Bab 8. Hal Paling Menyedihkan

1283 Words
Tidak hanya Bara dan Alexa, Delia pun merasa terkejut mendengar ucapan suaminya. Memang sebelumnya mereka pernah membahas soal ini, namun dalam pikiran Delia, keputusan ini terlalu cepat dan tak terduga. Dia bahkan mengira bahwa Alex hanya mengatakannya dalam keadaan emosional dan segera melupakan. "Papa benar-benar serius tentang ini? Apa Papa tidak memiliki waktu lain untuk membicarakan soal ini?" ujar Delia dengan wajah bingung. Alexa, di sisi lain, merasa sedih dan kecewa dengan sikap Alex. "Jadi, Papa mau aku dan Om Bara segera pergi dari rumah ini? Apa Papa benar-benar nggak mau melihat wajah kami lagi?" ujarnya dengan air mata menggenang di pelupuk mata. Bara yang merasa bersalah sekaligus cemas, tidak bisa menahan tanyanya pada sang ayah mertua, "Pa, apa Papa begitu membenciku saat ini karena aku sudah membuat kesalahan dan menikahi Alexa? Apakah Papa tidak ingin melihat wajahku lagi, sehingga memintaku membawa Alexa pergi dari rumah ini?" ungkap Bara dengan rasa penyesalan dan kebingungan yang memenuhi hatinya. "Sudahlah, kalian tidak usah terlalu banyak bersandiwara! Bukankah ini sudah pernah saya katakan sebelumnya? Setelah kalian berdua menikah, kalian harus keluar dari rumah ini dan tidak ada yang bisa mengganggu keputusan saya!" ucap Alex dengan tegas. "Sandiwara? Sandiwara apa maksud Papa?" tanya Delia, bingung dan ingin bertanya lebih lanjut. Namun, Alex tak memberi kesempatan padanya untuk berkata apa-apa, ia segera masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan rumah. Sementara Alexa tampak terpaku, air matanya menetes begitu saja merasakan kesedihan yang mendalam. "Apa pernikahan kami sudah menimbulkan masalah yang sangat besar? Kenapa Papa nggak bisa menerima pernikahan ini?" gumam Alexa dalam hati. Bara yang melihat akan hal itu pun segera merangkul istrinya dan mengusap-usap pundaknya dengan lembut, mencoba menenangkan hatinya. "Kamu yang tenang, ya. Aku yakin, suatu saat nanti hati Papa pasti akan luluh dan menerima pernikahan kita. Aku janji akan terus berusaha," ucap Bara, berusaha memberi semangat pada Alexa. Delia pun tak tinggal diam, ia segera mendekati anak dan menantunya itu. Ia juga merasa sedih karena Bara dan Alexa diperlakukan seperti itu oleh ayahnya sendiri. "Bara, Alexa, Mama minta maaf ya. Sampai saat ini, Mama belum bisa meyakinkan Papa atau membuat Papa menerima pernikahan kalian. Sepertinya Papa terlalu kecewa terhadap kalian berdua, sampai dia bersikap seperti itu. Tapi, Mama juga tidak setuju dengan sikap Papa. Maafkan Mama," ucap Delia yang merasa bersalah, seraya menggenggam erat tangan putrinya. "Ma, ini bukan salah Mama. Justru aku yang merasa gagal menjadi seorang anak, karena sudah membuat Papa marah dan kecewa seperti itu. Tapi apa yang harus aku lakukan sekarang, Ma? Semuanya sudah terjadi." Alexa merasa bingung dan frustasi. "Aku akan bicara lagi sama Papa. Setelah pulang kuliah, aku akan langsung ke kantor Papa," ucapnya dengan tekad yang kuat. Mendengar hal itu, Bara ingin menemani dan memberi dukungan untuk istrinya. "Aku antar ya? Aku juga ingin bicara dengan Papa," tawarnya. Namun, Alexa menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, biar aku sendiri saja. Aku perlu berbicara empat mata sama Papa. Kamu percaya 'kan, sama aku?" Alexa memohon pengertian. "Ya sudah, aku percaya sama kamu. Tapi, kabari aku ya kalau ada apa-apa," pinta Bara. "Ya, aku janji," sahut Alexa, membuat hati Bara sedikit lega. "Kalau begitu, kita pergi sekarang ya?" kata Bara dengan penuh pengertian, dan ditanggapi anggukan kepala oleh Alexa. "Aku pergi dulu ya, Ma," pamit Alexa. Kemudian Bara juga kembali berpamitan kepada ibu mertuanya itu, "Ma, Mama nggak perlu merasa bersalah. Justru akulah yang paling bersalah di sini. Kami pergi dulu ya, Ma." "Iya, kalian hati-hati ya," pesan Delia. Alexa dan Bara menganggukkan kepala, lalu segera saja keduanya pergi untuk melanjutkan aktivitas mereka. Namun di lubuk hati Alexa, keraguan dan ketakutan masih menghantuinya. Mampukah dia memperbaiki hubungan dengan sang ayah? Ataukah semuanya akan berakhir menjadi lebih buruk? Waktulah yang akan menjawab semuanya. *** Saat berada di perjalanan, Alexa tampak murung, raut wajahnya begitu sedih, pikirannya masih saja terpaku pada perihal Alex yang dengan tega mengusirnya. Baginya, ini adalah hal paling menyedihkan yang pernah terjadi di dalam hidupnya. Karena selama ini kedua orang tuanya selalu memperlakukannya dengan baik dan penuh kasih sayang, sehingga sulit baginya untuk percaya dan berharap jika semua ini hanyalah mimpi semata. "Kenapa Papa tega mengusirku dari rumah? Apa Papa memang sudah nggak sayang lagi sama aku?" pikir Alexa penuh penyesalan. "Alexa, kamu jangan terlalu memikirkan hal itu, ya," ucap Bara mencoba menyemangatinya. "Aku yakin, cepat atau lambat Papa pasti akan bisa menerima semuanya. Hanya butuh waktu." Namun dalam hati Alexa, pertanyaan yang sama masih menggantung, "Tapi sampai kapan? Sudah sangat jelas terlihat kalau Papa itu benci sama aku. Papa sudah nggak sayang lagi sama aku. Buktinya, Papa mengusir anak satu-satunya pergi dari rumah." Bara menggelengkan kepala, "Kamu hanya salah paham, Lexa. Justru itu karena Papa terlalu menyayangi kamu, jadi dia marah dan merasa kecewa. Tapi aku tahu, Papa juga tidak seharusnya menyalahkan kamu. Ini semua salahku, kalau saja waktu itu aku bisa mengendalikan diri, pasti ini semua tidak akan terjadi," ucap Bara dengan penuh penyesalan. Alexa memegang pundak Bara dan menatapnya. "Ini bukan 100% kesalahan kamu, Om. Aku juga salah. Kalau malam itu aku bisa menolak, mungkin semuanya nggak akan terjadi. Kamu nggak sadar waktu itu, tapi aku malah menjadikannya kesempatan, karena aku mencintai kamu dan ingin memiliki kamu," ucapnya. Mendengar ucapan Alexa, hati Bara terasa tersentuh dan membuatnya menatap istrinya itu dengan penuh perasaan. "Om, awas!" Namun, tiba-tiba saja Alexa berteriak karena melihat seseorang menyeberang jalan. Tak ada waktu untuk meresapi perasaan, Bara langsung menginjak rem secara mendadak. "Akh!" rintih Alexa, kepalanya terjeduk akibat desakan mobil yang berhenti mendadak. "Lexa, apa kamu baik-baik saja? Aku minta maaf, aku tidak sengaja," ucap Bara, khawatir melihat keadaan Alexa. "Aku nggak apa-apa, Om. Tapi lain kali kamu hati-hati nyetirnya. Fokus lihat ke depan, bukan malah ngeliatin aku," kata Alexa, mencoba menenangkan diri. "Ya gimana lagi, habisnya ada wanita cantik di samping aku," balas Bara dengan sedikit gombal. "Ck, gombal!" sahut Alexa sambil tersenyum malu. "Nah, begitu dong! Kalau senyum 'kan manis. Ini tidak, dari tadi sepanjang perjalanan cemberut terus," kata Bara sambil mencoba menggoda. "Ya gimana lagi, Om. Aku 'kan kepikiran soal Papa," ucap Alexa. Bara merasa bersalah telah membuat Alexa terbebani dan memiliki masalah dengan ayahnya, namun ia juga tak bisa membalikkan keadaan seperti semula. "Alexa, sudah ya. Aku yakin, kita pasti akan menemukan solusi untuk masalah ini. Lagi pula, semuanya sudah terjadi dan kita harus bisa menghadapinya. Yang penting kita yakin, cinta dan kasih sayang papa masih ada di dalam hatinya. Waktu yang akan membuktikannya," ucap Bara, berusaha memberikan semangat dan harapan untuk masa depan mereka bersama. Setelah itu, ia kembali menjalankan mobil dan melanjutkan perjalanan. *** Saat berada di kampus, Alexa berusaha keras untuk fokus pada materi pelajaran yang diberikan oleh dosen. Dia mencoba melupakan semua masalah yang sedang dihadapinya, karena ia sadar betul bahwa pendidikan sangat penting dan ia harus segera menyelesaikan studinya. Apalagi kini, ia sudah berstatus sebagai seorang istri yang juga memiliki cita-cita yang ingin dicapainya. Ia tidak ingin pernikahannya menghalangi masa depannya. Namun sayangnya, ketika dosen menanyakan soal terkait apa yang baru saja mereka pelajari, otak Alexa seolah terkunci dan semuanya menjadi blank. Kepalanya terasa pusing dan pandangannya berkunang-kunang. "Alexa, apa kamu tidak mendengar pertanyaan saya? Atau kamu tidak bisa menjawabnya karena sejak tadi kamu tidak menyimak," tegur dosen, yang melihat Alexa diam saja. "Bukan seperti itu, Bu, tapi-" Alexa tidak bisa melanjutkan ucapannya, rasa sakit di kepalanya kian menjadi dan ia merasa tubuhnya tidak bisa lagi menahannya. Tubuhnya ambruk begitu saja, membuat dosen dan seluruh mahasiswa menjadi panik. "Alexa, Alexa! Kamu kenapa?" dosen berusaha membangunkan Alexa yang sudah tak sadarkan diri, seraya mengguncang tubuhnya dengan cemas. Beberapa teman sekelasnya juga berusaha menolong, namun kejadian ini benar-benar di luar dugaan mereka semua. Mereka berpikir, Alexa yang selalu tegar dan fokus ternyata memiliki beban yang mungkin sudah terlalu berat untuk ia pikul sendiri. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD