3

596 Words
Brandon, Willy, dan Ridho hanya bisa menatap Ashar yang beberapa hari ini suka sekali melamun di kantin fakultas. Eh, di semua tempat sih. Padahal nih ya, yang namanya Ashar mana pernah bisa diem. Laki-laki itu selalu aktif, dengan segala tingkah konyol yang kadang membuat geram para temanya. Ashar kalau lagi normal tuh, sukanya gangguin anak-anak cewek di kantin. Dari yang angkatan paling muda, sampai angkatan yang udah bangkotan kalau sama Ashar pasti disiul-siulin. Maklumin lah jomblo karatan. Ya begitu, kan lagi prospek cari jodoh dia. "Shar, lo kenapa?" tanya Brandon memakan baksonya. Willy yang tengah meminum teh botol, menatap sang sahabat melas. Pasalnya itu anak memang kaya enggak b*******h hidup gitu hari ini. "Kenapa Bro, kenapa?" tanya Brandon lagi sambil mengunyah makanan dimulutnya. "Vit..." "Papaaaaaaaaa, gendong Arsen nih. Mama ada kelas. Dia nggak mau sama Mbak Harni." teriak Icha kencang dari pintu kantin, membuat Brandon cepat-cepat bangkit dari kursinya dari pada mendapat lemparan sepatu sang nyonya besar. "Sialan! Baru gue mau curhat." gerutu Ashar, melihat Brandon lari. "Biasa Shar, suami takut istri maklumin. Gimana curhat sama gue, sini." kata Ridho yang diangguki oleh Willy. "Vita balik ke Surabaya." "Alhamdulillah." ucap Ridho bersyukur gadis secantik Vita akhirnya sadar juga dan meninggalkan Ashar. Ridho nggan jadi mau rukuyah Vita kalau gini caranya. "Seneng dong lo, katanya nggak mau sama dia. Sama Uti aja?" tanya Willy yang diangguki oleh Ridho. "Bener tuh, Vita buat gue aja." timpal Ridho cengengesan. Berharap boleh dong, kan mayan buat cadangan. "Masalahnya, dia balik ke Surabaya ngambek sama gue gara-gara gue perawanin." "Apaaa!?" "Wadepaaakkkk, motherfuck, holly s**t!!! Taikkkkkk, b******k, b******n, f**k you!" kali ini segala umpatan lolos dari bibir Ridho. Gagal sudah usahanya mau ngembat si Vita yang katanya Ashar nggak maui itu. Meski bercanda, tapikan nggak gitu juga. Ia sebagai lelaki tidak pernah mengajarkan sahabatnya menjadi lelaki bejad. Cukup dia saja, yang lain jangan tiru-tiru. "Terus gue harus gimana kalau dia ntar hamil?" tanya Ashar frustasi. Plakkk "Tanggung jawab." kata Dimas yang tiba-tiba saja datang ke fakultasnya itu. "Masalahnya, orangnya nggak mau oncom." "Whaaat?" ** Telepon? Enggak? Telepon? Enggak? Telepon? Enggak? "Setan! Kok enggak sih!" maki Ashar pada dirinya sendiri dengan suara yang lantang, membuat kedua pembantunya terlonjak kaget. Kedua pembantunya sedari tadi memang menemani Ashar yang tengah menggalau. Meski sudah biasa, tetapi kedua wanita itu tetap membuktikan bentuk loyalitasnya pada sang majikan yang selalu galau itu. "Arrgggg.." teriak Ashar frustasi. "Mas? Kenapa Mas?" tanya Surti dengan aksen medoknya. "Pusing saya Bi." adu Ashar. Surti mengangguk paham. Pasti ditolak cewek lagi tuan mudanya. Emang apalagi yang bikin tuan mudanya itu pusing, kalau bukan urusan gagal dapetin pacar. Biasanya kan galaunya karena itu, makanya mereka berdua nemenin Ashar selalu biar nggak bunuh diri. "Bi, Saya mau ke Surabaya. Mau jenguk Mama-Papah." kata Ashar pada asisten rumah tangganya itu. "Tumben Mas?" tanya Surti, Kepo. "Saya mau bawa balik tunangan Saya Bik." Surti menganga lebar. Tunangan? Setahunya tuan mudanya ini pacar saja tidak punya, apalagi tunangan. Mungkin saking pusingnya kali ya, sampai halusinasi tingkat tinggi begitu. "Tolong jagain rumah ya, Saya nanti sore mau berangkat. Naik pesawat aja biar cepat." kata Ashar meninggalkan Surti yang masih melongo takjub. Denok dibelakang tak kalah terkejutnya. Adik-Kakak yang sudah hampir tua itu sama-sama menggelengkan kepala, prihatin dengan kelakuan tuan muda mereka yang semakin menunjukkan tanda-tanda kurang waras itu. "Kasihan Ibu sama Bapak ya Mbak. Anak satu-satunya ganteng, tapi kok gila begitu. Miris aku Mbak." ucap Surti yang mendapat omelan dari sang kakak karena lancang. "Tapi iya juga Sur." Gemas Denok. Memang benar sih. Masa mau disangkal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD