Dua jam menjelang tengah malam, Belle baru saja mengenakan sleep dress-nya. Ia berdiri di balik tirai tipis kamarnya, menatap langit Milan yang masih menumpahkan gerimis. Lampu-lampu kota berpendar lembut, bagaikan permata yang memanggil dari kejauhan.
Suara ketukan di pintu membuat Belle menoleh. Ia tak langsung melangkah, menunggu suara menyapa.
“Apakah putriku sudah tidur?”
Belle tersenyum, ia beranjak dari diamnya. “Belum, Papà.”
“Apa kamu lelah, ma chérie?” Gantian Céleste yang bertanya begitu pintu dibuka. Tangannya menggenggam mug yang mengepulkan uap hangat. “Kami membawakan teh.”
“Masuklah, Mamma, Papà,” tanggap Belle.
Pintu dibuka lebar, Vittore dan istrinya melangkah masuk, berjalan ke space santai kecil di sana. Ia berdiri di titik Belle berada sebelumnya, melayangkan pandangan menembus kaca. “Kamu selalu berdiri di sini,” ujarnya.
“Sebelum Papà dan Mamma mengetuk pintu, aku juga sedang memandang Milan dari situ,” tanggap Belle. “Jadi, ada gosip apa?”
Kedua orangtua Belle terkekeh kompak.
“Mungkin dari... apa yang Matteo katakan padamu?” balas Céleste.
“Apa Mamma menyembunyikan penyakit seperti Papà?”
“Tidak, sayang.”
“Kalau begitu, Matteo jujur.”
“Syukurlah. Aku lebih khawatir dia menduga sesuatu tapi enggan mengatakannya padaku.”
“Justru apa pun keadaan pasiennya, dia harus mengatakan seterbuka mungkin, Mamma.”
“Kamu benar, sayang.”
Belle menjentikkan jarinya. “Ada satu lagi yang Matteo katakan; ‘Milan lebih tenang jika kamu di sini.’ Lebih dari sekali. Apakah dia terobsesi menahanku di sini?”
“Sepertinya aku akan mengunjungi Matteo,” ujar Vittore seraya beranjak, duduk di single sofa lalu menjulurkan kedua kakinya di atas kursi ottoman. “Siapa tau dia punya strategi khusus untuk membuatmu tetap di sini.”
Céleste terkekeh, sementara Belle mengatupkan rapat bibirnya.
“Jadi, bagaimana kabar bisnis kalian? Butik di Indonesia jadi dibuka seperti rencana?” tanya Céleste kemudian.
Belle mengangguk. “Sudah, Mamma. Lokasinya di Seminyak Village. Kawasan itu ramai tapi tetap eksklusif. Butik kami tidak besar, dengan setiap ruang yang kami desain seperti galeri.”
“Koleksi khusus pertama ada?” Vittore menyusul tanya.
“Tentu, Papà,” Belle tersenyum simpul. “Untuk koleksi eksklusif sekaligus perkenalan, kami menampilkan koleksi tropis. Gyan fokus dengan siluet, sementara aku ke aplikasi. Aku menggunakan batu semi mulia dari Lombok dan Kalimantan yang kami poles di sini sebelum digunakan di desain.”
Céleste menatap putrinya bangga. “Itu luar biasa, sayang. Campuran keanggunan Eropa dengan kecantikan dunia timur,” tanggapnya. “Bukankah itu salah satu impianmu, Vittore?”
Belle terkekeh. “Ayah malah bilang kalau aku terlalu idealis, Mamma.”
“Bukan itu yang ayahmu maksud. Dia hanya tidak tau caranya memuji tanpa terdengar kaku,” Céleste menjawab seraya mengerling, meledek suaminya.
Ibu dan anak kompak terkekeh, sementara Vittore hanya tersenyum sambil memandangi keduanya penuh kasih.
“Dan bagaimana butik yang di Jakarta?” tanya Céleste lagi. Kali ini ia berdiri sambil merapikan gaun tidurnya.
“Masih tahap interior redesign,” jawab Belle. “Bangunannya bekas galeri seni di Menteng. Kami ubah sedikit — menambah jalur cahaya alami, serta mengubah tata ruang menjadi dua lantai.”
“Modern?”
“Elemen-elemen tradisionalnya tetap kami pertahankan, Mamma. Gyan yang menemukan tempat itu,” jawab Belle. “Dia bilang bangunan itu sangat indah saat pagi dan sore, sudut jatuh cahaya matahari yang membuat demikian.”
“Artinya ada dua keindahan di waktu yang berbeda setiap hari?” tanggap Vittore. “Timur dan Barat?”
“Betul sekali, Papà.”
Céleste tersenyum simpul, ia mendekati suaminya, menunduk dan mengecupnya singkat. “Aku mengantuk.”
Vittore mengangguk. “Aku akan menyusulmu, amore.”
Belle menatap keduanya. “Ada apa ini?”
“Sepertinya ada yang ingin disampaikan ayahmu. Aku terlalu mengenalnya, bahkan dari cara dia menatap,” jawab Céleste.
“Kalau begitu Mamma tidak perlu pergi.”
“Kalian perlu waktu ‘ayah dan putrinya’, dan aku tinggal menunggu cerita versimu dan versi ayahmu. Agar seimbang.”
Belle mendengus, sementara Vittore terkekeh.
Céleste mencium pipi Belle, lalu keluar dari kamar, menutup pintu dengan lembut.
Begitu hanya mereka berdua, hening menyelimuti ruangan. Vittore menatap lembut putrinya, sementara Belle tampak kikuk seolah berada di tengah-tengah persidangan dengan ia sebagai terdakwa dan ayahnya Jaksa Penuntut Umum.
“Apa kamu melakukan kesalahan?” tanya Vittore.
“Aku rasa tidak,” jawab Belle.
“Lalu apa yang kamu takutkan dariku?”
“Aku putrimu Padre, tentu saja aku harus segan dan takut padamu.”
“Jangan bertingkah!”
Belle tergelak renyah. “Ada apa, Papà?”
Vittore diam sejenak, menatap lukisan diri Belle yang menghiasi salah satu dinding. Ia menarik napas panjang. “Minggu depan, operasi Black Gem akan dimulai lagi. Aku mau kamu ikut turun langsung.”
Belle kelu. Sungguh informasi dan titah yang baru saja meluncur mulus itu di luar prediksinya. Ia menatap ayahnya dengan sorot tak percaya. “Aku, Papà?”
“Ya,” jawab Vittore. “Lorenzo membutuhkan bantuanmu. Akan sulit baginya jika bekerja sendiri.”
“Tapi terakhir kali operasi itu—”
“—gagal total, aku tau,” potong Vittore. “Tapi kali ini, informasi terakhir darimu akan sangat berguna.”
Kedua mata Belle sontak membola. “Maksud Papà, dugaanku jika batu itu ada di Paris—“
“Betul, kurasa itu logis. Kita harus menelusurinya,” sahut sang ayah. “Batu itu bukan sekadar artefak, Belle. Ada alasan kenapa semua kelompok menginginkannya.”
Ia menurunkan kakinya, menapak lantai. Tangannya kemudian terulur, menggenggam jemari Belle. “Pesan dari kakekmu mengatakan jika Black Gem bukan sekadar permata yang berharga. Tapi kunci ke jaringan perdagangan lama. Pola optik dari batu itu bisa mengungkap rekening-rekening bank bayangan, jalur logistik, sampai nama pemegang saham tersembunyi. Dengan kata lain, siapa pun yang memilikinya bisa menguasai pasar perhiasan gelap Eropa.”
Belle menelan ludah, matanya memicing. “Dan kalau kelompok lain menemukannya duluan?”
“Bencana.” Vittore menggeleng pelan. “Mereka bisa menggunakannya untuk melacak semua koneksi lama De Santoro—termasuk keluarga Elroy. Bahkan Identitas dan keterlibatan keluarga kita dalam jaringan bisnis gelap bisa terekspos ke dunia internasional. Itu sama saja menandatangani surat kematian seluruh keluarga.”
Belle terdiam lama. “Aku mengerti, Papà.”
Vittore mengeratkan genggamannya. “Dan satu lagi.”
Desir di hati Belle memberi peringatan.
“Menjauhlah dari Gyan, sayang.”
Belle kelu. Tatapannya terpaku ke iris ayahnya. Jantungnya berdegup kencang. Dadanya seolah menyusut dan menyisakan nyeri. “Papà—”
“Dengarkan aku dulu.” Vittore memotong ucapan putrinya lembut. “Aku tau kamu mencintai anak itu. Aku tidak buta, sayang. Tapi... di satu titik nanti, cepat atau lambat, kalian bisa saling membahayakan.”
Vittore mengambil jeda sejenak, lalu menatap lekat ke mata putrinya. “Beberapa kelompok tidak menginginkan posisi Antoine digantikan siapa pun, Belle. Sebegitu mengerikannyalah kursi yang b******n tua itu duduki dulu. Dan sekarang, mereka masih beranggapan Gyan tidak layak karena bukan darah kandung. Mereka akan memburunya — dengan atau tanpa alasan.”
Belle terdiam, napasnya seolah tercekat. “Jadi ini tentang keselamatanku? Atau tentang menjaga keluarga Elroy?”
“Dua-duanya, sayang,” jawab Vittore tanpa ragu. “Tanpa dirimu pun, nyawa Gyan sudah terancam setiap hari. Dan kalau mereka tau kau ada di sisinya, mereka akan menjadikanmu umpan.”
Tersua hening kembali.
Belle mengepalkan tangannya dalam genggaman sang ayah. Menahan gejolak hebat di dadanya. “Kau pikir aku tidak tau bahayanya dunia kita, Papà?”
“Aku tau kau tau,” jawab Vittore. “Tapi aku juga tau hatimu sering kali bekerja lebih cepat dari nalarmu. Perasaanmu tidak salah, sayang. Masalahnya aku tidak bisa melindungimu dari cinta tanpa logika.”
Kalimat itu menusuk seperti belati yang dibungkus sutra.
Belle masih menatap ayahnya lekat. “Dan kalau ternyata aku tidak bisa menjauh?”
Vittore menghela napas panjang, sorot matanya sayu. Ia tak pernah ingin melukai hati anak-anaknya. Namun, jika harus memilih, ketimbang dunia menghancurkan mereka, lebih baik ia membentangkan penghalang tanpa selah. “Apakah melihatnya mati karenamu akan membuat situasi lebih baik?”
“Papà....” Belle menunduk, menutupi tangisnya dari tatapan Vittore.
“Maafkan aku, sayang,” lirih sang ayah.
***
PARIS
Sudah tujuh hari berlalu sejak Belle menghilang. Tujuh hari yang terasa lebih panjang dari tujuh tahun di hidup Gyan sebelumnya.
Paris menurunkan hujan hampir setiap sore, seolah menertawakan pencariannya yang tak kunjung berhasil. Dari jendela ruang kerjanya di lantai atas Elroy Holdings, Gyan menatap jalanan yang basah, lampu-lampu mobil memantul laksana garis cahaya di permukaan aspal.
Biasanya pemandangan itu menenangkannya. Malam ini—dan malam-malam sejak Belle mengilang—rasanya tak lagi demikian.
Di meja kerjanya, ponsel, tablet, dan dua berkas laporan terbuka berserakan. Nama Belle muncul di setiap dokumen; laporan aktivitas, tagihan hotel, rekaman perjalanan terakhir dari bandara. Semua berhenti di titik yang sama—Charles de Gaulle Airport.
“Tidak mungkin,” gumam Gyan lirih, menatap layar yang menampilkan peta GPS. “Dia tidak mungkin bisa lenyap bersih seperti ini.”
Bruno berdiri beberapa langkah di belakangnya, diam. Sudah beberapa hari ini ia nyaris tak pernah meninggalkan kantor, matanya lelah namun tetap harus waspada. Gyan benar, hilangnya Belle sungguh-sungguh misterius.
“Semua jalur sudah kita periksa, Tuan,” ujarnya pelan. “Kamera, saksi, bahkan akses ke data private flight tak memberikan hasil. Tidak ada nama atau wajah Nona Belle di daftar mana pun.”
Gyan mengusap wajahnya kasar. “Dan paspor atas nama Moreau?”
“Tidak digunakan lagi sejak penerbangan dari Bali ke Paris, Tuan.”
Hening sejenak. Hanya suara hujan di luar dan detak jam dinding yang terdengar.
Gyan beringsut, menatap papan kaca di dinding yang penuh coretan dan garis penghubung antara nama-nama. Di tengahnya, satu tulisan besar dengan tinta merah: BELLE RENÉ MOREAU.
Ia menatap nama itu lama. “Kalau jalur normal tidak bisa menemukan dia... kita cari dengan cara yang tidak normal,” tegasnya, meski terselip jelas nada frustasi.
Bruno menatap bosnya dengan ekspresi tak percaya. “Tuan... maksud Anda—”
“Ya,” potong Gyan. “Hubungi The Southern Line.”
The Southern Line adalah sebuah organisasi yang lebih dari sekadar komplotan hacker biasa. Mereka berkerja di sisi gelap dunia digital—gabungan antara teknologi, intelijen, dan kriminalitas halus. Bidang operasinya meliputi pencarian orang tanpa menyinggung GPS, penghapusan identitas seseorang dari semua basis data publik dan swasta, pembuatan identitas digital pengganti yang bisa menipu sistem keamanan internasional—yang biasanya digunakan untuk pelarian atau perlindungan, hingga memetakan sistem keuangan ilegal.
Masalahnya, organisasi itu tidak berdiri di sisi mana pun. Siapa yang membayar lebih, ke pihak itulah data akan lari. Dan Gyan tak akan pernah tau apakah ia menyentuh sesuatu yang terlarang hingga bisa membahayakan diri sendiri dan keluarganya.
Bruno membelalak. Ia tak langsung menjawab, diam sejenak, memastikan ia tak salah dengar. “Maafkan kelancangan saya, Tuan. Tapi Ayah Tuan jelas berpesan untuk jangan pernah melibatkan The Southern Line dalam kondisi apa pun. Mereka—”
Gyan menatapnya tajam. “Tapi mereka satu-satunya yang bisa melacak seseorang tanpa meninggalkan jejak digital.”
“Ayah Tuan meregang nyawa setelah melibatkan mereka dalam kasus Marseille!” Di sisa napasnya, Antoine menegaskan pada Bruno agar gigih menahan Gyan untuk tidak lagi bersinggungan dengan komplotan itu.
“Aku tau, Bruno. Tapi Belle penting untukku!”
“Dan Anda juga penting bagi Nyonya dan Nona Elroy, Tuan! Juga bagi saya, bagi kami!”
“Kau melawanku?”
“Saya menjalankan tugas saya, Tuan! Melindungi Anda.”
“Aku bisa menembakmu saat ini juga!”
“Maka saya gugur dalam bertugas!”
Bruno menelan uap kata-kata itu, napasnya berat. Ia tau detail apa yang berarti—siapa yang berani menyentuh The Southern Line, apa yang pernah terjadi di Marseille—semua itu bukan sekadar cerita tegang untuk diceritakan di ruang rapat.
“Pergilah, aku perlu berpikir,” ujar Gyan.
Bruno mengangguk, memundurkan langkah, meninggalkan Gyan yang kelu menatap punggungnya.
Begitu pintu tertutup, Gyan meraih gelas di meja, menatap pantulan wajahnya di permukaannya. Matanya merah, bukan karena lelah, tapi karena kehilangan arah. Di layar ponsel, nama “Belle” masih ada di daftar panggilan terakhir.
Ia menekan ulang nomor itu untuk kesekian kali.
Nada tunggu.
Hening.
Lalu suara mesin penjawab otomatis menjawab dengan bahasa Prancis, “Nomor yang Anda hubungi tidak aktif.”
Gyan menutup panggilannya. “Aku sangat bersyukur jika kamu baik-baik saja. Tapi jika situasimu tidak demikian, bersembunyilah, Belle... sembunyilah di tempat yang bisa membuatmu aman. Dan jangan minta aku berhenti mencari.”