RINDU

1102 Words
Belle berhenti beberapa langkah dari Gyan. Jemari kakinya sampai ia tekuk untuk menahan diri agar tak berlari, menubruk, lalu memeluk erat pria itu. ‘Kamu terlihat kacau, Gyan. Ada apa dengan kantung matamu yang begitu hitam itu? Ke mana sebagian otot-ototmu? Apakah bahumu mengecil? Apa Madame, Giselle, dan Bruno tak memarahimu berpenampilan seburuk ini?’ Kata-kata itu hanya berputar di kepalanya, namun tersangkut di tenggorokan, tak pernah sampai ke bibir. Gyan pun tak jauh berbeda. Usai melirihkan nama perempuan yang ia cintai, mulutnya bungkam, seolah suaranya habis. Matanya menantang tatapan Belle, sambil menerka-nerka... apakah ini kenyataan atau halusinasi yang diciptakan kerinduannya sendiri. Belle menatapnya lekat. Sesekali kelopak matanya mengedip. Sekilas perempuan itu terlihat tenang, namun Gyan bisa merasakan jika ada emosi yang terselip—yang sedang berusaha Belle tutupi. “Hai!” Akhirnya Belle bersuara—suara yang sama, tapi terdengar seperti bisikan ragu. Gyan membelalak singkat, lalu menghela napas yang sejak tadi ditahannya. Ia melangkah kembali, pelan dan ragu. Satu langkah lalu satu lagi. Jemarinya tak lagi berada di balik jas, namun mengayun gontai di sisi tubuh. Di titik temu, saat tersisa selangkah untuk menggapai, Gyan kembali terdiam. Napasnya berat, dadanya bergetar tiap kali menghela. Ia menatap perempuan itu dari ujung kepala hingga ujung sepatu, memastikan bahwa sosok di hadapannya bukan ilusi. Untuk sesaat, dunia seakan mengecil. Tak ada suara apa pun, tak ada ruang-ruang lain, tak ada langkah lain, hanya dua anak manusia yang saling menunggu pecahnya hening. Gyan mengulurkan tangan, gemetar. Jemari yang kasar dan dingin itu berlabuh di pipi Belle, menangkup lembut. Tak sedikitpun Belle memalingkan tatapan hingga begitu jelas ia dapati iris kelam milik Gyan yang perlahan berkaca-kaca. “Kamu sakit?” tanya Gyan lirih. “Apa yang kamu makan akhir-akhir ini?” Bukan Gyan yang meneteskan air mata, namun justru Belle. Dan bulir bening itu membuat Gyan panik. “Apa yang sakit? Yang mana? Kenapa kamu tidak bilang apa-apa padaku?” “Aku baik-baik saja, Gyan,” tanggap Belle, suaranya terhalang sendu. “Justru kamu yang terlihat tak terurus. Apa tingkahmu begitu menyebalkan hingga membuat ibumu kesal?” Gyan melepaskan tangannya dari wajah Belle. “Kurasa begitu,” sahutnya, suaranya retak. “Dan kurasa... bukan hanya Maman yang kubuat kesal.” Belle menggenggam tangannya sendiri, menggeser sedikit titik pandangnya yang kini jatuh ke pintu flat-nya. “Kudengar kamu membayar perpanjangan sewanya.” “Kamu butuh kuitansinya?” “Tidak,” jawab Belle, tertawa pelan. Suara itu memecah dingin, lembut menghangatkan hati Gyan. Indah. Bahkan setelah empat bulan berlalu dan musim berganti, senyum itu masih punya daya yang sama. “Jadi, bagaimana kabarmu, Belle?” tanya Gyan akhirnya. “Baik. Aku baik-baik saja,” jawab Belle. ‘Aku merindukanmu. Dan bagian ini, sungguh tak baik-baik saja.’ ‘Tidak denganku,’ batin Gyan. “Apa kamu keberatan kalau aku masuk?” tanya Belle lagi, mendelik ke arah flat-nya. Gyan menggeleng. Ia menyingkir, memberi jalan, namun dadanya kembali sesak, seolah semua oksigen di sekitarnya lenyap terbawa langkah Belle. ‘Katakan, Belle. Katakan jika kamu hanya kembali untuk berpamitan. Katakan supaya aku tau harus seberapa kuat menahan perihnya.’ Belle bernapas dalam, mencoba mengutarakan maksudnya muncul kembali di gedung ini. “Aku mau beristirahat.” Ia tak sanggup, sungguh tak sanggup. Bagaimana mungkin ia bisa mengatakan selamat tinggal ke seseorang yang selalu ada untuknya beberapa tahun belakangan? Bagaimana mungkin ia tega menghilang sementara ia pun mencintai sosok rapuh di hadapannya. Belle mengayun langkah, meninggalkan Gyan di balik punggungnya. Gyan berbalik hadap, menatap Belle yang membentangkan jarak. “Apa besok pagi kamu mau sarapan bersamaku?” tanyanya, penuh harap. Belle menelan ludah, bibirnya yang bergetar ia katupkan. ‘Tidak bisa, Gyan. Aku bahkan harus menghilang lagi sebelum matahari terbit.’ “Kamu masih marah padaku?” tanya Gyan lagi, tepat saat Belle memutar kunci. “Tidak,” lirih Belle. Ia memutar tuas, lalu mendorong pintu. Bunyi derit engselnya terasa menyayat telinga. Belle melangkah masuk. Namun, saat ia akan menutup pintu, Gyan menahannya. “Kamu mau meninggalkanku lagi?” tanyanya, terdengar menuntut. Belle mematung, tak menjawab. Gyan menyusul masuk. Debum pintu yang tertutup menjadi satu-satunya suara yang jelas di ruangan itu. “Apa kamu masih mau menghukumku?” Gyan bertanya lagi. “Aku tidak—“ Bibir Belle terbungkam. Gyan yang membuatnya menelan kata. Ciuman pemuda itu sama menuntutnya dengan tiga pertanyaan yang barusan ia lontarkan. Gyan tak marah. Ia hanya rindu, dan... putus asa. Kali ini, Belle tak mau melawan. Ia menutup matanya, membiarkan waktu berhenti di antara napas mereka. Bibirnya ikut bergerak, berusaha menyamakan irama. Ciuman itu dalam, tapi lembut dan melenakan. Gyan berhenti sejenak saat menyadari keanehan itu. Dari jarak yang nyaris tak ada, ia menatap pemilik paras yang membuatnya jatuh cinta kembali. ‘Kamu akan meninggalkanku lagi! Tidak, Belle! Tidak akan aku biarkan lagi!’ Tangan Gyan melingkar di pinggang Belle, menarik gadis itu hingga tak lagi ada jarak di antara mereka, seolah takut jika ia melepaskannya, gadis itu akan lenyap kembali. Bibir keduanya melekat lagi, bertaut, saling mengobarkan hasrat. Belle memeluk leher Gyan, sementara sang pemuda semakin tak kenal ampun mencumbunya. Bibir yang hangat itu menjalarkan ciuman, di pipi, rahang, hingga garis leher Belle yang jenjang. “Aku rindu,” lirih Gyan. “Aku mencintaimu.” Belle mendorong Gyan agar bisa menatapnya. Air matanya menetes lagi. “Kamu akan menyesal mencintaiku.” “Tidak!” sahut Gyan cepat. “Ada beberapa hal yang tidak akan pernah aku sesali. Menjadi bagian keluarga Elroy... datang ke kota ini... dan mencintaimu.” Belle menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gemetar. Namun Gyan menariknya lagi, mendekap, membiarkan napas mereka bertaut. “Aku—“ Gyan membungkam Belle lagi. Kali ini sambil mengangkat gadis itu ke gendongannya. “Kamu milikku, Belle.” Kalimat itu bukan ancaman, tapi pengakuan dari seseorang yang kehilangan terlalu banyak hal untuk bisa kehilangan satu lagi. “Dan akan selalu begitu,” lirih Gyan lagi. “Aku menginginkanmu. Sangat!” “Gyan....” “Aku milikmu juga,” bisik Gyan lagi, diam di bibir Belle. “Bagaimana?” Belle tak menjawab, hanya suara napasnya yang memburu mengisi ruang. “Belle?” lirih Gyan lagi. “Kamu sangat mengenalku, bukan? Kamu tau aku jujur. Kamu tau jelas aku nyaris gila.” “Aku harus bagaimana denganmu?” balas Belle, frustasi. “Belle....” “Aku juga mencintaimu,” jawab Belle akhirnya—dan kalimat itu pecah bersama tangisnya. “Aku mencintaimu. Kenapa kamu begitu bodoh sampai tidak pernah menyadarinya?” Gyan tak menjawab, namun seulas senyum sempat terbit singkat di wajahnya. Setelah itu, tak ada lagi kata. Yang tersisa hanya napas, kehangatan, dan suara lembut Paris di luar jendela—kota yang tetap hidup bahkan ketika dua hati di dalam kamar itu saling menukar sunyi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD