Tiara tersentak. Tangannya menutupi hidung secara refleks. “Astaga ini nggak—" Abimana tetap diam di tempat, mengamati dari jarak aman. “Karena kopi atau karena saya?” Tiara melotot. “Bapak bisa nggak ngomong biasa aja?” “Saya Cuma berdiri. Kamu yang kelihatan panik.” Tiara buru-buru mencari tisu, mengelap darah dari hidungnya sambil memutar tubuh menjauhi pria itu. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu sekaligus kesal. Ini benar-benar konyol. Dia hanya ingin membuat kopi, tapi ujung-ujungnya malah kalah oleh d**a bidang seseorang yang bahkan tidak menunjukkan ekspresi menggoda. Dia harus tetap waras. Dia harus mengingat fungsinya berada di rumah ini. Membantu. Mendisiplinkan. Memberikan ruang agar pria itu bisa sembuh, bukan malah memperparah ga