Alexa segera dibawa ke ruang kesehatan untuk mendapatkan pertolongan pertama. Setelah dokter mulai menangani kondisinya, dosen melanjutkan ke kelas untuk melanjutkan materi pelajaran.
Wanita bernama Grace, yaitu sahabat Alexa, diminta untuk menemani dan menghubungi keluarga Alexa. Sayangnya, Grace tidak tahu harus menghubungi siapa, ia hanya tahu bahwa Alexa sudah menikah, tetapi tidak memiliki kontak suami Alexa.
Sementara itu, Alexa yang baru saja selesai diperiksa, perlahan membuka matanya. Ia memegangi kepalanya yang masih sedikit pusing.
"Alexa, kamu sudah sadar?" tanya dokter dengan nada tenang.
"Iya, Dok. Apa yang terjadi dengan saya?" balas Alexa bingung.
"Tadi kamu pingsan, mungkin karena kelelahan atau tekanan pikiran. Sebaiknya kamu langsung pulang dan istirahat di rumah," jelas dokter. "Tapi, kalau nantinya kamu merasa tidak enak badan lagi, lebih baik periksa ke rumah sakit ya. Karena di sini alat pemeriksaannya tidak lengkap," lanjutnya memberikan saran, ingin menyampaikan sesuatu namun ragu.
Alexa hanya mengangguk, ingin menyerah pada situasi ini dan memikirkan bagaimana caranya agar tak sampai terulang lagi kejadian ini.
"Apa mungkin, ini karena aku terlalu memikirkan masalahku dengan Papa?" batin Alexa, merasa khawatir tentang kondisinya dan dampaknya pada kehidupan pribadi dan keluarganya.
"Alexa, kamu baik-baik saja 'kan?" tegur dokter, membuyarkan lamunan Alexa.
"Iya, Dok. Saya baik-baik saja," jawab Alexa. "Jadi, nggak ada hal serius yang terjadi dengan saya 'kan, Dok?"
"Apa kamu sudah menikah?" tanya dokter.
"Iya, Dok. Memangnya kenapa?" Alexa merasa penasaran.
"Menurut pemeriksaan sementara dari saya, menunjukkan jika kamu sedang hamil," kata dokter, membuat Alexa terkejut dan terpana.
"Alexa hamil?"
Tiba-tiba terdengar suara Grace yang masuk ke ruang kesehatan, setelah tadi sempat menunggu di luar.
"Grace?" gumam Alexa panik.
Alexa merasa seolah-olah dunianya akan hancur. Sahabatnya itu memang tahu tentang pernikahannya yang mendadak dan tak banyak orang yang tahu, tetapi Grace sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di antara dia dan Bara sebulan yang lalu.
"Apakah ini benar? Apakah aku benar-benar hamil? Tapi, bagaimana mungkin?" batin Alexa.
Ia bingung, tak tahu apa yang harus dijelaskan kepada Grace. Haruskah dia jujur kepada sahabatnya itu atau mencari alasan lain? Dia tahu bahwa kejujuran adalah kebajikan yang sangat berharga, tetapi ia merasa takut akan kehilangan kepercayaan dan persahabatan Grace.
"Iya, Dok saya memang sudah menikah. Tapi, apa mungkin saya hamil?" tanya Alexa, seakan tak percaya.
"Loh, memangnya kenapa? Kenapa sepertinya, kamu tidak suka mendengar kabar ini?" ucap dokter, mencoba memahami ekspresi Alexa. "Untuk memastikannya, kamu bisa melakukan pemeriksaan USG di rumah sakit, karena usia kandunganmu mungkin masih terlalu muda. Tapi, bisa jadi saya salah, karena saya juga bukan dokter kandungan," imbuhnya hati-hati.
"Iya, Dok. Terima kasih banyak, ya," ucap Alexa dengan nada cemas.
"Sama-sama, kalau begitu saya permisi dulu ya, Alexa? Grace?" pamit Dokter, melihat situasi yang semakin tidak menentu di antara Alexa dan Grace.
Setelah dokter pergi, Grace mendekati Alexa dengan tatapan yang tidak dapat dijelaskan.
"Grace, aku ...," kata Alexa, berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk mengungkapkan kebenaran.
"Apa yang mau kamu jelaskan sama aku, Lexa?" tanya Grace tajam.
"Grace, kamu tenang dulu, ya," ucap Alexa, merasa sedikit terdesak.
"Aku bisa tenang kalau kamu mau jelaskan sama aku, apa ini maksudnya? Kamu baru saja menikah dengan Om Bara kemarin, mana mungkin kamu tiba-tiba hamil. Katakan apa yang terjadi! Kamu ini masih menganggap aku sahabat kamu atau nggak?" keluh Grace yang merasa kecewa.
Mendengar pertanyaan tersebut, Alexa merasa bersalah dan terluka. Sebagai sahabat baik Grace, tentu saja ia ingin menjelaskan situasi yang terjadi. Namun, situasi ini terlalu rumit untuk dibahas hanya dengan kata-kata saja.
"Grace, kamu harus tahu, aku sangat menghargai persahabatan kita. Aku akan jelaskan semuanya, hanya saja aku butuh waktu untuk mengatakannya," ucap Alexa dengan suara parau, berharap sahabatnya itu bisa memahami perasaannya saat ini.
Alexa menghela napas panjang, seolah mencari keberanian untuk mengungkapkan sesuatu yang begitu sulit diutarakan.
"Aku benar-benar minta maaf, Grace. Aku nggak bermaksud untuk menyembunyikan semuanya, tapi apa yang terjadi sama aku ini bukanlah sesuatu yang ingin aku ceritakan sama orang lain." Ada sesak yang terasa di d**a Alexa, seakan ada sesuatu yang tertahan di sana, menunggu untuk dikeluarkan.
"Maksud kamu apa?" tanya Grace bingung.
"Apakah menurutmu, aib yang aku lakukan pantas untuk disebarluaskan? Apakah aku harus menceritakannya kepada semua orang, supaya mereka tahu gimana liarnya aku? Supaya mereka tahu kalau aku ini wanita yang nggak benar? Wanita yang rela menyerahkan tubuhnya untuk seseorang yang dia cintai, tapi jelas-jelas pria itu sudah menolaknya berkali-kali?" Sembari berbicara, air mata mulai mengalir di pipinya, menandai perasaan bingung dan ketakutan yang kini melanda hatinya.
Grace tersentak mendengarnya, namun ia juga tak mengerti. "Maksud kamu apa, Alexa?" tanyanya, kebingungannya semakin menjadi-jadi. "Aku ini sahabat kamu, seharusnya kamu cerita sama aku, apapun yang terjadi."
Mendengar perkataan sahabatnya, Alexa merasa terenyuh dan merasa saatnya untuk mengungkap semuanya. "Oke, aku akan cerita semuanya sama kamu," gumamnya lirih. "Pernikahan yang terjadi antara aku dan Om Bara itu sebenarnya bukan karena dia sudah dekat sama keluarga aku, jadi orang tuaku ingin kami bersatu. Tapi, karena sesuatu yang terjadi sebulan yang lalu saat acara perjamuan rekan bisnis Papaku."
Alexa menahan isak yang hampir pecah, merasa telah mencapai titik di mana ia bisa berbicara tentang rahasia terbesar dalam hidupnya pada sahabat terdekatnya.
"Ada apa? Apa kalian berdua melakukan hubungan terlarang di malam itu?" tebak Grace.
"Ya, kamu benar," jawab Alexa, kemudian ia pun menceritakan kronologi kejadiannya yang akhirnya berujung pada adegan panas di atas ranjang antara dirinya dan Bara.
Grace menggelengkan kepalanya, merasa sangat sulit untuk mempercayai hal itu. Namun, ia juga percaya dengan ucapan sahabatnya.
Sementara Alexa menangis tersedu-sedu, rasanya ia tak ingin mengungkapkan hal yang sangat memalukan itu, namun ia juga tak ingin Grace salah paham padanya.
"Alexa, maafkan aku ya. Aku nggak bermaksud membuat kamu seperti ini," kata Grace, lalu meraih tubuh Alexa ke dalam dekapannya dan mengusap-usap pundaknya dengan lembut. "Kamu harus sabar, ya. Pantas saja kamu tiba-tiba menikah dengan Om Bara." Grace mencoba meresapi perasaan Alexa.
"Iya, dan apa kamu mau tahu? Sampai sekarang, Papa belum bisa menerima pernikahan aku dengan Om Bara. Padahal sudah satu bulan kami merencanakan pernikahan, tapi Papa sama sekali nggak ikut andil." Lalu Alexa terdiam, terpekur dalam kenangan dan perasaan yang memilukan. Merasakan seolah tak ada dukungan dari orang yang seharusnya melindungi dan menerima pilihannya.
"Apa sampai seperti itu? Bukankah Om Alex selalu mendukung apapun keputusan kamu?" tanya Grace, karena itulah yang ia tahu.
"Tapi ini beda, Grace. Walaupun Om Bara sudah menjadi menantunya, Papa tetap tidak menyukai Om Bara. Papa malah meminta aku dan Om Bara untuk segera keluar dari rumah," kata Alexa, membuat Grace semakin prihatin terhadap sahabatnya itu.
Grace, yang melihat sahabatnya sedih, menguatkan hati Alexa. "Semuanya sudah terjadi. Sabar ya, Lex. Aku doakan, semoga Papa kamu akan luluh dan menerima pernikahan kalian secepatnya," ucapnya.
"Terima kasih banyak ya, Grace. Kamu memang sahabat yang sangat pengertian," ucap Alexa dengan rasa terharu.
"Sama-sama, nggak perlu sungkan. Kamu sekarang telepon Om Bara ya, minta dia jemput kamu. Kamu nggak perlu ikut kelas selanjutnya. Kamu harus pulang dan istirahat dulu," saran Grace.
"Iya, aku akan hubungi Om Bara sekarang," jawab Alexa.
***
Saat sedang mengikuti rapat penting di perusahaan, tiba-tiba Bara merasakan ponsel di saku celananya bergetar. Namun ia tak bisa langsung melihat ataupun menjawabnya karena sangat menghargai rapat yang sedang berlangsung. Apalagi di saat itu, Alexander, pemilik perusahaan dan juga ayah mertuanya tengah berbicara hal yang sangat penting mengenai perusahaan.
Namun dalam hatinya, Bara merasa sedikit gelisah, khawatir ada sesuatu yang terjadi. Karena memang tak banyak tahu nomor ponselnya, kecuali istri, keluarga dan orang-orang tertentu. Tetapi, ia mencoba untuk tetap fokus pada rapat yang tengah berlangsung, berusaha meredam rasa cemas yang mulai menyelimuti pikirannya.
Setengah jam berlalu, rapat akhirnya selesai dan Bara segera meraih ponsel yang ada di saku celananya. Tubuhnya terhenyak begitu melihat layar ponsel yang menampilkan tiga panggilan tak terjawab dari Alexa, istrinya, ditambah sebuah pesan yang meminta untuk menjemputnya di kampus. Tiba-tiba, perasaannya menjadi tidak enak dan khawatir, seolah ada sesuatu yang salah terjadi padanya.
Bara segera menghubungi istrinya itu untuk menanyakan kondisinya, namun sama sekali tidak ada jawaban. Dalam kebingungan, ia memutuskan untuk langsung menjemput Alexa di kampus. Namun, baru saja kakinya melangkah keluar perusahaan, ia terkejut melihat sosok Alexa bersama Grace yang ternyata baru saja tiba di perusahaan tersebut.
Segera Bara menghampiri istrinya. "Lexa, apa yang terjadi dengan kamu? Aku baru saja menghubungi kamu, tapi kamu tidak menjawab," tanyanya yang merasa khawatir.
Melihat Alexa hanya diam saja, akhirnya Grace pun angkat bicara, "Maaf, Om. Alexa tadi pingsan karena kurang enak badan. Aku mau antar Alexa pulang ke rumah Karena Om Bara nggak bisa dihubungi, tapi Alexa minta antar ke sini karena katanya dia mau bertemu dengan Papanya."
"Oh, iya. Terima kasih ya, Grace," ucap Bara. "Alexa, kamu sakit?" tanyanya yang merasa cemas.
"Aku hanya sedikit pusing, Om," jawab Alexa.
"Ya sudah, sekarang kita ke dokter dulu ya, periksa kondisi kamu. Setelah itu, aku antar kamu pulang," ucap Bara dengan nada prihatin.
"Nggak usah, Om. Aku mau ketemu sama Papa, seperti yang aku bilang tadi. Kamu lebih baik nggak usah ikut, ya? Aku mau bicara empat mata sama Papa," kata Alexa.
Namun, Bara masih khawatir akan kondisi Alexa. "Tapi, kamu benar-benar tidak apa-apa? Apa yang sebenarnya terjadi dengan kamu?"
"Om, tadi kata dokter lebih baik Alexa harus diperiksa ke rumah sakit untuk memastikan kondisinya. Karena menurut pemeriksaan dokter secara manual tadi, katanya Alexa hamil," ucap Grace.
Mendengar kabar tersebut, membuat hati Bara berkecamuk. Tentu saja ia sangat terkejut dan seolah tak mempercayainya.
"Apa? Alexa hamil?"
Tiba-tiba saja terdengar suara seseorang yang berdiri tidak jauh dari mereka. Ketiganya pun merasa terkejut, lalu menatap ke arah orang tersebut.
Bersambung …