TOPENG

1281 Words
Dini hari menyelimuti Paris. Rengkuhan di pinggang membuat Belle terperanjat. Ia membuka mata, refleks menahan napas, sebelum akhirnya sadar di mana ia berada—dan bersama siapa. Tegangnya mereda, berganti helaan lega. Tak lagi terdengar rinai hujan, namun aroma khas alam yang basah masih memenuhi udara, menyelinap masuk lewat celah jendela yang sedikit terbuka. Lampu flat tak menyala, satu-satunya cahaya datang dari bias lampu kota yang menembus tirai tipis, memantulkan temaram di dinding. Belle mencoba melepaskan tangan Gyan dari tubuhnya, mengangkatnya sepelan dan selembut mungkin. “Diamlah.” Suara parau itu menyapa dari balik punggungnya. Dekapan di tubuhnya justru semakin erat, sementara sang pelaku sibuk menghidu surai lalu mengecup singkat pundaknya. Napas Belle tercekat, bulu kuduknya meremang seketika. “Gyan... aku—“ “Masih gelap, Belle.” “Kamu mau aku berkemih di sini?” Gyan tergelak singkat. “Apa di kamar mandimu ada pintu rahasia? Perlu aku periksa dulu?” “Di flat murah ini?” balas Belle. “Murah karena kamu tidak membayarnya, love. Aku yang melunasi sewanya.” “Kenapa tidak sekalian kamu beli?” “Flat murah ini?” Keduanya sama-sama terkekeh. Gyan melonggarkan pelukannya, memberi ruang untuk Belle beranjak. “Jangan lama-lama.” “Takut rindu?” goda Belle. “Bukan, aku juga mau pipis.” Belle mendecak. “Menyebalkan!” desisnya. Gyan tak menyahut, hanya terkekeh lagi sambil menatap punggung Belle yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Ia menarik napas panjang, duduk bersandar di tepi ranjang. Telunjuknya menyusuri gelang yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Senyumnya terbit samar. ‘Lucu,’ pikirnya. Gyan teringat bagaimana ia ‘mencuri’ aksesoris itu dari Belle, dan bagaimana gadis itu dulu nyaris marah besar karenanya. Belle bilang, gelang itu akan disimpannya, dan kelak akan ia berikan ke pria terpilih—yang ia cintai. “Siapa orang itu? Memangnya sudah ada?” “Kamu meremehkanku?” balas Belle. “Lagipula, dia tidak boleh memilikimu sebelum berhadapan denganku.” Gyan mengangkat tangannya yang menggenggam gelang tinggi-tinggi, mencegah Belle merebutnya kembali. “Kamu tidak berhak bersikap arogan padaku! Kembalikan, Gyan!” “Tidak! Dari semua pria di dunia ini, aku yang paling berhak menerima gelang ini. Aku pria paling penting dalam hidupmu. Yang paling peduli padamu.” “Maaf, aku tak tersentuh.” Belle mendecak sinis. “Yang kamu katakan adalah kalimat khas para b******n!” “Suruh saja pria itu membeli sesuatu yang lebih bagus dan mahal dari ini. Lagipula, tidak sepantasnya kamu yang memberikan benda berharga pada laki-laki, Belle,” ujar Gyan lagi. “Tapi yang terjadi sekarang justru aku memberikannya padamu!” Belle nyaris memekik. “Apa bedanya?” “Merci beaucoup,” timpal Gyan, sama sekali tak memperdulikan kekesalan lawan bicaranya. “Kembalikan, Gyan!” “Tidak akan!” Senyum Gyan makin lebar. Ia menatap gelang itu lama, seperti menyadari sesuatu. ‘Ternyata memang untukku.’ Suara air mengalir dari kamar mandi, disusul suara kenop pintu berputar. Belle keluar mengenakan bathrobe, rambutnya tergulung asal. Ketika cahaya kota jatuh di wajahnya, Gyan diam—senyum simpul muncul begitu saja. Tatapannya... membuat jantung Belle berdetak tak keruan. “Kamu tidak jadi ke kamar mandi?” tanya Belle seraya melempar selimut — yang tadi ia pakai untuk menutupi tubuhnya — ke arah Gyan. “Jadi,” jawab Gyan santai. Ia memunguti helaian pakaiannya, mengenakan yang perlu sebelum mengayun langkah. Satu kecupan di pipi Belle berlabuh sebelum ia lanjut ke kamar mandi. “Tetap di sini.” “Ya, kurasa kita harus bicara,” gumam Belle. Ada rasa ngilu yang merambat di perut Gyan, mungkin ia gugup akan peringatan barusan. “Baiklah,” jawabnya singkat. Begitu pintu kamar mandi tertutup, Belle bergerak cepat menyiapkan kebutuhannya—barang-barang penting yang akan dibawanya nanti. Ia lalu merapatkan handuk kimononya, menyisir rambutnya dengan jari, menenangkan diri. Saat Gyan kembali, Belle sudah duduk di tepian ranjang, selimut terlipat rapi di pangkuan. “Akan kunyalakan lampunya,” ujar Gyan, beranjak mendekat ke saklar. “Jangan!” Belle mencegahnya. Gyan terdiam sejenak, sedikit bingung dengan reaksi Belle. Matanya mencari wajah Belle dalam remang cahaya kota. Ada sesuatu di sana—kecemasan, mungkin juga penyesalan. Ia tak bertanya, hanya duduk di sampingnya. Belle bersandar di bahunya. Jemarinya menelusuri lipatan selimut, sementara Gyan memeluknya erat, membelai punggung dan pinggangnya dengan lembut. Tak ada yang bicara. Yang terdengar hanya detak jam dan napas dua manusia yang mencoba menunda pagi—seolah tau, begitu cahaya datang, dunia mereka tak akan sama lagi. *** Di d**a Gyan masih tersisa denyut yang tidak ia pahami. Ia menatap ujung jemari Belle yang bermain di atas lipatan selimut. “Aku takut kalau ini mimpi,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Belle tak menjawab. Ia memejamkan mata, menyembunyikan emosi yang lebih dalam dari rasa takut—perpisahan tanpa sempat berpamitan. Gyan menunduk, menangkup wajah Belle dengan satu tangannya, lalu menyatukan bibir mereka. “Aku akan menunggu,” lirih Gyan sebelum menciumnya dalam. “Jangan berjanji saat jatuh cinta,” balas Belle. “Aku tau,” Gyan tersenyum tipis. “Tapi aku akan tetap melakukannya.” Keduanya kembali saling mengecup—lembut, tanpa tergesa. Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara napas dan samar dengung lalu lintas kota yang jauh di bawah sana menjadi latar. Hingga... sesuatu memecahkan kesunyian itu. Retakan halus, nyaris tak terdengar. Bukan dari napas yang terengah, melainkan dari luar jendela. Belle berhenti. Seluruh tubuhnya menegang. Matanya terbuka perlahan, menatap arah sumber suara tanpa sepatah kata pun. Gyan masih belum menyadari, masih menunduk, menyusuri lekuk leher dan bahu Belle. Satu detik. Dua. Lalu Belle bergerak. Dengan kecepatan refleks yang tak sempat dicerna, ia mendorong Gyan hingga terbaring di kasur. Sebelum Gyan sempat bertanya, Belle sudah membekap mulutnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menggapai ke bawah dipan, menarik sesuatu dari ruang sempit di sana. Sebuah pistol hitam—dengan kilau logam berbentuk berlian di bawah bias temaram. Belle menarik tangannya dari wajah Gyan. “Belle, apa—” Belum sempat kalimat itu Gyan rampungkan, dua suara letusan menggema. Tembakan pertama menembus kaca balkon, menghantam siluet yang bersembunyi di luar. Tubuh pertama berdebum keras di atas lantai. Tembakan kedua menyusul sedetik kemudian, memecahkan udara. Sosok lain yang mencoba melompat dari sisi balkon terjengkang ke pagar besi. Semuanya terjadi begitu cepat. Bau mesiu langsung menyergap penciuman. Gyan terpaku di tempat, matanya membelalak, jantungnya berdebar tak karuan. Belle turun dari ranjang, kedua tangannya masih mantap menggenggam senjata. “Diam!” Ia memberi peringatan ke kekasihnya. Dengan gerakan yang begitu halus dan profesional, Belle memeriksa situasi. Tatapannya dingin, fokus, tanpa ketakutan sedikit pun. “Turun dari tempat tidur,” ujarnya tenang. Nada suaranya bukan lagi Belle yang biasa Gyan kenal—melainkan seseorang yang sudah terbiasa menghadapi maut. Gyan menurut, langkahnya pelan, matanya tak lepas dari dua tubuh di balkon. Ia gegas memakai pakaiannya yang tersisa. “Belle… siapa mereka?” Belle tak langsung menjawab. Ia memeriksa senjatanya, mengganti magasin dengan gerakan kilat dan terlatih. “Harusnya mereka di sini bukan untukku,” jawabnya datar. “Aku?” “Apa yang sudah kamu lakukan?” tanya Belle, tajam. Gyan menatapnya lekat, tak sanggup berkata apa-apa lagi. Untuk pertama kalinya, ia sadar: perempuan yang ia peluk beberapa menit lalu... bukanlah sosok yang ia kenali selama ini. “Siapa kamu sebenarnya?” Belle diam sejenak, menatap Gyan lekat. Ia mendengus keras, melepaskan topeng tak kasat matanya. “La Gemma Nera.” Gyan membelalak. Julukan itu berarti ‘berlian hitam’, bermakna langka dan berharga. Ia sering mendengar sosok misterius itu di dunia underground, seseorang yang berbahaya yang hanya muncul saat keluarganya terancam. Konon, belum pernah ada yang berhasil menceritakan paras cantik Dewi Kematian itu. Karena apa? Karena siapa pun yang berhadapan dengannya selalu berakhir diam tanpa nyawa. “Kamu—“ Belle mengangguk. “Putri Il Gioielliere. Ayahku... sahabat ayahmu.” “Vittore....”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD