BAB 12 SUNAN

1614 Words
Riko sengaja memarkir mobilnya di sebrang jalan salon langganan Novie, kira-kira jam lima sore setelah dia pulang dari kantor. Nabila masih belum mau mengangkat telepon Riko karen itu dia ingin membuktikan apa benar sekarang Nabila bekerja. Tak berapa lama Riko melihat Nabila sedang menggendong Bagas keluar dari pintu salon. Nabila terlihat kerepotan menenteng tas lumayan besar yang mungkin berisi bekal keperluan putranya. Karena membawa anak-anak bekerja memang merepotkan harus banyak perbekalan. Nabila benar-benar bekerja di salon seharian dengan membawa putranya sama seperti yang dia katakan di telepon tadi. Sebenarnya Riko tidak tega dan ingin keluar dari dalam mobil tapi Nabil sudah lebih dulu menghentikan angkutan umum. Bukannya Riko tanpa hati melihat mantan istri dan anaknya seperti itu, tapi Nabila yang bersikeras untuk minta bercerai. Nabila juga tidak mau mendengarkan nasehat kedua orang tua Riko agar mereka tetap mempertahankan pernikahan. Semua itu memang salah Riko, tapi Riko sudah berjanji akan memperbaiki diri namun Nabila tetap tidak terima. Riko mengakui jika saat itu dia juga sangat emosi dan sekarang semuanya sudah terlanjur jadi begini. Riko sudah menikahi Novie yang sekarang sedang mengandung anaknya. Selepas Nabila pergi Riko ikut langsung pulang. Begitu sampai di rumah Novie sedang berada di kamar meringkuk sambil memeluk guling. "Apa masih sakit?" tanya Riko segera menghampiri Novie. "Ya Mas, tadi Nabila dorongnya kenceng banget." Novie kembali melanjutkan dramanya padahal Nabila sama sekali tidak menyentuh Novie. "Nabila pasti tidak suka aku hamil, dia tidak suka Mas Riko punya anak lagi, atau mungkin dia masih mengharapkan Mas Riko mau kembali sama dia." "Kita ke dokter saja." Kehamilan Novie baru mau memasuki bulan ke tiga, sebenarnya juga belum terasa apa-apa tapi Novie memang suka memanfaatkan kehamilannya untuk mendapatkan banyak perhatian dan bermanja. Seperti aji mumpung karena Riko juga akan menuruti semua kemauannya. "Aku bawakan makanan dari restoran yang kamu suka kemarin makan aja dulu." "Aku lagi gak enak makan Mas." "Makan dulu biar sedikit." Ketika Riko memanjakan Novie dengan berbagai makanan mahal, Riko tidak pernah tahu jika putranya Bagas cuma Nabila bawakan bekal yang dia buat pagi-pagi sebelum berangkat bekerja untuk dimakan seharian. "Mas harus tegur Nabila!" "Ya, nanti aku akan bicara dengannya." Riko mengambilkan makanan yang tadi dia beli agar Novie segera memakannya. "Tadi Nabila dan teman-temanya mempermalukanku di depan banyak orang, menyebutku pelakor dan wanita murahan." Novie kembali terisak. "Dia juga bilang jika aku cuma bisa ngabisin uang suami untuk berdandan." "Biarkan saja dia bicara jangan didengarkan." "Dia juga mengungkit-ungkit jika Mas Riko tidak memberi nafkah untuk Bagas." Novie benar-benar pintar menciptakan kebohongan untuk membuat Riko semakin membenci mantan istrinya. "Lebih baik Mas gak usah kasih mereka uang bulanan lagi, karena Mas tetap gak bakal dihargai dan gak bakal kelihatan! Lihat juga abang-abangnya Nabila, mereka suka merendahkan Mas Riko!" Sebenarnya Riko juga tidak ingin serta merta mengikuti omongan Novie tapi kenyataan yang Riko rasakan juga seperti itu. Kedua kakak laki-laki Nabila tidak pernah mau menghargai tangung jawabnya terhadap Bagas, bahkan menyombongkan diri untuk mengurus Nabila dan Bagas. Sering kali masalah seperti ini memang jadi rumit karena tidak ada yang mau mengalah, tiap pihak memiliki ego masing-masing yang ingin dibenarkan. Kakak laki-laki yang marah dengan laki-laki yang mengkhianati adiknya itu sangat wajar. Tapi, Riko juga sering tidak tahan jika kesalahannya terus diungkit-ungkit. ***** Begitu sampai di rumah Nabila langsung memandikan Bagas, bantu menyeka ibunya yang struk dan kembali memasak untuk makan malam. Nabila tidak sempat memikirkan hal yang remeh. Sebenarnya Nabila capek tapi papa Nabila sudah sepuh, Nabila melarangnya untuk membuat makanan sendiri. Dulu sebelum Nabila tinggal di rumah orang tuanya, biasanya Nabila dan kakak-kakak iparnya yang lain bergantian mengirim makanan, tapi karena sekaran ada Nabila, paling merka cuma membelikan bahan makanan mentah, kadang juga memberi uang belanja. Nabila bersyukur jika untuk makan dia masih banyak terbantu, tapi untuk keperluan Bagas seperti s**u, popok dan yang lain-lain Nabila tidak bisa terus-menerus mengandalkan abang-abangnya. Karena itu Nabila bersikeras untuk bekerja meskipun harus sambil membawa Bagas dan capeknya luar biasa. Setelah makan malam dan menidurkan Bagas, Nabila baru sempat kembali menghidupkan ponselnya. Ada beberapa pesan dari Moy, Riko, dan Suna. Nabila membuka pesan dari Moy lebih dulu [Nabila, tadi Sunan mampir ke salon tapi dia bilang kau sudah tidak ada] Nabila kaget tapi juga segera buru-buru mengetik. [Tadi aku pulang jam lima] Nabila juga buru-buru membuka pesan dari Sunan. [Tadi aku kebetulan lewat dan mampir di tempat kerjamu tapi sepertinya kau sudah pulang] Pikir Nabila, laki-laki itu benar-benar nekat, padahal mereka belum sepakat untuk saling bertemu. [Ya Mas, aku pulang jam Lima] Seperti biasa jawaban Nabila cukup singkat dan praktis tanpa embel-embel alasan untuk menambah basa-basi. Faktanya meskipun cuma mengobrol lewat pesan Nabila tetap deg-degan. Nabila juga jadi meraba dadanya sendiri harap-harap cemas kira-kira pria itu akan kembali membalasnya atau tidak. Rasanya jadi seperti kembali pada masa remaja karena saat Nabila pacaran sama Riko dulu rasanya juga sudah tidak seperti ini. [Berarti aku kurang beruntung] balas Sunan dengan menambahkan emoji tersenyum manis. Ya, ampun Nabila benar-benar deg-degan dan tidak sehat jika mengingat dirinya sudah jadi ibu. Bahkan Nabila belum bisa membayangkan wajah sunan seperti apa. Foto profil Sunan cuma berisi wajah putranya. Jika Nabila melihat anak laki-laki Sunan yang tampan Nabila juga jadi takut membayangkannya. Anak laki-laki berumur tiga tahun itu memiliki hidung tinggi mancung, dengan alis tebal dan bulu mata lentik sesuai dengan rambut ikalnya yang dibiarkan agak panjang. Jika menurut Moy, Sunan masih setengah keturunan timur tengah sepertinya memang sangat wajar anak laki-lakinya seperti itu. Yang membuat Nabila semakin resah adalah cerita Moy tadi siang. Moy mengaku sudah memberikan foto Nabila ke pada Sunan. Belum apa-apa Nabila sudah tidak tahan membayangkan fotonya sedang di pandangi oleh laki-laki yang punya niat untuk mendekatinya. Karena Sunan sudah tidak mengirim pesan lagi jadi Nabila kembali meletakkan ponselnya. Padahal bukan Sunan yang mengakhiri obrolan tapi Nabila sendiri yang tidak membalas pesan terakhir dari Sunan padahal laki-laki itu sedang menunggu tanggapan sepele dari Nabila. Nabila memang kurang peka, lambatnya seperti siput jik menurut Moy. Kira-kira pukul sepuluh malam ponsel Nabila kembali berbunyi dan muncul nama Riko di layarnya. Nabila sengaja tidak mau mengangkat panggilan dari manatan suaminya. Riko tetap kembali menelpon beberapa kali lagi. Kadang Nabila juga heran, padahal dulu ketika mereka masih menjadi suami istri Riko tidak pernah pegiat ini ingin meneleponnya. Nabila juga kembali melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan hampir jam sebelas, Riko meneleponnya ada lima kali. Nabila masih ingat kebiasaan Riko yang sering kerja lembur, jadi Nabila tahu jika Riko pasti sedang berada di ruang kerjanya sementara Novie mungkin sudah tidur. Tak ubahnya nabila dulu yang sudah tidur bersama putranya di kamar dan tidak tahu ketika Riko diam-diam menelpon Novie di ruang kerjanya. "Dasar laki-laki!" kesal Nabila melihat layar ponselnya yang terus bergetar tidak mau diam. Nabila meraih benda itu untuk dia matikan lagi karena Nabila harus segera tidur. Besok Nabila harus bangun pagi-pagi, masak untuk ayah ibunya dan bekalnya bersama Bagas. Nabila juga masih harus repot membangunkan bocah umur satu tahun untuk mandi pagi-pagi dan agar tidak rewel ketika diajak bekerja. Berulang kali dan berulang kali, memang tahu apa laki-laki dengan kerepotan wanita seperti itu? Walaupun Moy memberi kelonggaran untuk Nabila berangkat jam sembilan tapi nabila tetap datang lebih pagi karena tidak mau jadi omongan karyawan lain. Moy sudah terlalu baik memberinya pekerjaan dengan banyak kelonggaran seperti ini. Nabila tidak mau menimbulkan kecemburuan karena mereka sama-sama bekerja. Sebenarnya Moy juga tidak selalu datang ke salon, kadang dia juga meninjau beberapa klinik kecantikannya yang lain dan sibuk meeting dengan beberapa teman bisnis. Intinya Moy cukup sibuk tapi selama beberapa hari Nabila mulai bekerja di salonnya, Moy selalu meluangkan waktu untuk mampir. Kadang cuma untuk sekedar membawakan kue camilan untuk Bagas. Moy sudah sangat baik dan memang tidak pernah pelit. Siang ini Moy datang dengan wajah sumringah lain dari biasanya. "Kenapa?" tanya Nabila begitu Moy mendekat. "Nanti malam aku ada janji kencan, doakan aku bisa dapat duda tajir plus hensemmm." "Ya, pasti." Nabila masih menatap Moy sambil mengacungkan jempol sebagai bentuk dukungan . "Ini pria yang aku ceritakan padamu tempo hari, dia baru balik dari Singapore." "Semoga kencan kalian menyenangkan." "Bagaimana dengan Sunan?" Moy balik bertanya. "Kami masih mengobrol," polos Nabila dengan jawabannya yang begitu-begitu saja. "Apa tidak bisa kau gerak cepat sedikit jangan kayak siput?" Moy mulai gemas. "Kemarin Elice kembali janjian kencan sama laki-laki baru di grup, aku juga masih penasaran gimana hasilnya." Elice adalah wanita karir yang sangat sibuk bisa meluangkan waktu satu dua jam untuk bertemu seseorang saja sudah luar biasa. "Bagaiman jika besok Minggu kita ketemuan di kafe biasa buat ngobrol bareng." Nabila belum sempat menjawab ketika Moy sudah lebih dulu nyambar lagi. "Nanti aku jemput agak siang." Moy cukup pengertian jika Nabila juga masih harus mengurus orang tuanya meski hari Minggu. "Baiklah." Nabila mengangguk karena tidak enak menolak kebaikan Moy. Setelah itu Moy juga langsung berpamitan untuk pergi mengambil gaun untuk kencannya. Moy memang selalu bersemangat dalam hal apapun, sifat positif yang seharusnya banyak-banyak ditularkan pada Nabila yang cenderung santai. Tak berapa lama setelah Moy pergi sebuah mobil sedan mercedes berhenti di depan salon. Seorang pria tingi bersetelan rapi terlihat keluar dari dalam mobil berkaca hitam pekat itu dan berjalan masuk ke dalam salon. "Maaf apa ada yang bisa saya bantu?" sambut Nabila dan pria tampan itu tersenyum menghampirinya. Untuk beberapa saat dia masih berdiri di depan Nabila dan memperhatikan baik-baik wanita di hadapannya sampai Nabila merasa tidak enak mendapatkan senyum seperti itu dari laki-laki asing. "Maaf, apa Anda ada janji?" tanya Nabila yang ternyata juga mulai gugup. "Tidak ada, tapi semoga hari ini aku tidak datang terlambat seperti kemarin." Nabila langsung seperti tersendak dan kebetulan Bagas juga baru kembali berlari dari mengambil bola. "Bagas ..." sapa laki-laki itu pada putra Nabila sambil melambaikan tangan. "Mas Sunan!" Nabila baru berani menebak. Laki-laki itu terus tersenyum dan Nabila seketika pucat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD