Alexa, Bara dan Grace sama sekali tidak menyangka bahwa percakapan mereka barusan telah didengar oleh seseorang. Orang itu adalah Friska, asisten Bara, seorang wanita cantik berambut panjang yang selalu berpenampilan seksi dan suka mencari perhatian Bara. Tampaknya Friska cukup terkejut saat ia menghampiri ketiganya dan menegaskan kabar yang baru saja ia dengar.
"Apakah tadi saya tidak salah dengar? Kamu bilang, Alexa hamil?" tanya Friska kepada Grace.
Grace, yang belum mengenal Friska karena dia baru bekerja beberapa bulan di perusahaan tersebut, langsung merasa kikuk. "Maaf, Anda siapa, ya?" tanyanya bingung.
"Saya Friska, asisten Pak Bara," jawab wanita itu.
Mendengar jawaban Friska, Alexa buru-buru menangkis kemungkinan agar wanita itu tidak menyebarluaskan kabar ini. "Kak Friska, sepertinya kamu salah dengar. Lebih baik jangan ikut campur urusan kami," ucapnya tegas.
Dalam hatinya, Alexa yakin bahwa Friska yang menyukai Bara bisa saja mengeksploitasi situasi ini untuk menjatuhkannya.
Friska kemudian merasa perlu untuk membenarkan pendengarannya. "Oh ya? Tapi saya yakin, tadi saya mendengarnya. Maaf tidak bermaksud ikut campur, tapi bukankah kamu dan Pak Bara baru saja menikah kemarin? Masa iya sudah hamil?" ujarnya dengan tatapan curiga.
Alexa berusaha keras untuk tidak terpengaruh oleh ucapan Friska. Ia juga berusaha untuk menyembunyikan rasa tidak nyaman dan kekhawatiran yang mulai merebak di dalam dirinya.
"Friska, kamu di sini hanya bekerja sebagai asisten saya, mengurusi segala pekerjaan saya, bukan untuk mencampuri urusan pribadi saya. Dan untuk yang kamu dengar tadi, itu kamu salah dengar. Jadi, jangan pernah membahas soal ini lagi kepada siapapun, apalagi kepada Pak Alex." Bara memperingatkan dengan tegas.
"Ya sudah kalau begitu, Pak. Saya minta maaf, saya permisi dulu," ucap Friska, berlalu pergi dengan segera.
Kebetulan memang sudah waktunya jam makan siang, jadi para pegawai perusahaan bebas untuk pergi ke mana saja, asalkan mereka kembali tepat waktu untuk melanjutkan pekerjaan hingga jam kerja selesai.
"Terima kasih banyak, Grace, karena sudah mengantar istri saya ke sini. Tapi, saya perlu bicara dengan istri saya berdua," kata Bara tegas namun sopan.
"Iya, Om. Aku juga harus kembali ke kampus. Masih ada satu kelas yang harus aku ikuti, sebelum terlambat. Tenang saja, kalau Alexa sudah diizinin sama dosen," jelas Grace dengan senyuman.
"Terima kasih banyak, ya, Grace. Kamu hati-hati," ucap Alexa dengan tulus.
"Iya, sama-sama. Aku pergi dulu ya, Lex, Om Bara," pamit Grace dan segera masuk ke dalam taksi online yang tadi menunggunya.
Sementara itu, Bara dan Alexa melangkah masuk ke dalam perusahaan. Di dalam pikiran Bara, ia merasa cemas dan gugup dengan apa yang akan dibicarakannya bersama Alexa.
Sebelum menemui ayahnya, Bara mengajak Alexa untuk menuju ke ruangannya terlebih dulu, yaitu ruangan CEO. Berbagai pertanyaan dan perasaan bercampur aduk di dalam pikiran Bara, ia berharap pertemuan ini akan memberikan kejelasan dan menjembatani perasaan antara dirinya dan Alexa.
"Apa benar, apa yang Grace katakan tadi? Kamu hamil? Apa mungkin karena sebulan yang lalu?" tanya Bara, saat keduanya sudah berada di dalam ruangan.
"Aku juga nggak tahu, Om. Aku stress memikirkan hal ini. Kita hanya melakukan sekali waktu itu, apa iya aku langsung hamil? Aku sendiri nggak bisa percaya," ungkap Alexa dengan perasaan campur aduk, takut dan juga bingung.
"Kalau begitu, coba kamu pakai tespek dulu, mungkin itu lebih akurat. Setelah itu, kita pastikan ke rumah sakit. Atau kalau kamu mau, langsung ke rumah sakit juga tidak masalah, aku yang akan langsung antar kamu," kata Bara, ia merasa harus segera mengetahui kebenarannya.
Alexa merasa begitu tidak percaya dengan situasi yang tengah ia hadapi. "Tapi, Om aku takut," ucapnya dengan suara gemetar.
"Kenapa harus takut? Kamu itu istriku, aku sudah menikahi kamu. Jadi kalau kamu hamil, ada aku yang bertanggung jawab. Itu anak kita," kata Bara." Kecuali ...." Bara tak melanjutkan ucapannya.
Alexa merasa hatinya langsung berdegup kencang. "Kecuali apa? Kamu nggak percaya kalau aku hamil anak kamu? Kamu menuduh aku sudah melakukannya dengan laki-laki lain, iya?" Amarahnya mulai memuncak. Bagaimana bisa suaminya berpikir seperti itu? "Kamu tahu sendiri 'kan, kalau selama ini aku nggak pernah menyukai laki-laki lain selain Om Bara. Aku juga sudah beberapa kali mengungkapkan cintaku untuk Om Bara, jadi mana mungkin kalau aku melakukannya dengan pria lain," lanjutnya dengan nada tinggi, membuat Bara pun kelabakan sendiri.
"Bukan itu yang aku maksud, " gumam Bara pelan. Ia merasa perlu meyakinkan Alexa. "Sudahlah, kalau kamu benar-benar hamil, itu sama sekali bukan masalah. Aku ayahnya dan aku akan bertanggung jawab atas kamu dan anak kita," ucapnya sambil memegang kedua pundak Alexa dan menatap matanya dengan serius.
Alexa menghela napas, tampaknya mulai merasa lebih baik. "Ya sudah, nanti lebih baik aku beli tespek dulu di apotek. Tapi, Om Bara mau temenin aku 'kan untuk memeriksanya? Aku takut," ucapnya, masih terasa tak percaya dengan situasi ini.
Bara mengangguk mantap. "Tentu, kita akan atasi ini bersama. Sekarang, kamu mau bicara dengan Papa dulu atau langsung pergi?"
"Lebih baik langsung pergi saja, Om. Nanti aku akan bicara dengan Papa," jawab Alexa.
Bara setuju, dan segera mereka keluar dari ruangan. Di saat itu, mata Alex menangkap sosok keduanya yang terlihat jalan berdampingan. Tetapi, baik Alexa maupun Bara sama-sama tak menyadari keberadaan pria paruh baya itu di sana.
"Alexa ada di sini? Ada apa? Kenapa dia hanya datang untuk menemui Bara dan sama sekali tidak mau melihat Papanya?" Batin Alex, merasa kecewa dan sedih di dalam hatinya.
***
Tak lama kemudian, Alexa dan Bara tiba di sebuah apotek yang tidak jauh dari perusahaan. Mereka masuk ke dalam, lalu seorang pelayan datang menghampiri mereka.
"Selamat siang, Mas, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" ucap pelayan dengan ramah.
"Mbak, saya mau cari tespek," ucap Alexa lirih.
"Oh … tidak usah malu-malu, Mbak. Wajar kok kalau pasangan suami istri datang ke sini dan mau membeli tes kehamilan," ucap pelayan, lalu Alexa hanya membalas dengan senyuman tipis.
Pelayan tersebut segera mengambil beberapa tes kehamilan dan menunjukkannya kepada Alexa dan Bara.
"Sebanyak ini?" tanya Bara, tampak tak mengerti.
Walaupun sudah pernah menikah sebelumnya, namun Bara sama sekali tidak memiliki pengalaman menghadapi istri yang sedang hamil. Malam pertamanya saja gagal, karena baru saja menikah, ia sudah ditinggal sang istri untuk selama-lamanya.
"Jadi begini, Mas. Ini ada beberapa jenis tes kehamilan, dari yang biasa, yang menengah, sampai yang paling bagus dan akurat. Tentu saja harganya juga berbeda. Jadi seandainya kalian ragu menggunakan yang biasa, bisa menggunakan yang paling akurat dan juga yang paling mahal," jelas pelayan apotek.
"Ya sudah, kalau begitu ambil saja semuanya!" ucap Bara.
Mata Alexa membulat mendengar ucapan suaminya. "Kenapa harus semuanya, Om?" tanyanya dengan rasa heran.
"Ya, tidak apa-apa lah," jawab Bara sambil tersenyum. "Biar lebih cepat dan pakai saja semuanya supaya lebih yakin."
Alexa tak bisa menyembunyikan rasa cemas yang melanda hatinya saat itu. Bara mungkin merasa bersemangat, tapi ia justru merasa semakin takut akan hasil tes itu nanti. Apakah ia benar-benar akan menjadi ibu, apa yang akan terjadi jika hasil tes itu positif? Apakah kehidupan mereka akan berubah?
Pelayan apotek melihat kegugupan yang tergambar di wajah Alexa, lalu berkata, "Wah, Mas-nya bersemangat sekali ya! Saya doakan semoga hasilnya benar-benar memuaskan dan calon bayinya sehat selalu."
"Terima kasih, Mbak," ucap Alexa dengan rasa haru.
Setelah Bara membayar, pelayan tersebut membungkus paket tes kehamilan itu dan memberikannya kepada Alexa.
Alexa merasa ada rasa canggung yang terasa di antara dirinya dan Bara. Namun, dengan hati berdebar, mereka melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
Dalam perjalanan pulang, Alexa terlihat tenggelam dalam pikiran. Meskipun sebenarnya kehamilan bukan masalah baginya karena ia sudah memiliki suami, tetapi ia masih berharap kalimat dokter yang mengatakan kemungkinan pemeriksaannya salah itu terbukti.
Pikiran Alexa melayang jauh, mencari jawaban dan mencoba menggali emosinya sendiri. "Apa aku benar-benar siap menjadi ibu? Apakah ini yang aku inginkan sekarang?" batinnya.
***
Setibanya di rumah, Alexa dan Bara segera menuju kamar mereka. Kebetulan tak ada Delia di rumah, karena ibunya Alexa itu harus pergi untuk mengurus sesuatu dan belum kembali. Alexa lantas masuk ke kamar mandi dan melakukan tes kehamilan, hatinya berdebar-debar menunggu hasil yang akan mengubah hidupnya.
"Ya Tuhan, apa yang akan terjadi padaku?" batin Alexa, ragu dan cemas.
Ketika Alexa akhirnya membuka matanya dan melihat hasil tes, ekspresi wajahnya langsung berubah. Dengan tatapan datar, ia keluar dari kamar mandi, langsung dihampiri Bara yang setia menunggu di luar pintu.
Bara yang merasa penasaran, langsung bertanya, "Bagaimana hasilnya?"
Alexa tidak menjawab, ia hanya menunjukkan alat tes kehamilan itu pada Bara.
Melihat hasilnya, mata Bara pun terbelalak, ekspresi wajahnya tak jauh berbeda dari Alexa sebelumnya. Keduanya saling berpandangan, mencari petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.
Bersambung …