Denting jam tangan Mika terdengar sangat halus menandakan waktu yang terus berjalan. Suara bising di kejauhan menggema seantero sekolah pertanda para siswa sibuk dengan segala aktivitas mereka masing-masing, memanfaatkan waktu istirahat singkat semaksimal mungkin.
Begitu juga dengan Mikaela. Sekarang ia sedang menunggu cowok super cuek bernama Daffa yang membuatnya harus jungkir balik supaya cowok itu menengok padanya.
Kebiasaan Mika, selalu tidak sabar untuk bertemu Daffa. Bolak balik dia menengok ke jarum arlojinya yang berdetak pelan tapi pasti, tetapi cowok yang ia tunggu belum datang juga. Padahal baru lima menit Mika tiba di taman tempatnya biasa berkencan.
Mika ingin tertawa jika menyebut itu kencan, karena pada kenyataannya mereka tidak punya hubungan apapun. Hanya saja Mika senang menyebutnya dengan kencan. Kapan lagi dirinya punya waktu berduaan dengan Daffa selain di sini? Tanpa sadar Mika tersenyum sendiri membayangkan kegilaannya.
Kegilaan pada sesosok makhluk yang berjenis kelamin laki-laki yang sangat tampan dan susah ditebak itu. Mika semakin penasaran kepada Daffa karena sikapnya yang aneh dan berubah-ubah padanya.
Seseorang tiba-tiba mendaratkan tubuhnya di samping Mika. Ya, itu Daffa.
Bibir Mika melengkung ke atas. Tersenyum bahagia saat sosok yang dinanti-nanti akhirnya datang.
"Obat habis?"
"Maksudnya?"
"Lo, senyum-senyum sendiri."
Mika mencebik kesal, hanya sedetik. Mana mungkin dia akan merasa kesal dengan candaan receh Daffa.
"Ih, Kakak, aku kan senyum karna seneng kakak udah dateng."
"Jadi?"
"Jadi apa, Kak?"
"Pesenan gue."
Mika mengeluarkan senjata ampuh andalannya untuk memanjakan perut cowok yang ia sukai itu; kotak bekal.
"Sesuai pesanan kakak."
Tangan Darren terulur mengambilnya. "Gue makan ya."
Mika mengangguk-angguk mantap.
Beberapa menit berlalu dengan hening, yang terdengar hanya suara sendok yang beradu dengan tempat bekal berwarna hijau tua yang Mika bawa, dan kunyahan halus seorang Daffa. Mika cukup senang dengan hanya menemani Daffa mengisi perut kosongnya.
Mika mengayun-ayunkan kedua kakinya yang menggantung di bangku, meletakan telapak tangannya di pinggiran bangku kayu itu, masih dalam keheningan. Mika berharap waktu berhenti sejenak membiarkan dirinya lebih lama bersama Daffa. Tapi waktu tidak berpihak padanya. Beberapa menit saja Daffa hampir menyelesaikan makannya.
Mata Mika berpendar melirik cowok yang duduk di sampingnya itu. Bau musk khas yang sekarang menjadi candu bagi Mika menyeruak ketika dengan sangat tiba-tiba cowok itu mengambil botol air mineral di sampingnya.
Mika harus sedikit memundurkan badannya dan mengangkat tangannya menjauh untuk memberi space kepada Daffa agar bisa meraih botol itu.
Mata mereka sempat bertemu sekilas sebelum Daffa kembali ke posisinya semula.
Mika terkesima.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa, Kak." Mika hampir sport jantung dibuatnya.
"Enak."
Mika hanya bisa tersenyum sekarang. Berulang kali Daffa memuji masakannya entah kenapa kali ini rasanya sangat berbeda. Sangat menyenangkan. Membuat hatinya menghangat dan terasa seperti banyak kupu-kupu berterbangan di perutnya.
"Besok mau dibawain apa, Kak?"
"Besok Minggu."
Mika memalingkan wajahnya berlawanan dengan Daffa, dan merutuki kebodohannya.
"Nanti malam kakak kemana?"
"Tidur."
"Besok mau kemana?"
"Tidur."
"Tidur terus, emang kakak nggak bosen?"
Daffa terlihat diam sejenak kemudian memutar sedikit tubuh dan kepalanya ke arah Mika. "Jadi?"
Mata mereka bertemu. Lagi. Mika yang ditatap seperti itu menjadi gugup. "Jantung gue, please bertahan. Gue kenapa jadi sering gugup gini sekarang?" batinnya.
"....."
"Ternyata Kak Daffa di sini."
Suara cedal khas bule itu merusak suasana yang tercipta. Mika berjanji besok dia akan membawa rantai kapal dan gembok penjara untuk mengikat Michelle dan mengkarantinanya di Zimbabwe.
"Iya, gue lagi kencan nih, ngapain lo ke sini?" tanya Mika kesal.
"Emang kakak pacarnya Kak Daffa?" balas Michelle penuh makna.
Mika melotot, membuat Michelle tertawa.
"Bercanda, Kak Mika. Aku cuma ada perlu sebentar sama Kak Daffa kok. Nggak bermaksud merusak kencan kakak."
"Perlu apa?" tanya Mika penasaran.
"It's secret."
Mata Michelle beralih ke Daffa. "Kak, bisa ngomong sebentar kan?"
Daffa terlihat berdiri tanda menyetujui keinginan Michelle dan itu sukses membuat Mika kesal setengah mati. Adegan yang menurutnya romantis tadi harus dia tunda gara-gara cewek sok imut yang bernama Michelle.
Mereka berdua pergi tanpa sepatah kata pun meninggalkan Mika sendirian.
"Ya Tuhan, Daffa Revano!!! Bilang makasih aja nggak! Untung gue cinta!" umpat Mikaela, geram.
.
"Ada apa?" tanya Darren tanpa basa basi ketika hanya berdua saja dengan Michelle.
"Cuma mau tanya maksud pesan kakak kemarin apa?"
"Yang mana?" Darren tak acuh, pura-pura tidak mengerti. Dia sangat malas membahas hal tidak penting ini.
"Yang terakhir, yang kakak bilang kalau kakak udah punya pacar, dan kakak bukan Daffa. Aku tau kakak bukan Kak Daffa."
"Jadi?"
Michelle berdecak, memegang pinggangnya dengan satu tangan.
"Jadi maksudnya apa, Kak?"
"Gue nggak mau lo ngarep." Tingkat kepercayaan diri Darren sangat tinggi. Tapi dia harus jujur, menghadapi cewek seperti Michelle ini harus dengan blak-blakan. Bukannya Darren tidak sadar kalau Michelle menaruh perhatian lebih padanya. Entah karena menganggapnya Daffa atau Darren. Tapi Darren baru saja mengenal cewek itu, jadi kemungkinan besar Michelle pun menganggapnya Daffa yang sebelumnya memang sudah kenal dengan Michelle.
"Aku nggak suka sama Kak Daffa. Kak Mika yang suka sama Kak Daffa."
"Bagus deh."
"Aku sukanya sama kakak."
Oke, ini benar-benar drama dan Darren sama sekali tidak berminat untuk berperan di dalamnya. Diperebutkan cewek-cewek cantik. Darren merasa seperti pangeran sekarang. Tidak, Darren memang sudah menjadi pangeran sejak dulu. Tapi tidak ada drama seperti ini.
Darren malas memberikan respon. Dia sudah jelas mengatakan bahwa dirinya sudah mempunyai pacar kepada Michelle kemarin.
"Aku nggak ngarep apapun dari kakak, karna kakak juga udah punya pacar."
"Bagus deh."
Malas-malasan Darren menjawab. Dia sudah sangat risih untuk segera meninggalkan tempat itu sekarang juga. Darren berharap bel masuk cepat-cepat berbunyi dan membebaskannya dari situasi yang tidak mengenakan ini.
"Seenggaknya anggap aku jadi adik kakak bisa?" tawar Michelle.
"Oke."
Bukan ide yang buruk bagi Darren karena dia juga tidak mempunyai adik perempuan. Setidaknya selama Michelle tidak merepotkannya, kenapa tidak? Michelle hanyalah gadis manja yang setiap keinginannya akan dipenuhi oleh orangtuanya. Menganggapnya sebagai adik yang manis tidak jadi masalah.
"Beneran, Kak?" Michelle berjingkrak kesenangan.
Dewi Fortuna berpihak pada Darren kali ini. Bel tanda masuk berbunyi cukup nyaring dari jarak dia berdiri sekarang. Waktunya mengakhiri drama tidak berfaedah ini.
"Gue ke kelas."
Darren buru-buru beranjak meninggalkan Michelle yang juga mengatakan ingin kembali kelasnya.
.
Sementara itu di Singapura..
Ema panik memanggil dokter dan suster karena kaget melihat Daffa sedikit menggerakkan jari tangannya. Tangis Ema hampir pecah ketika dokter yang dia tunggu-tunggu bersama timnya menyeruak dengan terburu-buru mendatangi Daffa untuk memeriksa pria yang tubuhnya semakin kurus itu.
"Gimana, Dok?" tanya Ema tidak sabar.
Tangan suaminya, Brata, mengelus-elus punggung Ema untuk menenangkan wanita yang sudah melahirkan anak-anaknya itu.
Dokter itu tersenyum. "Pertanda baik, Bu, dia sudah mulai mendapatkan kesadarannya. Saya harap ini akan berkembang secara bertahap, sampai anak ibu benar-benar sadar dari komanya."
Ema memeluk Brata erat menumpahkan tangisnya.
"Kita hanya akan terus berusaha sebaik mungkin. Dan satu lagi, beri dia banyak dukungan dan semangat, karena dukungan keluarga adalah obat terpenting agar dia juga bersemangat untuk sembuh dari penyakitnya," lanjut sang dokter.
Pria berusia setengah abad itu kembali memeriksa Daffa dengan cermat. Menggerak-gerakan jari Daffa, memeriksa dadanya, dan mengecek alat-alat medis yang terpasang di tubuh Daffa.
"Saya akan meninggalkan beberapa suster untuk berjaga di sini. Saya harap pergerakannya akan lebih banyak setelah ini." Dokter itu pergi meninggalkan ruangan sambil tersenyum kepada Ema dan Brata.
"Terima kasih dok."
.
Daffa merasakan kebas di jari-jari tangannya mulai menghilang. Dia mencoba menggerakkannya tadi. Saat hampir berhasil ternyata seluruh tubuhnya tidak bisa diajak bekerjasama. Mereka memilih tetap diam kaku tanpa mau menuruti perintah otak Daffa untuk bergerak.
Saat hampir putus asa, Daffa mendengar suara isak tangis Ibunya. Tangan hangat Ibunya menggenggam erat tangannya yang dingin, seolah memberikan Daffa kekuatan untuk terus berjuang.
Daffa merutuki kelemahannya, badannya yang terlalu lemah. Bahkan untuk berlari saja tidak bisa, padahal sewaktu kecil Daffa sangat menyukai sepakbola. Daffa tidak bisa melakukan suatu kegiatan yang berat, yang mungkin akan menguras tenaganya. Karna jantungnya akan berdetak lebih cepat dengan rasa sakit yang luar biasa jika dirinya terlalu lelah.
Samar tapi pasti Daffa dapat mendengarkan Ibunya berbicara padanya.
"Sayang, bangun nak." Ibunya mengelus d**a Daffa. Suaranya bergetar, terdengar parau menyayat hati. "Mama sama papa kangen."
Daffa sangat ingin bangun saat ini juga dan memeluk Ibunya.
"Kamu nggak kangen sama Mama? Papa? Juga Darren?"
Daffa mencoba menggerakkan lagi jarinya. Tapi percuma, rasa kaku dan kebas itu kembali menyerang seluruh tulangnya. Kembali tidak bisa digerakkan.
Arrhh. Daffa mengerang dalam hati karena tidak dapat berbuat apapun saat ini. Yang Daffa yakini sekarang hanya terbangun. Ya, dirinya ingin terbangun sekarang dan memberitahu orangtuanya kalau dirinya baik-baik saja.
.
Bunyi denting jam dinding mengisi kesunyian kamar Darren. Cowok itu sedang membaca komik yang dia beli sepulang sekolah tadi. Berbaring di sofa empuknya sambil membaca. Itu adalah kebiasaan Darren sejak dulu. Jika sudah membaca dia akan lupa dengan segalanya.
Ponsel Darren berdering nyaring di atas nakas. Darren segera melangkah mengambil ponselnya dan menggeser tombol hijau yang ada di layar.
"Ya, Ma."
"...."
"Serius, Ma?"
"...."
Darren tersenyum senang mendengar kabar dari Ibunya.
"Ya udah Mama cuma mau ngabarin itu sayang. Kamu tidur ini udah malem, oh, iya, Zania tadi ke sini."
"Iya, Ma, tadi dia udah nelpon aku."
"Berdoa aja ya buat Daffa."
Darren mengangguk walaupun mamanya tidak dapat melihatnya.
"Mama tutup, selamat malam sayang."
"Nite, Ma."
Darren meletakkan kembali ponsel itu ke nakas dan kembali berbaring di sofa kesayangannya tanpa berniat melanjutkan membaca komik kesukaannya tadi.
Dia sangat senang mendengar kabar tentang kembarannya yang mulai dapat menggerakkan salah satu anggota tubuhnya, walau hanya gerakan kecil. Darren bisa bersyukur sekarang dan berdoa agar Daffa dapat cepat kembali mendapatkan kesadarannya.
Mood Darren membaik. Diambil kembali ponselnya dan mengetikan satu nomer yang sudah dia hafal di luar kepala.
"Ya, sayang," sapa seseorang di seberang sana.
"Daffa udah--"
"Ya, aku udah tau, Mama kamu kasih tau tadi. Kamu seneng?"
"Banget."
"Aku ikut seneng kalau kamu seneng."
"Kamu belum tidur?"
"Masih ngerjain tugas, kamu nggak ada sih, kalau ada kan kamu selalu bantuin aku."
"Maaf."
Terdengar Zania terkekeh pelan.
"Nggak apa-apa sayang, yang penting Daffa cepet sembuh biar kamu bisa balik lagi ke sini."
"Iya."
"Kamu nggak nakal kan di sana?"
Mendengar pertanyaan Zania entah kenapa Darren terpikir Mika. Cewek yang selalu merusak hari-harinya dengan sangat luar biasa.
"Pacar Daffa di sini gangguin aku terus."
"Pacar Daffa?"
"Ya, kamu nggak cemburu? Aku selalu makan siang bareng dia, di taman, cuma berdua, dia selalu masak buat aku."
Darren mengucapkan kalimat itu dengan tersenyum geli membayangkan dirinya dan Mika.
"Itu karna dia menganggap kamu Daffa, sayang, kamu sabar ya."
"Iya, ya udah kamu kerjain dulu tugas kamu. Udah malem."
"Iya sayang, miss you."
Darren segera menutup panggilannya. Kemudian memilih memainkan ponselnya sejenak. Membuka-buka pesan masuk satu bahkan dua jam yang lalu.
Dari Rendy. Michelle dan Mika.
Bawel
'Kakak sayang lagi apa?' 19:07
Bawel
'Besok mau kemana kak?' 19:56
Rendy
'Lagi apa lo? Maen PS yok.' 18:49
Rendy
'Bales dong cinta.' 19:37
Michelle
"Lagi ngapain kak?" 18:34
Pertanyaan basi. Memangnya tidak ada pertanyaan lain selain 'lagi apa?' dan Darren paling malas menjawab pertanyaan itu.
Tapi karna moodnya sedang baik jadi ia akan membalasnya.
Darren
'Tidur' 21:20
Darren
'Tidur' 21:20
Darren
'Tidur' 21:20
Selesai sudah Darren membalas ketiganya. Dia menyimpan kembali ponselnya ke nakas dan menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi, kegiatan wajibnya sejak dulu ketika menjelang tidur.
Berharap besok pagi sudah ada kabar baik dari orangtuanya yang mengatakan bahwa Daffa sudah sadarkan diri. Semoga.
Tbc...