"Hah~" Emilia menghela  napasnya, duduk di atas kasur megahnya dengan wajah cemberut, dia sedang  kebingungan. "Aku tidak percaya akan datangnya saat-saat seperti ini."
Ucapnya disertai wajah  kaku. Emilia adalah sosok gadis yang memiliki rambut hitam bak putri  kerajaan dari negeri timur, matanya yang sipit dengan bibir mungilnya  membuat rupanya semakin menarik. Banyak sekali prajurit-prajurit yang  sering menyatakan perasaannya pada Emilia, tapi jawaban yang selalu  gadis itu berikan adalah ketidakpastian, membuat para prajurit tidak  tahu menahu apakah dirinya ditolak atau diterima.
Namun, dibalik sosok  ramahnya, Emilia tidak jauh berbeda dari keempat adiknya. Dia juga  sering merasa marah, kecewa, takut, dan jijik, tapi dia selalu  menyembunyikan ekspresi negatif itu dari orang-orang dengan senyuman  ramahnya.
Karena hal itu, Emilia sering dijuluki sebagai 'Putri Senyuman' atau 'Si Sipit yang Ramah'. 
"Calon suami, ya?"  Emilia merenung sesaat, dia melepaskan sepatu hak tingginya lalu  beranjak untuk berbaring di ranjang mewahnya. 
Di temani oleh beberapa bantal di permukaan kasur, Emilia tersenyum setelah menemukan sesuatu yang menarik di dalam pikirannya. 
"Mungkin sebaiknya, aku harus pergi berkonsultasi."
***
Emilia  berjinjit-jinjit keluar dari kamarnya, dan berjalan pelan menyusuri  lorong-lorong istana. Dia terus memberikan senyuman ramah pada  orang-orang yang berpapasan dengannya, entah itu para pembantu yang  sibuk bersih-bersih, prajurit yang sedang patroli, atau para bangsawan  yang berkunjung ke rumahnya.
Dan  akhirnya, Emilia sampai di tempat tujuannya. Siapa sangka kalau Emilia  ternyata ingin berkonsultasi pada Agnes, adiknya sendiri.
***
"Agnes,  seperti biasa, kau selalu sibuk mengerjakan ritual-ritual menyeramkan  di dalam kamarmu, ya?" tanya Emilia setelah Agnes mempersilakan gadis  sipit itu untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Tutup mulutmu, Kakak," ucap Agnes dengan menggeram. "Sekarang, kau boleh duduk di sana, dan aku akan mendengarkan keluhanmu."
Kemudian  Emilia duduk di kursi yang berhadapan dengan Agnes, mereka hanya  terhalangi oleh sebuah meja yang penuh dengan pernak-pernik menyeramkan  di atasnya. 
Emilia pun mencoba menyembunyikan rasa jijiknya dengan tersenyum pada Agnes yang ada di depannya. 
"Mengingat  kau itu suka berhubungan dengan hal-hal mistis, aku ingin bertanya, apa  yang harus aku lakukan untuk mencari seorang calon suami? Mungkin kau  bisa menelitinya dengan ilmu ghaib yang kau kuasai, Agnes."
Mendengarnya,  membuat Agnes melotot kaget. Ternyata bukan hanya dia sendiri yang  tertimpa masalah seperti itu, kakaknya pun mengalami hal yang serupa.
Lantas,  karena Agnes sendiri tidak bisa meneliti hal-hal seperti itu dalam ilmu  hitam, maka dia pun terpaksa berbohong pada Emilia.
"Keluhan  yang sangat menyedihkan, sepertinya aku tidak bisa berbuat banyak, tapi  ada satu cara agar kau bisa mendapatkan calon suami dengan cepat,  Kakak," Agnes tersenyum dengan memperlihatkan gigi-gigi tajamnya. "Kau  harus memakan buah jengkol."
"Buah Jengkol? Apa itu?" Emilia mengerutkan alisnya kaget.
***
Setelah  selesai berkonsultasi dengan Agnes, Emilia pun berpamitan pada adiknya  untuk kembali pulang ke kamarnya, tapi dalam perjalanan, dia malah  berpapasan dengan Laila, adiknya yang memiliki pancaran aura yang lebih  ramah darinya.
"Oh, Kak Emilia?" Laila menghampiri kakaknya yang berambut hitam itu. 
Gadis berambut merah itu tersenyum tulus pada Emilia, membuat kakaknya sedikit terguncang dengan ketulusan hatinya. 
"Kebetulan sekali kita bertemu di sini, kau juga mau ke kamar Agnes, Laila?" tanya Emilia dengan kaku.
Sejujurnya,  Emilia tidak dapat menandingi Laila dalam segala hal, maksudnya,  walaupun gadis sipit itu memiliki sifat ramah yang cukup baik, tapi  tetap saja, dia tidak dapat mengalahkan kebaikan hati Laila yang  benar-benar tulus dari hati.
Karena  sebagian besar keramahan yang Emilia lakukan hanyalah topeng untuk  menyembunyikan rupa aslinya, sedangkan Laila, tidak begitu. Laila tidak  pernah menyembunyikan apa pun dari siapa pun, dan dia selalu bersikap  baik pada semua orang, dan itu membuat Emilia sebagai kakaknya merasa  iri.
"Ke kamarnya Agnes? Tidak, kok. Aku sekarang akan ke kebun untuk menyiram bunga, kalau kakak sendiri, baru dari mana?"
Emilia  tercengang mendengar pertanyaan itu, karena dia tidak mungkin menjawab  pada Laila bahwa dia telah berkunjung ke kamar Agnes, karena itu akan  membuat reputasi baiknya jatuh. Emilia yang dikenal oleh semua orang  adalah sosok yang tidak suka berhubungan dengan hal-hal ghaib, karena  itulah, dia harus berbohong.
"Ya, seperti yang kau tahu, aku baru saja memasak hidangan nikmat dari dapur." bohong Emilia pada Laila dengan senyuman kaku.
Mendengarnya, Laila mengangguk paham. 
"Aku  ingin sekali merasakan masakan Kak Emilia, tapi aku sedang buru-buru  sekarang, jadi, sampai nanti, Kakak." ucap Laila dengan tersenyum pada  Emilia. Dan Laila sengaja menabrakkan bahunya pada pundak Emilia lalu  berbisik, "Itu bohong, kan?"
Dan Laila pun berlalu dari hadapan Emilia, meninggalkan raut wajah kekagetan pada kakaknya.
"Si-Sial! Dia mengetahuinya." Emilia menutup mulutnya tidak percaya.
***
"Hihihihi~ Rasanya aku  hampir muntah melihat Kakakku berkunjung tanpa memberikan sepeser pun  padaku, tapi tak apa, kebohongan yang telah aku katakan pasti akan dia  lakukan. Bodoh sekali." 
Agnes tertawa-tawa di kamarnya mengingat Emilia yang mematuhi perintahnya untuk memakan buah jengkol. 
Jengkol sendiri  merupakan buah yang memiliki rasa pahit dan aroma busuk, Agnes tidak  bisa membayangkan bagaimana reaksi Emilia saat memakan buah tersebut.  Mungkin dia harus mengabadikannya jika itu terjadi, pikir Agnes.
"Sekarang, lupakan dulu  yang tadi. Aku juga masih kesal terhadap Ayah yang semena-mena  menyuruhku untuk punya pacar dan aku juga tidak percaya kalau kakakku,  Emilia, juga mengalami hal yang sama sepertiku," geram Agnes dengan  mengepalkan tangannya. "Aku penasaran, siapa peramal yang membuat Ayahku  langsung percaya pada ramalannya yang tidak benar itu! Aku akan  mengutuknya hingga menjadi bangkai!"
***
"Hm~  hm~ hm~" Victoria bersenandung sendirian di dalam kamarnya, merapikan  beberapa benda yang berantakan sambil menyisir rambut pirangnya yang  menjuntai.
"Okey!  Semuanya sudah sempurna!" Victoria tersenyum hangat memandang isi  kamarnya yang sudah rapi mengkilap. "Ini semua berkat kerja kerasku! Aku  bangga pada diriku sendiri! Andai saja Ayah melihat ini. Ah, berbicara  mengenai Ayah, membuatku ingat apa yang ia katakan semalam." 
Victoria mencemberutkan bibirnya, pipinya mengembung dan matanya berkedut, itu adalah ciri-ciri kalau saat ini dia sedang kesal.
"Apa-apaan  itu! Huft! Aku tidak pernah tahu kalau Ayah ingin aku menikah secepat  itu. Aku pikir, Ayah tidak terlalu peduli soal hubungan asmaraku, tapi  sekarang, dia tiba-tiba berkata begitu, itu benar-benar membuatku ...  Huaaaaaaah~" 
Victoria  menangis kencang di dalam kamarnya, dia melemparkan sisir kesayangannya  sembarangan dan berlari-lari ke sana-kemari seperti anak kecil.
"Tapi,  walau begitu, aku juga tidak mau membuat hati Ayah sakit, soalnya ...  Ayah baik sekali padaku. Dia selalu mengelus puncak kepalaku, memelukku  saat aku terluka, dan memberikan segalanya untukku. Aku ingin membalas  semua kebaikannya, apakah balasannya aku harus mematuhi perintahnya  semalam? Hiks! Tapi aku benci lelaki! Aku benci lelaki! Mendengar  namanya saja, aku muak."
***
Di  kebun, Laila terlihat sedang menyirami bunga mawar yang tumbuh di dekat  pagar, wajahnya saat sedang menyiram sungguh mempesona, aura cantiknya  sangat luar biasa, sampai-sampai para pembantu yang juga ikut menyiram  di dekatnya terpesona.
"Lihatlah, Putri Laila cantik sekali, ya." 
"Kau benar, dia cantik sekali, aku jadi ingin menikahinya.
"Aku rasa, aku jatuh hati padanya."
"Ah, andai saja dia adalah istriku."
Beberapa  pembantu yang memandanginya mengeluarkan kata-kata pujian dan harapan  pada Laila, membuat gadis berambut merah itu tersipu.
"Maaf, sebenarnya, aku tidak secantik itu, kok. Kalian terlalu berlebihan, Tuan-tuan dan Nona-nona."
Mendengar respon Laila membuat para pembantu seketika tersenyum cerah.
"Dia juga rendah hati."
"Aku pikir, dia cocok untuk jadi pemimpin kita selanjutnya."
"Kau benar, dengan sifat baiknya, dia dapat membimbing kita semua."
"Rasa-rasanya aku mau pingsan melihat sosok Putri Laila."
Dan rupanya, mereka malah semakin memuji-muji Laila tanpa henti, membuat gadis itu agak canggung berada di kebun.
***
"Permisi,  Yang Mulia," Tiba-tiba ada seorang prajurit yang masuk terhentak-hentak  ke wilayah kehormatan William. "Ada seorang pria yang ingin bertemu  dengan Anda, Yang Mulia."
Alis merahnya berkedut, William penasaran siapa lagi yang ingin berbincang-bincang dengannya.
"Suruh dia masuk." titah William pada Prajuritnya.
Lalu  kemudian, datanglah seorang pria gagah yang memiliki rambut pirang dan  dua tanduk hitam, dia mengenakan pakaian bangsawan yang mewah. 
"Maaf jika kedatangan saya mengganggu kesibukan Anda, Yang Mulia, tapi saya kemari hanya ingin menawarkan sesuatu pada Anda."
William menghela napas.
"Sebelum itu, siapa namamu?"
Pria pirang bertanduk itu mulai membungkuk hormat pada William. "Nama saya adalah Arga Gelisto, Yang Mulia."
"Dari mana asalmu, Arga?"
"Maaf,  Yang Mulia, untuk saat ini, saya tidak bisa memberitahu Anda mengenai  dari mana saya berasal. Tapi, percayalah, saya bukanlah orang jahat,  Yang Mulia."
William sedikit terkejut pada jawaban Arga yang merahasiakan asalnya.
"Lalu, tawaran apa yang ingin kau berikan padaku, Arga?"
Arga  tersenyum. "Saya dengar, Anda ingin segera menimang cucu dari kelima  putri Anda, bukan? Saya siap untuk memberikan kebahagiaan pada lima  putri Anda, Yang Mulia."
William  terkesiap mendengar hal itu, rasanya dunia berguncang di pikirannya.  Dan dari balik pintu masuk, Charlotte, putri bungsu William, mendengar  semuanya dan kini, gadis itu juga tersentak mendengar pernyataan Arga  yang memgejutkan itu.
"Ap-Apa dia gila!?" Seru Charlotte dengan menggertak giginya kaget. "Akan kubuat dia menyesal atas tindakannya hari ini."
☆☆☆
TO BE CONTINUED ...
Yohoo!  Apa kabar semuanya? Terima kasih sudah mau mampir lagi di cerita baruku  ini. Aku tidak percaya masih ada insan-insan yang rela membaca cerita  ini dengan serius.
Aku ucapkan terima kasih banyak!
Dan bagaimana mengenai cerita ini? Apakah semakin menarik?
Oh, apa mungkin ada yang penasaran? Oke, jika kalian memang penasaran, aku akan menulis kelanjutannya secepat mungkin.
Aku harap kalian terhibur dengan cerita ini. ^^
Dan  ya, seperti biasa, berikan review kalian di kolom komentar agar aku  semangat untuk menulis. ^^ tidak juga tidak apa-apa, kok. Hehehe.
See you next chapter!