Bab 12: Buku Sketsa Maura

1061 Words
Daffa memenuhi janjinya pada adik perempuannya untuk mengajaknya jalan-jalan. Ia sengaja memilih hotel tak jauh dari kampus tempat Andre menuntut ilmu. Semua jelas bukan tanpa tujuan. Daffa ingin agar Maura memiliki kesempatan untuk bertemu laki-laki itu, meski Daffa sendiri juga tak tahu bagaimana caranya. “Jangan rebahan dulu. Ayo jalan-jalan sampai kaki kita capek,” tegur Daffa saat Maura langsung menjatuhkan punggungnya di atas kasur begitu mereka cek in. “Mau kemana? Kita baru sampai lho, Kak.” “Jalan aja yuk. Cari foto,” Daffa mengambil kameranya dan memasang lensanya. Mengotak-atiknya sebentar sebelum mencobanya. Maura menatapnya ogah-ogahan. Mereka baru saja sampai setelah perjalanan darat sekitar empat jam dan kakaknya sudah langsung mengajaknya jalan-jalan. Benar-benar jalan. “Maura, ayo. Sekalian cari makan.” Maura akhirnya bangkit. Jalan dengan Daffa, berarti memang benar-benar jalan. Kakaknya itu sudah kerap travelling ke banyak tempat di berbagai negara. Mengumpulkan banyak foto dan video perjalanan, kemudian menjualnya untuk membiayai kembali hobby travellingnya. Mereka menyusuri jalanan yang tak terlalu padat berdua. Daffa beberapa kali menghentikan langkahnya dan mengarahkan kameranya menangkap gambar landscape kota yang selalu menarik baginya. Maura hanya mengikuti kakaknya. Beberapa kali, ia pernah mengikuti Daffa travelling. Jadi ia sudah tahu ritme perjalanan kakaknya seperti apa. Daffa tidak akan menjelajah tempat-tempat yang familiar yang dikunjungi banyak wisatawan. Sebaliknya, ia akan berkunjung pada tempat-tempat yang menurutnya masih murni. “Capek?” tanya Daffa. Maura berdiri memutar pergelangan kakinya. Mereka sudah berjalan sekitar setengah jam. Dan membayangkan nanti mereka harus kembali berjalan pulang menuju hotel membuat kakinya terasa lebih pegal. “Kita makan dulu yuk,” Daffa melirik jam tangannya dan menunjuk sebuah resto tak jauh dari tempat mereka. “Kak Daffa mau travelling ke Eropa timur kapan?” “Pinginnya musim gugur ini, tapi aku belum urus tiket sama jadwal cuti. Kamu kapan selesai?” “Doakan akhir semester ini ya, Kak.” “Mau ikut gak? Sering-sering jalan dulu tapi kalau mau ikut.” “Kakak sama siapa aja?” “Ada beberapa teman yang kepingin bareng juga. Tapi jadwalnya belum cocok. Kalau kamu mau ikut nanti kita berdua aja juga gak apa-apa.” “Nanti kalau sama aku, jalan Kak Daffa gak bakal bisa secepat biasanya.” Daffa tertawa. “Tapi aku bisa dapet banyak foto keren. Nih lihat,” Daffa menunjukkan hasil jepretannya dimana ada gambar adiknya di sana. Maura tertawa. “Kok jadi cakep gini sih.” Daffa mengambil tempat di dekat jendela dan memesan makanan. Sementara Maura masih melihat-lihat foto hasil jepretan kakaknya. “Kalau orang lain yang ambil foto kok gak secakep ini ya?” Maura terkikik geli melihat fotonya sendiri yang menurutnya jauh lebih bagus. “Kamu cocok kok jadi model.” “Iya. Tapi khusus Kak Daffa fotografernya.” Keduanya tertawa. Bagi Maura, Daffa tak hanya sekedar kakak. Ia adalah sahabat terbaiknya. “Makan dulu. Habis ini kita ke taman,” kata Daffa. Maura mengangguk penuh semangat. Ke taman, berarti dia bisa duduk dengan nyaman tanpa membuat otot kakinya bekerja lebih keras lagi. * Setelah selesai makan, mereka berdua berjalan ke arah taman. Entah kenapa taman selalu menjadi tempat yang menyenangkan untuk Maura. Ia kerap duduk di taman meski hanya untuk berdiam diri dan memperhatikan sekitarnya. Seringnya ia akan membuka buku sketsanya dan mulai mencoret-coret, sambil memperhatikan outfit orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Seperti saat ini, Maura memilih duduk dan mengeluarkan buku sketsa dan pinsilnya, sementara Daffa sibuk dengan kameranya. Seperti biasanya, Daffa tak mungkin hanya duduk saja di tempatnya. Ia akan bergerak mencari angle yang menurutnya bagus, meninggalkan Maura sendirian. Gadis itu tampaknya mengerti betul kebiasaan kakaknya. Dia tenang saja duduk sambil mencoret-coret kertas gambarnya. Maura seakan benar-benar tenggelam dengan semua idenya hingga tak menyadari sudah ada orang lain duduk di sampingnya menggantikan Daffa. Begitu sepasang sepatu yang berbeda dengan yang digunakan kakaknya terjulur di dekatnya, ia baru tersadar dan menengokkan kepalanya. Seorang laki-laki tampak merebahkan diri di atas rumput dengan kedua tangan menumpu kepalanya. Matanya terpejam. Tapi wajahnya tampak begitu tenang. “Andre?” jantung Maura berdegup kencang. Bagaimana bisa laki-laki ini tiba-tiba ada di sampingnya. Andre membuka matanya. “Sudah selesai gambarnya?” Andre meraih buku sketsa Maura yang tergeletak di pangkuan gadis itu, tanpa mengubah posisinya. “Bagus. Gaun buat siapa?” dia menyerahkan kembali buku sketsa tersebut kemudian bangkit duduk. Sebuah gaun pengantin tampak begitu elegan di atas kertas gambar Maura. “Kamu sejak kapan di sini? Gimana bisa tiba-tiba ada di sini?” “Ini tempat umum, Maura.” “Kamu sudah lama duduk di situ?” “Sepuluh menitan mungkin.” “Kenapa diam saja?” Andre hanya menggedikkan bahunya, kemudian kembali merebahkan punggungnya di atas rumput. “Tiduran sini,” Andre memberi isyarat pada Maura. Gadis itu menurut. Merebahkan diri di atas rumput sambil memandangi dedaunan berlatar langit biru seakan menjadi terapi tersendiri. “Kamu kok bisa di sini? Sendiri?” tanya Andre. “Sama kak Daffa.” “Lalu kemana kakakmu itu?” “Hunting foto.” Maura menelengkan kepalanya menghadap Andre. Laki-laki itu masih menatap langit-langit. Ah mimpi apa Maura hingga bisa melihat lagi wajah tampan ini. Saat ini. Berdua mereka ada di atas rumput memandang langit dari tempat yang sama. “Aku gak nyangka bakal lihat kamu di sini,” kata Andre. “Aku ada perlu,” kata Maura sedikit berbohong. Andre hanya mengangguk pelan. Ia tak merasa perlu untuk tahu apa saja keperluan gadis itu. Toh urusan mereka sudah selesai waktu itu. Dan lagi, Andre sudah mengembalikan uang Maura. Sepeser pun tak ia ambil. “Kamu gambar desain pesenan siapa?” “Gak ada. Aku lagi iseng aja. Daripada bengong.” “Kayaknya bagus kalau dipakai kamu.” Maura terdiam. Gaun yang belum selesai ia gambar, memang gaun impiannya. Setidaknya Maura menempatkan semua selera personal dan mimpinya di sana. “Tapi sayang punggungnya terlalu terbuka,” lanjut Andre. “Kamu gak suka lihat perempuan berpakaian terbuka?” “Enggak.” Maura mengangguk paham. Dalam hati ia berjanji akan mengubah perlahan semua desainnya. Termasuk baju-baju di lemarinya. Beberapa gaun malam yang dibuatnya memang menampakkan lekuk tubuh dan keindahan punggung perempuan. “Coba aku lihat bukumu.” Maura menggeleng. “Ini buku pribadi. Semuanya aku buat untuk koleksi pribadiku saja. Bukan untuk diproduksi atau pesanan orang.” Andre menatap Maura sejenak kemudian memalingkan wajahnya dengan acuh. Ia tak tahu saja ada sketsa wajahnya yang sengaja disembunyikan Maura. Gambar yang dibuat Maura beberapa waktu lalu saat sedang sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD