Hari ini terasa begitu cerah bagi, Levin. Pemuda itu bersenandung dengan seutas senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya, terkadang biasanya Levin akan muak dengan tumpukan tebal dokumen kasus, tapi sekarang di terlihat tidak memikirkan hal itu seakan lelahnya tidak terasa hanya asik pada apa yang di kerjakan juga pikirannya.
"Apa sesuatu yang baik sudah terjadi, Levin?" Tanya seorang pengacara senior namanya, Moure Houg. Atau bisanya mereka akan memanggilnya Tuan Houg, pengacara senior yang sangat pandai dalam kasus pidana khusus.
"Ya, begitulah, Tuan Houg." Jawab Levin dengan senyuman. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya sampai jam kerja berakhir.
Levin pulang bersama beberapa kolega yang lain, hari ini dia akan pulang ke kediaman Abraham. Dia akan mengemasi barang-barangnya ... Levin dan Velo sudah memutuskan bahwa mereka tidak akan mencari tempat tinggal baru, karena dari hasil pembicaraan mereka rumah Velo juga masih layak, lagi pula wanita itu sudah nyaman di sana.
Sesampainya di kediaman Abraham Levin masuk, para pengurus rumah menyambut pemuda itu tapi dengan wajah kaku. Levin mengabaikan reaksi mereka dan memilih segera menuju kamarnya untuk mengemasi pakaian.
Brak ...
Pintu terbuka menampakkan Eva yang terlihat marah, Levin menatap wanita itu sesaat, dia muak dengan sikap ibunya. Entahlah dia sudah merasa lelah bahkan hanya untuk mendengar ucapan wanita itu. Levin ingin hidupnya bebas, dia berhak menjalani kehidupan seusai dengan apa yang dia mau.
"Kenapa kau tidak kembali kemarin?"
"Aku menginap bersama, Velo."
"Lalu sekarang kemana lagi kau akan pergi? Kau baru pulang!"
"Aku sudah katakan pada, ibu. Aku akan tinggalkan rumah ini dan hidup dengan caraku ... Ayah juga sudah setuju, jadi aku rasa tidak ada yang perlu di pertanyakan lagi."
"Ibu tidak setuju, aku akan bicara pada--"
"Ibu, aku mohon!!!" Seru Levin, Eva kaget karena ucapan dengan nada meninggi itu. "Bisakah ibu hargai keputusan yang sudah aku buat? Ini hidupku, biarkan aku menjalaninya ... Masalah pribadiku ibu tidak perlu ikut campur."
"Kenapa? Kau putraku, aku yang melahirkanmu, apa hanya karena gadis itu kau membuang ibumu sendiri? Karena gadis itu kau melupakan segalanya," Eva bersikap egois lagi, mempermainkan perasaan putranya, Eva selalu memanipulasi segala hal, Levin bangkit dia mendekati wanita itu,
"Aku tidak pernah membuang ibu, sejauh ini apa aku pernah membantah perkataan ibu? ibu minta aku jadi pengacara, aku melakukannya ... ibu mengatur hidupku sedari kecil aku menerima itu semua, tapi apa sekarang aku tidak boleh bahagia? aku juga ingin memiliki pilihanku sendiri apa."
jelas Levin, lelaki itu masih menjelaskan dengan sopan berharap ibunya akan memahami segalanya. tapi bagi Eva semua itu tidaklah penting.
"Berapa kali harus aku katakan, aku melakukan semua itu demi kebahagiaan dan masa depanmu ... aku selalu memilih yang terbaik bagimu, sama seperti itu aku juga tidak akan membiarkan kau jatuh karena gadis hina itu ... kau bisa mendapatkan yang lebih baik, Levin tapi kenapa kau harus memilih gadis seperti itu?"
Levin sudah berada pada titik dia tidak dapat menoleransi lagi perkataan, Eva. Levin dengan cepat mengemasi barang miliknya lalu kemudian bergegas pergi, Eva yang merasa ucapannya di abaikan semakin geram ...
"Levin, Levin ... kau tidak bisa pergi ..." tahan Eva sembari mengikuti anak laki-lakinya itu dari belakang.
Levin menghempaskan tasnya, dia menatap ke arah Eva dengan penuh kekecewaan.
"Apakah ibu pernah menyayangi aku?", tanya Levin, Eva yang mendengar itu terdiam begitu juga para pengurus rumah yang memperhatikan mereka berdua.
"A-apa maksudmu, tentu saja Aku menyayangi kau, Levin." jawab Eva.
"Lalu kenapa ibu selau menghancurkan kebahagiaanku? kenapa? pertama masa kecilku, ibu membuat aku tertekan dengan segala nilai dan pelajaran ... lalu cita-citaku, ibu hancurkan dan ibu ganti dengan apa yang ibu inginkan, kemudian ... kekasihku, ibu diam-diam menghinanya dan meminta dia untuk meninggalkan aku, sebenarnya kenapa ibu harus melakukan semua itu? apa ibu selalu merasa puas saat aku kehilangan kebahagiaanku?"
Eva terbungkam, wanita itu menatap tajam Levin. semua orang yang ada di sana menuntut Eva untuk mengatakan sesuatu. begitu juga Luis yang menyaksikan semua itu dari lantai dua.
"Apa kau pikir gadis itu pantas membuat kau bahagia? gadis yang tidur dengan ayah tirinya sendiri!" ucap Eva remeh, dia berkata seolah Velo adalah gadis yang sembarangan, padahal kekasihnya itu hanyalah seorang korban kebejatan saja ... bagaimana bisa ibu mengatakan hal itu, padahal dia juga seorang wanita ...
"Dia tidak seperti itu, dia hanyalah korban! dia tidak bersalah ..." jelas Levin. "Ibu, apa ibu lupa pada apa yang aku katakan, jika ibu mengusik kehidupan Velo, atau menyakiti dia ... maka aku tidak akan pernah memaafkan ibu ..."
"Terserah padamu, intinya. sampai kapanpun aku tidak akan pernah sudi kau bersama gadis yang tidak punya masa depan itu."
Eva meninggalkan Levin. Levin juga tidak ingin berlama-lama dia sana, pemuda itu pergi meninggalkan kediaman Abraham.
Eva menghampiri Luis, lelaki itu menatapnya tajam begitu juga tatapan yang Eva berikan,
"Maaf mengganggu waktu istirahatmu, hanya saja aku sudah tidak tahan melihat, Levin. sekarang kau sadar kan, mengapa aku bersikap seperti itu pada gadis bernama, Velo." ucap Eva.
"Jika kau di posisiku, apa aku juga akan menyetujui apa yang Levin lakukan? apa kau akan membiarkan dia bersama gadis seperti itu?" tanya Eva.
Luis terdiam beberapa saat untuk berpikir dan ia merasa, Eva benar. tidak baik gadis dengan masalalu seperti itu bersama dengan Levin,
"Kau benar, Eva. gadis itu tidak baik untuk, Levin". ucap Luis. "Tapi, biarkan saja ... mereka masih muda dan hubungan itu bisa berubah kapanpun ... aku yakin, Levin akan segera bosan." sambung lelaki itu.
"Tapi--"
"Eva, menekan dia itu hanya akan membuat Levin semakin salah paham. dia akan semakin memberontak ... lakukan dengan perlahan-lahan, aku yakin Levin akan memahami segalanya nanti." Eva menatap jengah, membiarkan semua ini berlarut-larut hanya akan semakin mempererat hubungan mereka. Eva tidak pernah bisa berharap pada Luis, lelaki itu selalu saja lemah pada, Levin.
Eva akan melakukan dengan caranya sendiri. dia akan pastikan gadis itu menghilang selamanya dari kehidupan Levin.
*****
Levin membawa masuk semua barangnya dengan wajah kesal, membuat Velo yang melihat semua itu bertanya-tanya ada apa lagi.
"Levin, apa terjadi sesuatu?"
Levin tidak menjawab, dia hanya berlalu menuju kamar, Velo mengekor di belakang ia khawatir mengapa kekasihnya itu terlihat begitu kesal.
"Levin--"
ucapan Velo terhenti, ketika tubuh Levin mendekap erat tubuhnya, pemuda itu memeluk dia dengan erat ...
"Kau kenapa?"
"Velo, maafkan aku."
"Untuk apa?"
"Karena aku membawa kau bertemu orang tuaku ... tapi ibuku malah menghinamu ..." jawab Levin.
"Apa kau bertengkar dengan ibumu?"
tanya Velo.
"Kami tidak pernah akur ..." jawab Levin.
Velo menepuk punggung, Levin. hanya itu yang bisa ia lakukan,
"Apa kau sudah makan?"
seperti anak kecil Levin menggeleng, membuat Velo yang melihat itu terkekeh.
"Baiklah aku akan buatkan makanan kesukaanmu."
"Aku akan membantumu ..."
mereka berdua menuju dapur bersama-sama, Velo menyiapkan bahan sedangkan Levin sibuk mempersiapkan alat masak.
mereka berdua terlihat senang, layaknya pasangan sempurna, Velo dan Levin terlihat saling melengkapi.
Velo memotong sayuran, sedangkan Levin hanya sibuk menatap kekasihnya melakukan berbagai hal yang tidak penting hanya untuk menggoda kekasihnya.
Levin memiliki sebuah ide, pemuda itu mengangkat tiba-tiba tubuh Velo lalu mendudukkan gadis itu di meja makan.
"Ada apa? aku sedang memotong sayuran?"
bukannya menjawab Levin hanya diam, tanpa terduga pemuda itu mencuri sebuah ciuman di pipi kiri Velo kemudian yang kanan, hingga gadis itu hanya bisa membulatkan matanya karena kaget. saat Levin ingin mencuri sebuah ciuman dari bibir gadis itu, tangan Velo lebih dulu menahan bibir Levin.
"Sudah cukup! Kau nakal, Levin." ucap Velo. Levin hanya tersenyum tidak menyerah dia malah mengecup tangan Velo.
"LEVIN!!"
"Iya, Velo?" jawabnya dengan senyuman nakal.
Levin menggenggam jemari Velo dan meletakkannya di meja, sehingga dua tangan gadis itu terkunci dalam genggamannya.
Levin mendekatkan wajahnya, dengan senyuman nakal yang sudah membuat wajah Velo memerah.
"Tomat cantik." ucap Levin, Velo mengerutkan keningnya dan ingin bertanya apa maksud ucapan pemuda itu. tapi bibir lembut Levin lebih dulu membungkam dirinya, ciuman lembut Levin membuat Velo larut dalam suasana. akankah hari mereka akan selalu seindah ini? apakah mereka akan selalu bisa sedekat ini? di sela kemesraan itu. pikiran itu terbesit dalam benak Velo. ada titik di mana gadis itu takut, bahwa segala kebahagiaan ini hanyalah sebuah ilusi semata ...