Letizia memegang sebuah kartu yang bernilai sakral dengan tangan yang gemetar, di lembaran itu tercetak jelas foto dirinya dengan pria yang 6 tahun lalu pernah menjadi sandaran paling nyaman. Tertulis jelas juga namanya yang kini telah resmi menjadi istri dari seorang pria yang bernama Jourell Maximilian. Sesekali matanya terpejam, menatap langit dengan sejuta tanya.
Apakah ini nyata? Aku benar-benar menikah dengan Jourell?
Letizia memejamkan matanya singkat, rasanya ingin sekali tertawa. Entah permainan takdir apa yang membawanya bisa terjebak dalam pernikahan tanpa dasar yang jelas itu. Hanya ada sebuah kesepakatan yang ia anggap saling menguntungkan. Jika tidak untung mana mungkin Jourell mau tiba-tiba menikah.
Mamanya telah sembuh setelah 2 minggu di rumah sakit pasca operasi. Namun kesembuhan itu tidak keseluruhan karena psikis mamanya masih perlu pemantauan, mengingat traumatis masa lalu yang dialami membuat mamanya susah untuk disembuhkan. Untuk itu pihak dinas sosial menyarankan agar mamanya kembali di rumah sakit RSJ umum. Letizia akan sering berkunjung pastinya nanti.
“Baiklah, karena kita sudah menikah sekarang kita akan tinggal bersama.” Ucapan tanpa basa-basi itu menyadarkan Letizia dari lamunan yang panjang. Ia tersentak mendapati wajah Jourell yang sudah sangat dekat dengannya. Ia tiba-tiba terbatuk ketika mulai mencerna ucapan Jourell barusan.
“Tinggal bersama?” Letizia bertanya untuk memperjelas.
Jourell mengangguk pelan namun pasti. “Tentu saja, suami istri memang harus tinggal bersama 'kan?” Ia melangkah lebih dekat lagi hingga jarak keduanya sama sekali tidak ada.
Letizia kembali terbatuk karena gugup, berusaha mengalihkan perhatian dengan menatap ke arah lain. Akhir-akhir ini perasaannya kembali susah dikendalikan.
“Baiklah kalau begitu, aku akan kembali ke Apartemen untuk mengambil barang-barang," ujar Letizia.
Jourell menggelengkan kepala, senyumnya semakin lebar. “Tidak. Kau tidak perlu mengambil barang-barang karena aku yang akan pindah ke tempatmu," ucap Jourell. Letizia mengerutkan kening, memasang wajah bertanya kepada Jourell. Pria itu mengangkat bahu dengan ekspresi yang sedikit acuh.
”Ya, kau tidak perlu repot-repot. Aku akan pindah ke tempatmu, dan kita akan tinggal bersama seperti suami istri yang sebenarnya."
Letizia merasa jantungnya berdetak kencang, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Ia tahu bahwa Jourell memiliki rencana lain, tapi ia belum tahu apa itu. Ia hanya tahu bahwa ia harus berhati-hati, karena Jourell tidak seperti pria lain yang pernah ia kenal.
“Aku mohon tolong kerjasama, kita bisa membahas ini nanti. Aku akan pulang," ucap Letizia akhirnya. Kepalanya seperti dijejali hal-hal yang membuatnya begitu penuh dan pusing.
Senyum Jourell kian lebar meski tak terlalu ditunjukkan. Tanpa peringatan ia langsung merengkuh pinggang Letizia dengan mesra. “Ayo pulang," ucapnya tenang tanpa rasa bersalah.
Letizia cukup risih akan hal itu berusaha melepaskan diri namun semakin ia berontak semakin kuat Jourell menahannya. Ia menatap pria itu dengan tatapan tajam penuh peringatan. “Lepas!” seru Letizia.
Jourell menarik napas dalam-dalam, meredam gejolak emosi dalam dirinya. Ia tahu bahwa Letizia masih belum siap untuk menerima pernikahan ini, tapi ia tidak bisa menunggu lagi.
“Pengantin baru tidak boleh marah-marah, ini waktunya melakukan hal yang menyenangkan," ucap Jourell yang kemudian menunduk mencium bibir Letizia sebentar lalu dilepaskan. Namun, walaupun sebentar berhasil membuat Letizia diam membeku bak orang bodoh.
Letizia merasa jantungnya berdetak kencang, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Ia tahu bahwa Jourell memiliki rencana lain, tapi ia belum tahu apa itu. Ia hanya tahu bahwa ia harus berhati-hati, karena Jourell tidak seperti pria lain yang pernah ia kenal.
***
Sesampainya di Apartemen Letizia kembali dibuat terheran-heran mendapati satu koper besar di depan pintu kamarnya. Ia menatap Jourell dengan tatapan malas, tidak perlu ditanya koper itu milik siapa. Ia segera membuka pintu dan masuk ke dalam.
Apartemen Letizia adalah Apartemen studio berukuran 40-50 meter. Semua ruangan dari ruang tamu, kamar dan dapur menjadi satu ruangan. Di bagian kamar ada lemari yang digunakan untuk pemisah dengan satu kamar mandi yang kecil. Ia menyewa Apartemen itu pastinya dengan harga yang murah.
“Kita bisa sharing, kau tidur di kamar nanti aku yang akan tidur di sofa ruang tamu," ujar Letizia yang langsung menghempaskan tubuhnya di sofa mengurangi pegal yang luar biasa.
Mendengar itu Jourell mengerutkan kening, tanpa peringatan ia langsung menindih Letizia dan memerangkap wanita itu di sofa.
“Akh!” teriak Letizia kaget. “Jourell, ada apa?"
Rahang Jourell tampak mengeras menahan gejolak emosi dalam dirinya. “Entah kenapa aku merasa kau sangat membenciku, Zia?”
“Hah?" Kedua mata Letizia terbelalak lebar lalu buru-buru menggeleng. “Kau hanya salah paham. Aku hanya tidak ingin kau merasa terganggu akh—” Letizia kembali beteriak tatkala Jourell tiba-tiba menarik tengkuknya dengan sedikit kasar.
“Jika kau memang tidak membenciku berhentilah menghindariku!” sergah Jourell dengan gigi gemeletuk menahan kesal. “Tidak akan tidur terpisah, kita akan tidur bersama.” Jourell menekankan dengan suara yang begitu tegas. Ia kemudian menjauhkan tubuhnya dari Letizia.
Jantung Letizia berdegup lebih keras, ia berusaha membaca apa yang sebenarnya Jourell pikiran. Semuanya terkesan membingungkan dan menakutkan. Ia melirik Jourell takut-takut, entah kenapa ia begitu tak berkutik sekarang ini.
“Apa ini persyaratan kedua yang kau maksud?” Letizia memandang Jourell lebih intens, berusaha memahami apa yang pria itu inginkan.
Jourell menarik sudut bibir menjadi senyum sinis, ia mengeluarkan rokok miliknya lalu disulut. Aroma tembakau dari asap yang menguar seketika memenuhi ruangan itu.
“Ini bagian dari syarat yang pertama," sahut Jourell tenang sekali. “Syarat yang kedua, kita harus bekerjasama.”
Letizia terbatuk pelan ketika mencium aroma rokok yang cukup kuat. Ia cukup kaget karena Jourell ternyata merokok sekarang, padahal seingatnya dulu Jourell pria yang sangat manis.
“Maksudnya apa? Kau tidak sedang mempermainkanku 'kan Jourell?”
Tatapan mata Jourell sontak berkilat-kilat mendengar pertanyaan itu. “Mempermainkan? Bukankah itu kau, wanita yang suka berjanji tapi susah untuk menepati,” kata Jourell, suaranya penuh gejolak emosi yang membuat giginya gemeletuk tatkala ingat rasa sakit pada masa lalunya.
Letizia tersenyum getir mendengar itu, ia sama sekali tidak membantah apalagi mencari pembenaran.
“Kau itu penipu, Zia.” Jourell kembali menambahkan ucapan yang membuat Letizia mengangkat pandang. Mata keduanya bertemu dengan tatapan yang sulit diartikan. Seolah dari tatapan mata itu menjelaskan rasa sakit yang telah mereka terima selama ini.
“Ya, aku memang seperti itu. Maafkan aku," kata Letizia tersenyum kaku.
Jourell membuang muka, jengah dengan emosinya sendiri. Dalam hati kecilnya, ia tak henti menjerit berharap jika Letizia akan membantah tuduhannya itu. "Aku akan memaafkanmu jika kau mengatakan apa alasanmu pergi," katanya, suaranya rendah dan penuh harap.
Kedua tangan Jourell mengepal erat, ia tahu tak seharusnya ia bertanya hal ini namun hatinya yang gelap memerlukan jawaban atas rasa sakit yang telah terjadi. Air mata Letizia terjatuh begitu saja, namun segera ditepis dengan cepat. Ia tersenyum tipis, memandang Jourell yang masih menatapnya dengan sangat tajam.
"Itu sudah tidak penting sekarang. Kita disini untuk membahas kesepakatan—" Ucapan Letizia belum sepenuhnya selesai ketika tiba-tiba Jourell menariknya ke dalam pelukan, bibirnya menghantam bibir Letizia dengan keras. Letizia terkejut, tubuhnya mematung, namun Jourell tidak melepaskannya. Ia terus mencium Letizia, seolah-olah ingin menghilangkan rasa sakit yang telah terjadi.
Tiba-tiba, suara pintu yang diketuk membuat keduanya terpisah. Letizia terengah-engah, matanya terbelalak lebar, sementara Jourell masih menatapnya dengan intens.
"Siapa itu?" bisik Jourell, suaranya rendah dan penuh ancaman.
Bersambung~