"Pak, saya bisa jalan sen-"
"Diam, Sonya ... ini demi kebaikan kamu juga."
Wajah Sonya memerah, sengaja rambutnya dia buat menutupi pandangan demi menutupi identitas dari karyawan lain di kantor Zeron.
Demi Tuhan tidak dia duga bahwa Zeron akan membopongnya tiba-tiba. Entah akan dibawa ke mana, Sonya tidak sempat bertanya.
Akan tetapi, satu hal yang pasti dia khawatir bahwa akan dibawa pulang dan Zeron menuntut haknya lagi.
Beberapa saat berlalu, kini Sonya baru sadar bahwa dirinya sudah berada di dalam mobil. Gelagat Zeron tampak terburu, dia tergesa-gesa dan langsung melaju dengan kecepatan tinggi.
Tampak buku-buku jemarinya memutih sewaktu mengendalikan kemudi, caranya berkendara tak ubahnya bak pembalap profesional sana.
Hingga, tepat di depan lampu merah, Zeron berhenti dan sejenak melirik ke arah Sonya di sebelahnya.
Pandangan pria itu tertuju ke arah kaki Sonya, tampak mulus dan dengan begitu lancangnya, dia memastikan sendiri dengan membuka kaki Sonya secara paksa.
Padahal, dia bisa bertanya, tapi sepertinya tidak puas sebelum melihat sendiri. "Pak stop!!" Sonya menyingkirkan tangan Zeron yang masih bertengger di pahanya pelan-pelan, tentu demi mempertahankan sopan santunnya.
Sesaat setelah Zeron agak menarik dirinya, Sonya menutup kakinya rapat-rapat bahkan sengaja duduk sedikit miring dan nyaris membelakangi Zeron.
Jangan tanya bagaimana perasaannya saat ini, tentu saja gugup setengah mati. Tangannya bergetar, dingin dan takut Zeron macam-macam.
"Darah itu ...." Suara Zeron sejenak menggantung di udara sebelum kemudian lanjut bicara. "Darah apa? Kamu mens?"
Di antara rasa gelisahnya, Zeron memberanikan diri untuk bertanya. Matanya menyiratkan harapan, meski kecil kemungkinannya dia berharap bahwa yang dialami Sonya memang benar datang bulan.
Namun, yang ditanya justru menggeleng pelan. "Saya tidak tahu."
"Hah? Tidak tahu bagaimana ceritanya? Apa kamu tid-"
Tiiin ... tiiiin ... tiiiin
"Ays sabar!!" bentak Zeron mulai melibatkan emosi.
Belum selesai dia memastikan apa yang terjadi, suara klakson dari mobil belakang membuat kepalanya kian runyam.
Tak ingin masalahnya kian membesar, dan kebetulan dia ingin cepat-cepat tiba di rumah sakit, Zeron melanjutkan perjalanannya.
Kali ini tetap dengan kecepatan super tinggi, dan begitu tiba Sonya bahkan mual sekali.
Alhasil, begitu turun dia mendadak ingin muntah seolah baru saja melewati perjalanan antar kota.
Di sebelahnya, Zeron tetap mendampingi dengan wajah yang kian khawatir dan sesekali melirik ke arah kaki Sonya yang kebetulan memang menggunakan rok selutut.
"Roknya basah, apa mungkin parah?" tanya Zeron lebih kepada dirinya sendiri, karena jatuhnya seperti gumaman pelan.
Akan tetapi, suara pelan Zeron masih dapat didengar jelas oleh Sonya di sebelahnya.
Sebagai yang mengalami, sejujurnya Sonya juga bingung dia kenapa. Jika diingat-ingat, tanggal segini dia belum datang bulan.
Hanya saja, untung kemungkinan lain, dia juga masih bingung dan agaknya memang butuh pemeriksaan langsung dari dokternya.
Zeron berjalan lebih dulu, dan Sonya mengekor di belakangnya seperti anak hilang.
Seolah pasrah saja ke mana Zeron akan membawanya, pun dibawa ke kamar jenazah juga ikut saja.
.
.
"Pagi, Ziona." Sapaan Zeron terdengar setelah pintu ruangan dokter Ziona Khalwa Zayeda itu terbuka.
Jantung Sonya kian berdegup tak karu-karuan, karena dokter yang kini mereka datangi adalah adik kandung Zeron, dengan kata lain adik iparnya.
Sementara itu, Ziona tampak antusias menyambut kedatangan mereka.
"Kalian? Kenapa nih? Mau konsultasi promil?"
"Promil kepalamu!!" sentak Zeron tetap dengan melibatkan emosi seperti biasa.
Sonya yang mendengar sampai bergetar dan dari kejadian ini, dia menarik kesimpulan bahwa sang suami memang emosian dari sananya.
"Awww, ada yang sensitif rupanya ... biasanya pengantin baru ke dokter buat-"
"Ah tutup mulutmu, cepat periksa dia," titah Zeron setelah memotong pembicaraan Ziona barusan.
Pedas sekali mulutnya, dan Ziona dengan senang hati melakukan tugasnya. Selayaknya dokter yang butuh penjelasan dari si pasien, Ziona bertanya begitu lembut.
"Gimana? Apa keluhan apa?"
Wajah Sonya memerah, pertanyaan Ziona tak ubahnya bak ancaman dan seolah tidak kuasa menjelaskannya.
Secara alami, dia melirik ke arah Zeron yang juga tengah menatapnya. Seolah minta dibantu menjelaskan, dan tak terduga Zeron mengerti aoak keluhannya.
"Dia berdarah, coba pastikan itu mens atau pendarahan, Ziona."
"Omo?"
Mulai, alih-alih segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut, Ziona justru menganga dengan mata yang berbinar.
"Oh my god, Zeron? Kamu? Eh kalian?" Wanita itu melirik Zeron dan Sonya secara bergantian, tentu saja dengan pikiran yang melayang-layang.
Tentu saja hal itu berhasil membuat Zeron naik darah. "Ck, lakukan saja tugasmu apa susahnya, Ziona!!"
"Eih jawab dulu, kalian benar-benar-"
"Kau mau kupukul?"
"Jangan dong!!" Ziona sontak mundur tatkala Zeron justru melayangkan ancaman di sana.
Lanjut ke pemeriksaan, Ziona melakukan tugasnya dan selama itu, Zeron sabar menunggu hasilnya.
Selama itu pula, Ziona tampak serius. Beberapa waktu berlalu, pemeriksaan itu selesai dan Ziona juga sama tak sabarnya seperti Zeron.
.
.
"Gimana? Dia kenapa?"
Braaaak
"Keren, Kak Zeron, keren!!"
Sembari menggebrak mejanya, Ziona berseru tak ubahnya bak pemandu sorak yang tengah merayakan kemenangan jagoannya.
"Apa? Cepat katakan jangan kebanyakan yel-yel, Ziona." Selelah itu Zeron, bicaranya saja sampai terdengar berbeda.
Berbanding terbalik dengan Ziona yang makin semangat, bahkan dua kali lipat dibanding pasiennya.
"Jadi gini." Dia menangkupkan kedua tangannya, seperti tengah bersyukur atas apa yang terjadi. "Dari hasil pemeriksaan yang tadi kulakukan, istrimu benar-benar pendarahan Zeron yeay!!"
Mata Sonya membuka, tentu saja bingung dengan reaksi dokter Ziona yang seolah menganggap ini seperti pencapaian paling membanggakan sepanjang sejarah.
"Yeay katamu?" Zeron kini yang bicara, dan dari nada bicaranya pria itu sedang marah.
"I-iya, kenap-"
"Dasar gi-la!! Otakmu di mana, Ziona?!!"
Diam, suasana ruangan itu seketika mendadak hening, sunyi dan juga suram.
"Kenapa?"
"Masih tanya kenapa, benar-benar menyebalkan ... ini semua karena ulahmu, 'kan?!!" Tanpa pikir panjang, Zeron langsung minta penjelasan, sekalian karena memang sejak awal tujuannya ingin mencari Ziona untuk meminta klarifikasi tentang ini.
Tak memberikan jawaban lagi atas pertanyaan Zeron, Ziona hanya diam saja. Dia kemudian mencatat resep dan beberapa obat yang memang sudah tersedia di sana.
"Ini resepnya, aku juga memberikan vitamin ... jika pendarahannya berlanjut, datang lagi saja," ucap Ziona kembali ke mode profesional, tidak lagi ada keceriaan yang begitu dekat seperti tadi.
Setelahnya, dia meminta Zeron dan Sonya keluar dengan alasan ada pasien lain.
Masih dalam keadaan marah, d**a Zeron terlihat jelas sekali naik turun dengan napas yang terengah-engah.
Tangannya juga mengepal keras, bahkan hingga obat yang tadi dia dapatkan, wajah Zeron masih sama.
Sonya tak berani berkutik, melihat Zeron diam saja dia takut. Apalagi jika sudah masuk mode marah seperti ini, jelas makin takut jujur saja.
Tiba di mobil, Sonya juga hanya diam saja. Tidak berani bersuara ataupun mengatakan apa-apa, bahkan dia tidak berani melayangkan protes saat menyadari bahwa mereka tidak lagi kembali ke kantor, melainkan ke apartemen.
"Soal tadi malam ... saya minta maaf." Suara Zeron terdengar memecah keheningan, Sonya yang berada di sampingnya sontak mendongak karena dia menemukan hal unik di sini.
Seorang Zeron Athariz meminta maaf padanya. "Maaf?"
"Hem, saya dalam pengaruh obat ... Ziona meletakkan sesuatu ke dalam minuman saya hingga membuat saya kehilangan kendali tadi malam."
Diam, Sonya bingung hendak bereaksi bagaimana. Akan tetapi, entah kenapa permintaan maaf pria itu justru menorehkan luka di hatinya. "Setelah merenggut keperawananku dia hanya minta maaf, sementara aku sendiri bagaimana? Ya Tuhan seharusnya sejak awal aku memang tidak mendatangi cowok g4y ini."
.
.
- To Be Continued -