Bab 11: Pengakuan Maura

1134 Words
“Foto yang waktu itu kalian share di grup, bener pewarisnya The Erwe?” tanya Maura saat berkumpul dengan kedua sahabatnya “Foto mana?” Kaitlyn balik bertanya. “Yang katanya artis itu. Raka siapa gitu.” “Raka Akarsana. Iya pemilik The Erwe,” Emily yang menjawab. “Waktu itu kita pernah nginep di sana kan?” tanya Maura. “Iya. Kamu kenapa tiba-tiba tertarik?” Kaitlyn mulai curiga. “Enggak. Kata kak Daffa, kak Daffa pernah satu sekolah sama Raka itu.” “Oh iya? Kok kakakmu gak pernah cerita? Tahu gitu kan aku bisa deketin Bang Raka. Mana sekarang udah punya bini lagi,” Emily selalu menjadi yang paling bersemangat ketika membicarakan Raka. “Istrinya artis juga atau anak konglomerat?” “Artis pendatang baru. Baru maen film sekali udah langsung dapet Raka. Hoki banget dia. Padahal pacar Raka sebelumnya yang model cakep abis lho. Mana udah lama pacaran lagi. Tapi gak pernah kedengeran kabar putusnya, tahu-tahu ada kabar Raka sold out,” cerita Emily. “Kamu kok tahu banyak, Em?” “Namanya juga fans berat, Ra. Kamu gak tahu aja Emily pernah nongkrongin dia lagi syuting waktu kita pulang ke Indonesia.” “Hush, gak usah buka aib gitu dong, Kait.” “Seganteng itu emang, Em? Masih jadi artis enggak sih?” tanya Maura pura-pura. Melihat bagaimana rupa Andre, rasanya ia bisa menerka seperti apa kakaknya yang artis itu. “Udah berhenti kayaknya sejak menikah. Kamu kenapa nanya-nanya? Tumben banget.” “Nanya aja emang gak boleh?” “Maura, jujur deh. Gak kamu banget kalau kepo begini. Kamu tuh gak pernah nanya kalau emang gak penting banget.” Maura menghela napas. Ia rasanya masih belum bisa menerima fakta yang disampaikan kakaknya. Di satu sisi mungkin itu akan menguntungkannya, karena ayahnya mungkin akan langsung menyetujuinya. Tapi ini juga menjadi boomerang untuk Maura karena Andre hanyalah pacar pura-puranya. Di sisi lain, fakta ini tak sesuai ekspektasinya. Ia sungguh berharap Andre hanyalah mahasiswa beasiswa yang bukan berasal dari keluarga kaya raya. Maura sudah merasa jengah dengan segala konflik dan intrik perebutan harta yang banyak terjadi. Belum lagi kehidupan malam dan pergaulan bebas para anak mudanya. Memang tak semuanya, tapi kenyataannya ia sering disuguhkan hal semacam itu bahkan dari lingkungan terdekatnya, baik keluarga maupun teman-temannya. “Ra, kenapa? Kamu kenal sama Raka ini?” Maura menggeleng. “Beneran enggak?” “Enggak. Kenal dari mana coba.” Tapi aku kenal adiknya, lanjut Maura dalam hati. * Kepala Maura berdenyut, ayahnya sudah beberapa kali menelpon, dan selalu menanyakan hubungannya dengan Andre. Sementara ia sendiri tak pernah lagi berkomunikasi dengan laki-laki itu. Bagaimana ia mengakuinya pada ayahnya? “Papa, jangan tanya-tanya terus bisa kan? Nanti dikira Maura yang ngajar-ngejar banget.” “Daripada kamu keduluan yang lain. Laki-laki kayak Andre itu banyak yang mau.” “Dia bukan yang suka deket-deket cewek gitu, Papa. Udah nih, Papa tenang aja.” Maura menutupi kegundahannya sendiri. Sekalinya Maura menyukai seseorang dan ayahnya setuju, laki-laki itu ternyata hanyalah pacar pura-puranya. Ngenes sekali nasibnya. “Kamu harus pepet dia, Maura. Sampai dikenalin sama keluarganya nanti. Kapan dia ada rencana pulang, kamu juga harus pulang.” Maura memejamkan matanya, membayangkan betapa kecewanya ayahnya nanti jika ternyata tahu ia tak memiliki hubungan apa-apa dengan Andre. “Pa, Papa doain aja. Kalau emang jodohnya, nanti ada jalannya.” Dia tersenyum miris pada dirinya sendiri. Kalimat dari mana itu? Dibandingkan hendak membesarkan hati ayahnya, rasanya lebih pantas dikatakan ia sedang berusaha membesarkan hatinya sendiri. Apa ini adalah karma karena ia dulu bermain-main dengan om Genta? Niatnya hanya untuk menghentikan ayahnya menjodohkannya dengan orang lain, ternyata berakhir dengan dia yang dikejar-kejar ayahnya untuk segera meminta Andre meresmikan hubungan mereka. Kenapa malah jadi begini? * Malam itu, sepulang dari kantor, Daffa mampir ke apartemen adiknya. Beberapa hari ini Maura terkesan menghindarinya dengan alasan sedang sibuk. Padahal Daffa tahu benar bukan itu penyebabnya. “Ayo, makan. Biar pikiranmu gak kusut. Kamu tinggal beresin tugas akhir kan?” Daffa mengingatkan. “Weekend ini jalan-jalan yuk, Kak.” “Mau kemana?” “Kemana aja, yang penting jalan.” “Berdua aja? Gak ajak temen-temenmu?” “Enggak. Aku pingin sama Kakak aja.” “Makan dulu. Kakak akan menginap di sini malam ini. Gak usah terlalu dipikir omongannya Papa. Biarin aja berjalan.” “Papa kayaknya berharap banget semua itu bener.” Daffa tertawa. “Dimaklumi aja. Spek kayak Andre memang langka. Orang tua mana yang gak seneng dapet menantu kayak dia. Berbesan dengan keluarga Ranuwijaya mungkin jadi kebanggaan tersendiri buat Papa, terlepas dari nama besar mereka.” “Aku takut ngecewain Papa lagi.” “Kita ke Boston aja weekend ini?” “Hah? Ngapain?” “Kata kamu mau jalan-jalan.” Maura menekuk bibirnya. Ia tahu Daffa sedang menggodanya. “Dinikmati saja, Maura Sayang. Kalau kamu suka sama dia. Jatuh cinta sama dia ya dinikmati saja dulu rasanya.” “Kakak apaan sih,” wajah Maura seketika merona merah jambu membuat Daffa tertawa. “Ra, gak apa-apa lagi kalau kamu beneran suka dia. Setidaknya kamu jatuh hati pada orangnya, bukan pada nama besar keluarganya. Orang kayak Andre, mungkin juga akan melihat orang lain dari kualitasnya. Karenanya, kamu harus bersinar juga. Buat supaya dia gak bisa mengalihkan pandangannya dari kamu.” Maura menatap kakak keduanya itu dengan tatapan penuh arti. Ia mengangguk mengiyakan. “Selesaikan kuliahmu dengan bagus, lalu bangunlah karirmu. Nanti saat dia melihat kamu bersinar, dia akan melihat kualitasmu yang sesungguhnya.” “Makasih ya, Kak.” “Nanti biar Kakak yang bicara sama Papa untuk tidak mengganggu hubungan kalian.” “Hubungan apaan?” Daffa tertawa melihat adiknya sudah lebih ceria. * Daffa membuka matanya saat terdengar suara adiknya. Ia semalam tidur di sofa di apartemen Maura. Dan gadis itu kini tampak berdiri di dapur dengan ponsel menempel di telinganya. “Papa, please Papa jangan tanya-tanya mulu dong. Maura malu. Masa Maura harus agresif gitu, entar malah dikira murahan gimana. Papa kan lebih tahu kalau standar keluarga mereka bukan perempuan yang agresif begitu.” Daffa tersenyum. Ia bisa menebak siapa yang sedang dibicarakan adiknya. “Papa doakan saja ya. Kalau dia baik buat Maura semoga diberi jalan yang mudah.” Daffa bangkit untuk mengambil air minum. “Itu Kak Daffa. Gak tahu tuh tadi malam dateng terus minta nginap di sini. Iya. Nanti Maura sampaikan. Papa jaga kesehatan ya.” Maura meletakkan ponselnya di atas meja. “Kakak pasti nguping.” “Ya kamu bicara jelas begitu suaranya. Tapi Kakak setuju bagian kamu jangan terlalu agresif itu. ” Maura mencibir. “Kakak mau omelet?” “Boleh. Kamu punya kopi kan?” “Ada itu.” “Kamu beneran suka dia ya?” “Kak Daffa apaan sih? Gak jelas banget.” “Kalau beneran suka ya nanti Kakak bantuin.” Maura merona, sementara Daffa tertawa puas berhasil menggoda adiknya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD