Bab.2 : Masa depan yang kelabu

1518 Words
Velo meletakkan kuas dan catnya dia tidak bersemangat untuk melakukan apapun, rasanya sangat hampa tanpa kehadiran Levin. Velo memilih mengakhiri kegiatannya ia meninggalkan lukisan yang sudah separuh jalan itu dan memilih untuk membaringkan dirinya, mungkin saja Levin akan datang hari ini. Satu hari ... Dua hari ... Tiga hari ... Seminggu pun berlalu, mengapa Levin tidak pernah datang? Velo selalu menanti pemuda itu sembari meyakinkan hatinya bahwa Levin tidak mungkin meninggikannya, pemuda itu tidak akan mengingkari janjinya. Velo sudah putus asa, bahkan sudah hampir dua minggu berlalu Levin seolah menghilang begitu saja, apakah pemuda itu berubah pikiran? Kini pikiran buruk kembali menyelimuti Velo, ia kembali menyalahkan dirinya dan berkecil hati. Gadis itu menangis di sudut ranjang sambil memeluk kedua lututnya dan menunduk. Pada akhirnya semua orang meninggalkan dia sendiri. **** Eva menahan pergelangan Levin yang terlihat hendak bergegas pergi, "Mau kemana kau levin?" "Keadaan ayah sudah membaik Bu, jadi biarkan aku pergi." Jawab pemuda itu "Kemana? Levin apa kau lupa pesan ayahmu? Fokuslah pada karier mu." "Aku hanya pergi sebentar Bu, aku harus menemui seseorang." Jelas Levin. Eva mengangguk paham ia dan melepaskan pegangannya pada anak laki-lakinya itu "Baiklah, kau boleh pergi. Tapi ingat untuk secepatnya kembali, hari ini ibu akan mengajakmu ke LS&Partners Firm dan memperkenalkan mu secara resmi." Jelas Eva. "Baiklah, Bu. Aku akan kembali secepatnya." Levin meninggalkan kediamannya menuju rumah Velo, hampir dua minggu Levin tidak pergi ke sana. Bukan sengaja tapi ada permasalahan yang harus Levin selesaikanlah. Saat ini Levin sudah berdiri di depan rumah Velo sambil menetralisir nafasnya, ia gugup. Mungkin saja gadis itu akan kesal padanya atau apapun. Pemuda itu mengetuk pintu rumah Velo beberapa kali hingga berkali-kali sebelum akhirnya pemilik rumah itu membuka pintunya perlahan. Velo memberanikan dirinya melihat melalu celah pintu yang sengaja ia buka sedikit terlebih dahulu, saat melihat itu Levin Velo membuka lebar pintunya menatap pemuda itu sesaat dan kemudian langsung memeluk erat-erat Levin. Dia sangat merindukan pemuda itu ... "Akhirnya kau datang ..." Lirih Velo dengan air mata yang begitu saja menitik. "Maaf ... Maaf membuatmu menunggu lama." Levin membalas pelukan Velo, sama seperti gadis itu, Levin pun sangat merindukan Velo, dia khawatir dan selalu memikirkan Velo saat berada jauh dari gadis itu. "Kenapa kau sangat lama?" Tanya Velo. "Aku akan ceritakan, tapi kita masuk lebih dulu." Pinta Levin. Levin menceritakan segalanya tentang kondisi ayahnya serta tentang ujian akhirnya ... Velo mendengarkan dengan seksama dia tidak menyangka keluarga Levin sangat hebat. ayahnya adalah pendiri sebuah firma hukum dan ibunya seorang jaksa penuntut senior. "Jadi bagaimana kondisi ayahmu saat ini? Apa dia sudah membaik?" Tanya Velo. "Syukurlah dia ditangani dengan baik walau dia harus menjalani terapi lanjut. Tapi dia sudah bisa pulang ke rumah." "Baguslah ..." Mereka berdua terdiam sesaat sebelum akhirnya Levin kembali memulai obrolan. "Apa kau mau menjenguk ayahku, biar kau aku kenalkan pada ayah juga ibuku."ajak Levin. Velo membulatkan matanya "Aku? Apa tidak terlalu cepat?" Tanya Velo yang merasa ragu. Keluarga Levin begitu terpandang apakah bisa menerimanya yang hanya seorang gadis biasa tanpa sesuatu yang spesial. "Ini hanya perkenalan ... Kau tidak perlu khawatir." Jelas Levin. Namun, tetap saja tidak dapat menenangkan Velo "Tapi, apa orang tuamu akan menyukaiku?" "Mereka akan menyukaimu percayalah." **** Eva duduk sambil menyeka punggung tangan suaminya yang sedang terlelap karena pengaruh obat, syukurlah Luis bisa segera pulang lelaki itu juga sudah alam kondisi baik, suara ketukan pintu membuat fokus Eva beralih pada seorang lelaki berbaju hitam yang memberikan salam hormat padanya. "Kau sudah tahu, kemana Levin pergi.?" Tanya Eva dengan wajah datar, wanita itu kembali fokus mengurus suaminya sembari menunggu informasi yang lelaki itu akan beritahukan padanya. "Tuan Levin pergi ke rumah seorang gadis, seperti gadis itu adalah kekasih Tuan Levin." Jelas lelaki berbaju hitam itu "Kekasih? Dimana pastinya?" "Rumah gadis itu berada di pinggiran kota di sebuah bangunan berlantai tiga." Eva mengangguk paham, "Selidiki gadis itu, jangan lewatkan hal terkecil sedikitpun ..." Perintah Eva. "Baik Nyonya." Lelaki itu langsung pergi meninggalkan Eva yang masih terlihat santai menemani suaminya. Kekasih? Eva menaikkan sudut bibirnya dan menghela nafasnya. Sepertinya dia terlalu membebaskan Levin dia tidak masalah jika anak laki-laki nya itu menjalin hubungan, tapi tidak sembarang orang dapat berhubungan dengan putranya, Eva kini hanya perlu menunggu informasi tentang gadis itu, jika dia pantas maka Eva mungkin akan memberikan kelonggaran pada hubungan mereka asalkan gadis itu tidak merusak atau mengganggu Levin dalam karirnya dan jika gadis itu tidak pantas maka ... Eva akan membuat mereka berpisah. Levin putranya harus sempurna entah dalam karier bahkan hubungan pribadi Levin tidak bisa bersama seseorang yang hanya membawa pengaruh buruk, Eva tidak akan membiarkan putra yang ia besarkan dengan segala hal terbaik malah salah memilih pendamping. Masa depan Levin harus cerah dan Eva akan memastikan putranya tidak terhalangi apapun sampai itu terjadi. ***** Levin duduk di sofa sambil menikmati acara komedi yang sudah ia tunggu-tunggu sejak tadi, Velo yang baru saja selesai membersihkan diri menatap datar Levin lalu menghampiri pemuda itu dan seketika berbaring menjadikan paha pemuda itu sebagai bantalan. "Levin ..." Panggil Velo "Hemm, ada apa?" "Apa keluargamu tahu apa yang terjadi padaku?" Mendengar pertanyaan Velo pemuda itu terdiam. "Tidak, aku bahkan belum bercerita apapun tentang hubungan kita." mendengar jawaban itu membuat Velo mengangkat badannya sejajar dengan pemuda itu "Jadi orang tuamu sama sekali tidak tahu apapun tentang aku?" "Yah, bisa di bilang begitu ... Aku memang tidak pernah membicarakan hal pribadi pada mereka, karena mereka sangat sibuk. kami bahkan jarang bertemu." Jelas Levin Velo memeluk Levin menepuk pundak pemuda itu, dia salah mengira jika Levin yang hangat tercipta dari lingkungan keluarga yang juga hangat seperti sikap pemuda itu tapi ternyata, keluarga Levin adalah keluarga yang kaku dan dingin di antara satu sama lain. "Velo ..." "Iya." "Aku benar-benar bahagia bersamamu, aku bersyukur bertemu denganmu." Ucap Levin "Bukankah kalimat itu harusnya aku yang mengucapkannya?" Jawab Velo "Tidak penting siapa yang mengatakannya, yang ingin aku katakan adalah aku serius pada hubungan kita." Velo memeluk Levin lagi kali ini bahkan lebih erat, bagi Velo mungkin Levin adalah satu-satunya kebaikan yang ia rasakan semenjak kepergian ayahnya, Velo hidup dalam bayangan ketakutan dan intimidasi selama bertahun-tahun bahkan Ibu yang yang harusnya mendukung serta melindunginya malah menutup mata atas segala ketidak adilan yang Velo terima. Velo pikir dia tidak memiliki satu orangpun untuk bersandar tapi semenjak Levin hadir Velo mulai percaya bahwa kalau kebahagiaan itu nyata, bahkan setelah tragedy yang membuatnya kembali terpuruk Levin masib ada di sana dan dengan sabar meyakinkannya untuk melangkah maju meninggalkan gelapnya kenangan menyakitkan itu. "Terimakasih ... Terimakasih untuk segalanya." **** Eva mengeratkan rahangnya. Namun, saat ini wanita itu hanya bisa berusaha agar tetap tersenyum dan bersikap ramah ia tetap mencoba tenang walau dirinya sedang di selimuti kekesalan. Levin tidak datang, bagaimana bisa pemuda itu tidak datang padahal sudah jelas ia mengatakan untuk kembali lebih awal, wajah Eva memerah saat melihat beberapa pengacara lain mulai menunjukkan rasa tidak senang. Mereka yang ada di sini bukanlah pengacara biasa, mereka adalah para ahli dan senior dalam bidang mereka, juga beberapa sahabat Luis dan teman Eva yang ikut merintis LS& Partners Firm bersama. "Maaf, seperti Levin memiliki urusan mendadak dan tidak bisa ikut makan malam bersama ..." Jelas Eva, pada akhirnya ia harus menunduk dan meminta maaf untuk sikap tidak sopan putranya. Para tamu terlihat kecewa dan kesal, tetapi melihat sikap Eva membuat mereka mengurungkan diri dan menolerir sikap Levin. "Sekali lagi maafkan aku, padahal kalian sudah meluangkan waktu berharga kalian." sambung Eva, "Sudahlah, kita bisa membahas hal lain dan untuk masalah ini, anggap saja ini kesempatan baik." Jawab Calista salah satu jaksa penuntut yang sangat ahli dan di hormati di bidangnya hampir 98% dari 100 kasus tuntutan yang ia menangkan. Andai saja Eva tidak mengakhiri karirnya dia mungkin akan menjadi rival terberat Calista "Kesempatan baik?" Eva mengulang kalimat terakhir wanita itu dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Ya, anggap saja ini kesempatan untuk mengajarkan putramu bersikap sopan dan lebih baik." Jawab Calista dengan nada menyindir. Ev tercengang mendengar perkataan Calista, beberapa orang menatap Eva seolah menunggu reaksi wanita itu terhadap perkataan Calista. Eva menarik nafasnya dan berusaha untuk tidak terpancing pada permainan yang sedang Calista umpan kan padanya. "Tentu, aku akan memberikan putraku pelajaran. Jadi kau bisa nikmati makanan mu dengan tenang sekarang," jawab Eva sambil mengulas senyum. Padahal Eva sangat ingin mencabik-cabik mulut wanita yang terlihat pede dengan lipstik merah terangnya Calista tersenyum penuh kemenangan dia suka menyindir atau membuat Eva geram, "Baiklah, karena aku sudah meluangkan waktu walau tidak sesuai harapan, tapi setidaknya aku bisa makan dengan tenang." Sahut Calista sambil memberikan sebuah kerlingan pada Eva. Eva mendudukkan dirinya tangan wanita itu meremas kuat ujung gaun mahalnya, Eva benci penghinaan dan sayangnya hari ini karena putranya sendiri ia harus menerima semua ini, tentu Eva geram tapi dirinya tetap harus menjaga pembawaan, lagi pula menunjukkan rasa kesalnya saat ini hanya akan membuat dirinya semakin di permalukan, "tentu saja, aku sudah menyiapkan yang terbaik untuk mu, makan pelan-pelan jangan sampai pencernaanmu terganggu." balas Eva dengan senyuman palsu. Calista terlihat kesal saat dirinya gagal memancing kemarahan Eva, wanita tua itu hanya bisa terdiam dan melanjutkan makan dalam perasaan marahnya sendiri. begitu juga semua orang yang lebih memilih melanjutkan makan malam. tidak ada gunanya terus memperdebatkan masalah tentang Levin terus-menerus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD