“Giorgio, kosongkan ruangan,” ujar Lorenzo.
Kepala pelayan keluarga itu mengangguk patuh, meminta semua anak buahnya meninggalkan ruangan. Dalam sekejap, ruang makan megah itu hanya menyisakan dirinya dan empat orang pemilik villa.
Lampu kristal yang menggantung di langit-langit tinggi menjatuhkan kilau keemasannya di permukaan meja panjang. Di atasnya terhampar piring porselen putih, kristal bening, dan lilin yang berpendar temaram.
Senyum simpul Belle terukir saat ia menata serbet di pangkuannya. Rasanya sudah lama sekali ia tak duduk di meja makan keluarga, lengkap dengan segala unggah-ungguh ala keluarganya.
Aroma lasagna truffle dan red wine memenuhi udara, sementara musik klasik mengalun lembut dari gramofon tua di sudut ruangan. Malam itu rasanya begitu damai, terlebih untuk mereka yang jarang berkumpul utuh seperti ini.
“Paris membuatmu semakin ramping,” ujar Céleste dalam aksen Prancis yang masih kental. Ia tersenyum lembut pada putrinya.
Belle terkekeh. “Itu karena aku terlalu sering melewatkan makan malam, Mamma.”
Vittore menatap putrinya sekilas, lalu menghela napas pelan. “Bukan karena kamu terlalu sibuk dengan Elroy?”
Tangan Belle membeku seketika. Ia bernapas dalam lalu perlahan menurunkan alat makannya kembali.
“Vittore!” egur Céleste. Nada suaranya lembut namun jelas melontarkan peringatan.
Belle tersenyum, menenangkan ibunya. “Tak apa, Mamma,” ujarnya. “Aku dan Gyan hanya bersahabat, Papà. Jangan khawatir.”
Vittore meletakkan alat makannya, lalu meraih gelas wine, memutar isinya sambil menatap lekat sang putri. Menyelidik lebih dalam.
“Apa aku boleh bertanya?” sela Lorenzo.
“Kamu baru saja bertanya,” tanggap Vittore datar.
Belle terkekeh, Céleste hanya pasrah melihat dua pria di rumah ini tak pernah bisa lepas dari adu logika.
“Aku hanya tidak paham. Kalau Papà tidak suka dengan keluarga Elroy, kenapa Papà biarkan Belle bersahabat dengan mereka? Walaupun dengan pengawasan, tetap saja tidak masuk akal. Atau... Papà memberi misi khusus pada Belle?” cecar Lorenzo.
“Ayah kalian tidak pernah membenci keluarga Elroy.” Céleste yang menanggapi.
“Amore!” Vittore melirih frustasi.
“Kamu mau bilang karena semakin seorang anak dilarang maka akan semakin memberontak ia. Begitu? Jangan kolot, Vittore,” timpal Céleste.
Lorenzo dan Belle saling menatap dengan ekspresi penuh tanda tanya.
“Ayah kalian dan Antoine bersahabat,” ujar Céleste lagi, membuat dua pasang mata anak mereka spontan melebar.
“Pernah,” koreksi Vittore.
Belle menatap ayahnya tak percaya. “Pernah? Jadi, Papà memintaku melaporkan situasi keluarga Elroy selama empat tahun terakhir bukan karena tujuan ingin melengserkan Gyan, misalnya?”
“Ayahmu ingin memastikan mereka baik-baik saja. Dan informan yang paling bisa ia percaya hanya kamu, ma chérie.” Céleste yang menjawab.
Belle melipat tangannya, pura-pura kesal. “Papà harus memberiku satu golden ticket karena sudah memanfaatkan putrimu yang paling berharga ini!” ketusnya.
Lorenzo berdecak.
Céleste terkekeh.
Sedangkan Vittore tersenyum dengan sorot mata memuja pada putrinya. “Sepertinya kamu sudah punya setumpuk golden ticket dariku.”
“Setidaknya Papà harus menceritakan kisah persahabatan yang mengharukan itu padaku dan Lorenzo,” desak Belle.
“Yang nahas maksudmu?”
“Papà....”
Vittore meletakkan gelasnya. Ia lalu duduk bersandar sambil menatap hidangan di piringnya yang baru disentuh sepertiga bagian. “Antoine adalah salah satu manusia paling berani yang pernah kukenal.” Ia memulai kisahnya. “Kami sama-sama muda dan bodoh saat itu—berpikir bisa menyeimbangkan dua dunia tanpa mengorbankan apa pun.”
“Dua dunia,” gumam Belle, lirih.
Mata Vittore menerawang. “Jiwanya adalah seorang penengah, ia selalu bisa mendamaikan, menyelesaikan masalah yang paling pelik sekalipun. Sementara aku... pelaku.” Ia menarik napas dalam, memberi jeda sejenak.
“Antoine tegas menolak mengotori tangannya di jalur bisnis gelap, meski ia mengenal semua kepala kelompok di Eropa. Mungkin karena ia sudah turun-temurun kaya raya. Sementara aku....”
Vittore terdiam sejenak, pandangannya kosong ke arah lilin. “Kakek dan nenek kalian meregang nyawa karena perebutan jalur perdagangan. Aku diungsikan ke gereja, satu-satunya tempat yang bisa menyembunyikanku dari pembantaian itu.”
Belle mengulurkan tangan, menggenggam jemari sang ayah yang dingin.
"Aku berhasil membalas dendam dan menghidupkan kembali nama De Santoro yang mereka kira sudah punah,” lanjut Vittore. “Antoine tidak pernah menghalangiku. Ia justru menolong diam-diam. Tapi ia tak boleh terlihat berpihak padaku — atau pada siapa pun.”
Céleste menatap suaminya, ia mengusap tangan Vittore yang masih memegang kaki gelasnya. “Dan karena itu, kalian kehilangan satu sama lain.”
“Bukan kehilangan, amore,” jawab Vittore lirih. “Aku yang memintanya menjauh. Kalau sampai kami terlihat bersama, nyawa Antoine akan terancam. Dunia kita punya mata di setiap sudut. Aku tak ingin sahabatku terbunuh karena aku.”
Ruangan kembali sunyi. Hanya suara lembut kucuran red wine yang kembali Giorgio tuang ke gelas Lorenzo, seolah mencoba menjaga mereka tetap di masa kini.
“Antoine Elroy,” ujar Vittore lagi. “Ia pria baik… kamu pasti lebih tahu, sayang,” lanjutnya, menatap Belle.
Namun, Belle justru menangkap kesedihan di balik nada suara ayahnya.
Belle mengangguk lemah. “Ya. Monsieur orang yang sangat baik,” tanggapnya. “Berarti, beliau tau siapa aku, Papà?”
“Tentu. Edith pun tau siapa dirimu. Namun, mereka tetap merahasiakan identitasmu — bahkan dari anak-anaknya sekalipun,” jawab Vittore.
Masa lalu mengajarkan Vittore untuk selalu berhati-hati.
Setiap kali keturunannya lahir, ia menutup semua catatan publik tentang mereka.
Dunia luar baru mengenal Lorenzo saat ia berusia dua puluh lima tahun. Sedangkan Belle… sampai saat ini, keberadaannya masih menjadi rahasia.
Hanya sedikit orang di dunia gelap yang tau jika Il Gioielliere — julukan Vittore di lingkungan mafia — punya seorang putri. Pewaris tersembunyi dengan nama yang hanya beredar sebagai desas-desus.
***
Malam beranjak larut. Angin dari halaman belakang menerobos kisi-kisi jendela tinggi, membawa aroma hijau dan suara gemericik air mancur.
Vittore baru saja meneguk sisa tehnya ketika Giorgio mendekat dan membisikkan sesuatu di telinganya.
Ia mengangguk, lalu beralih menatap istrinya. “Dia sudah di sini.”
Céleste mengangguk.
“Bawa dia masuk,” ujarnya lagi pada Giorgio.
Beberapa saat kemudian, pintu besar di ujung ruangan tersebut terbuka.
Seorang pria muncul, mengenakan jas abu muda dan kemeja putih yang tampak rapi. Surainya sedikit berombak, wajahnya matang serta teduh ditatap, dan sorot matanya tajam namun tenang. Ia membawa map putih di tangan kanannya, melangkah mantap ke arah meja makan.
“Signorina De Santoro,” sapanya pada Belle sambil menunduk sopan. “Senang akhirnya bisa melihat Anda lagi.”
Belle tersenyum. “Lama tidak bertemu, Matteo. Iya bukan?”
“Terakhir kita bertemu,” ujar pria itu sambil menatapnya lembut, “kau masih belajar di Paris dan membuat baju di studiomu yang kumuh itu.”
Bola mata Belle berputar. “Dan kamu gatal untuk menyewakanku studio mewah?”
“Atau bahkan kubelikan?” balas Matteo.
“Tidak, terima kasih.”
“Aku tidak berencana untuk menyerah. Katakan saja jika kamu berubah pikiran Signorina Isabella Serafina De Santoro.”
“Ternyata kamu masih ingat namaku.”
“Kurasa kamu yang lupa nama lengkapku.”
“Masih butuh waktu untuk reuni?” potong Vittore.
Belle dan Matteo sama-sama terkekeh.
Lorenzo menegakkan punggungnya. “Apa yang kau bawa?” tanyanya pada Matteo.
Matteo tersenyum sopan, lalu menoleh ke arah Vittore. “Ayah saya menitipkan salam, Signor De Santoro. Ia sangat menikmati masa pensiunnya.”
Vittore mengangguk. “Aku senang mendengarnya.”
“Duduklah Matteo,” ujar Céleste seraya menunjuk kursi kosong di sampingnya. “Makan malam belum benar-benar usai.”
Matteo menolak sopan serata tersenyum. “Terima kasih, Signora, tapi saya sudah makan di klinik. Saya datang untuk menyampaikan hasil pemeriksaan terakhir Signor Vittore.”
Ia membuka mapnya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Cahaya lilin memantul di permukaan logam jam tangannya, membuat Belle secara tak sadar memperhatikannya terlalu lama. Tatapannya baru teralihkan saat Matteo menatap balik—pandangan yang terlalu hangat untuk sekadar profesional.
“Bagaimana hasilnya?” tanya Céleste, memecah ketegangan tak kasat mata itu.
Matteo menatap Vittore sebelum menjawab. “Saya menemukan adanya aneurisma aorta abdominalis yang semakin membesar. Sudah saatnya diambil tindakan.”
Céleste menatap suaminya, napasnya tercekat, kedua matanya membola. “Kamu bilang tidak ada sakit yang serius?”
Vittore membalas kegusaran itu dengan senyum hangatnya. Tangannya terulur, menggenggam jemari sang istri. “Tidak perlu panik, amore. Aku masih hidup, bukan?”
“Bukan berarti nyawa Anda pantas untuk dipertaruhkan, Signore,” balas Matteo. “Jika ditunda lebih lama, risikonya besar. Operasi harus segera dilakukan.”
Belle menatap Matteo, lalu ke ayahnya. “Papà… sejak kapan?”
“Beberapa bulan,” jawab Vittore. “Aku ingin memastikan kamu pulang dulu, sayangku.”
Ruangan seketika hening.
“Operasi bisa dilakukan di sini. Kami punya tim terbaik. Masa pemulihan pasca-operasi akan memakan waktu sekitar tiga bulan.”
“Tiga bulan?” ulang Céleste lirih.
“Satu-satunya masalah di sini adalah umurku, amore,” tanggap Vittore.
Matteo mengangguk. “Dalam periode itu, sebaiknya anggota keluarga selalu mendampingi.”
Vittore menatap Belle, tidak terlalu lama namun cukup untuk membuatnya paham makna di balik tatapan itu. Belle tau jika ini bukan hanya tentang ayahnya yang sakit serta masa pemulihan beliau. Namun juga tentang memastikan ia tetap di Milan—jauh dari Gyan, jauh dari Elroy. Belle belum tau siapa yang terancam, apakah ia, ataukah Gyan. Yang jelas, sudah waktunya Belle membentangkan jarak atau bahkan menghilang dari hidup pria yang diam-diam dicintainya.
Matteo menutup mapnya. “Saya akan mengatur jadwal operasinya.”
Vittore, Céleste, dan Lorenzo mengangguk kompak.
“Dan…” Matteo menatap Belle yang titik pandangnya terpaku ke gelang di pergelangan tangan kirinya. “Senang akhirnya Anda kembali ke rumah, Signorina. Milan selalu lebih tenang dengan Anda di sini.”
Belle menaikkan pandangannya, mengangguk pada Matteo. “Terima kasih, Matteo.”
“Kalau begitu, saya pamit dulu, Signore, Signora,” ucap Matteo sopan sambil menunduk.
Vittore menjabat tangannya. “Terima kasih, Matteo. Kau tau harus ke mana menghubungiku.”
“Aku akan mengantarmu,” ujar Belle.
“Kamu curiga Matteo menyimpan lebih banyak rahasia soal penyakitku?” timpal Vittore.
“Tentu saja, Papà. Juga Mamma dan abangku,” tanggap Belle. “Jangan berani-berani menutupi apa pun dariku!” tegasnya kemudian ke Matteo.
Pemuda itu terkekeh, lalu memberi anggukannya.
***
Lorong villa De Santoro yang panjang dan sepi menjadi tempat bagi Matteo menjelaskan kondisi kesehatan keluarga Belle.
“Aku bersyukur Madre dan Lorenzo baik-baik saja. Meski tetap khawatir dengan keadaan Padre walaupun kamu meyakinkanku untuk tak perlu khawatir,” ujar Belle.
“Ya, aku pun akan merasakan hal yang sama jika itu terjadi pada orangtuaku.”
Keduanya berhenti tepat di depan mobil Matteo terparkir.
Belle tersenyum. “Terima kasih atas kabar dan bantuannya malam ini.”
“Aku hanya menjalankan tugas,” balas Matteo, nada suaranya tak lagi formal, justru terdengar hangat dan akrab.
Tersua hening sejenak. Jelas jika Matteo tak ingin buru-buru meninggalkan kediaman itu.
“Kau terlihat lelah,” ujar Matteo lagi akhirnya.
“Begitulah, perjalananku cukup panjang.”
“Percayalah padaku... Milan sangat cocok untukmu.”
Belle terkekeh. “Itu karena aku dilahirkan di sini.”
“Dan mungkin juga,” lanjut Matteo, suaranya memelan, “karena ada alasan lain untuk kau tetap di sini.”
Belle mengangkat sebelah alisnya, menatap pria itu dengan tatapan datar. “Kau dokter yang baik, Matteo. Tapi kau mulai terdengar seperti peramal.”
Matteo tergelak singkat. “Aku hanya mencoba mendiagnosa.” Ia lalu melangkah lebih dekat, jarak mereka terkikis, hanya tersisa beberapa meter. “Aku senang kamu kembali, Issabella. Dunia ini... terasa lebih tenang kalau kau ada di Milan.”
Ucapan itu tulus, namun terlalu romantis untuk seorang dokter yang baru saja membicarakan aneurisma.
Tatapan mereka bertemu sesaat — tapi cukup lama untuk membuat Belle memalingkan wajah, menatap ke arah jendela ruang makan di balik bahunya. “Selamat malam, Dokter.”
Matteo tersenyum, mengangguk sedikit. “Masuklah. Udaranya dingin.”
“Oke.”
“Selamat malam, Issabella.”
Ia melangkah masuk ke balik kemudi, sementara Belle beranjak menuju teras utama.
Mesin mobil menyala, sorot lampu memecah gelap.
“Aku ingin mengajakmu makan malam. Tapi jadwal operasiku cukup padat minggu ini,” ujar Matteo. Ia memberhentikan sedannya sejenak di depan Belle.
“Aku juga sibuk,” tanggap Belle.
Matteo tergelak renyah. “Balas pesanku dan jawab telponku, oke?”
“Baiklah. Hati-hati, Dokter.”
“Terima kasih.”
Mobil melaju lagi, kian menjauh darinya. Belle masih menunggu hingga gerbang utama villa tertutup dan sedan Matteo menghilang dalam gelap.
Di balik jendela ruang makan, Vittore berdiri diam, tangannya menggenggam tongkat kayu hitam. Ia memperhatikan pemandangan itu — Belle di teras, Matteo yang baru saja pergi, dan langit Milan yang kelam tanpa bintang.
“Setidaknya jika ia mencintai,” pikir Vittore dalam hati, “biarlah pada orang yang bisa melindunginya.”