehingga sopir taksi itu langsung menekan pedal gasnya. “Kamu sudah punya scenario untuk kamu ceritakan pada orang tuamu kan?” tanya Andre tanpa memalingkan wajahnya dari layar ponselnya. “Skenario apa?” Andre menatap tajam Maura. Perempuan ini memang cantik. Dan seharusnya cukup cerdas. “Aku gak nyangka seorang Bimantara sebodoh ini. Atau kamu terlalu terpesona padaku hingga hilang kecerdasanmu?” Hah? Maura memalingkan wajah. Benar-benar keterlaluan. Tajam sekali mulutnya. Maura tak menyangka ia akan terperangkap seperti ini. “Apa rencanamu?” tanya Andre. “Tak ada. Aku hanya akan memperkenalkanmu pada Papa. That’s it.” “Okay.” Mereka sampai tak lama kemudian. Jarak antara apartemen Maura dengan apartemen kakaknya memang tak terlalu jauh. Hanya saja Andre sudah merasakan kakinya terlalu lelah untuk diajak berjalan, sementara ia harus kembali ke Boston malam ini. Maura menekan bel dengan ragu. Ayahnya yang membukakan pintu. “Kak Daffa sudah pulang, Pa?” tanyanya. “Belum,” Bimantara senior menyingkir dari pintu. Ia menatap penuh selidik pada laki-laki yang datang bersama putri satu-satunya. “Kamu bawa siapa Maura?” “Perkenalkan. Saya Andre, Om,” Andre mengulurkan tangan dengan santun. Kalimatnya begitu tegas dan penuh percaya diri. Sesuatu yang tak pernah Maura dengar, bahkan dari laki-laki sesukses Genta sekalipun. Bimantara menjabat tangan itu dengan acuh. Ia sebenarnya ingin mengabaikannya, tapi entah mengapa ia tak bisa. Ada sesuatu dalam diri anak muda di hadapannya ini yang tak bisa ia abaikan. “Andre siapa?” “Andre Lazuardi.” “Lazuardi?” Andre mengangguk penuh percaya diri. Dia tahu arti kerut di kening lawan bicaranya. Dan dia hanya tersenyum tipis. Sementara Maura sibuk menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD