10

1024 Words
MENURUTMU, apa saat-saat menyenangkan di sekolah? Kalau pertanyaan itu ditujukan pada seorang Laskar, jelas dia akan menjawab berleha-leha di rooftop. Seperti sekarang. Langit yang cerah dengan awan-awan yang terlihat seperti bergerak, sinar matahari yang hangat, ditambah dengan semilir angin yang menyejukkan. Sungguh surganya dunia kalau kata Laskar. Jam ketiga baru saja berbunyi, dan Laskar berada di rooftop sejak jam kedua. Sebenarnya hari ini Laskar sedang dalam mood yang bagus untuk masuk kelas, namun apa daya, guru yang menempati pelajaran di jam pertama itu galaknya minta disleding. Jelas Laskar jarang masuk kelasnya, mana dia tahu kalau ternyata ada setumpuk tugas yang harus di kumpulkan hari ini. Dan yang lebih parahnya lagi, guru berjenggot tipis berwarna putih itu meneriakinya untuk segera keluar dari kelas. Jelas Laskar merasa harga dirinya diinjak saat itu. Tapi ada baiknya karena kini dia bisa memejamkan matanya, menghayati alam semesta yang berpadu menjadi satu di rooftop. Dan beginilah keseharian Laskar di sekolah. Tak mempunyai beban apa pun menyangkut pelajaran. Dia bahkan tidak takut di skors ataupun di keluarkan. Siapa juga yang berani mengeluarkan cucu pemilik sekolah? Itu yang akan terbesit pada setiap diri orang lain begitu mengetahui identitasnya. Rooftop ini adalah miliknya. Rumor yang beredar mengenai tempat ini menjadikannya sepi. Kesempatan ini digunakan Laskar untuk menenangkan diri. Sudah beberapa kali pintu rooptop dikunci oleh pihak sekolah karena mengetahui jika tempat ini adalah tempat di mana dia sering membolos. Namun sudah beberapa kali juga Laskar berhasil menghancurkan gembok kunci tersebut. Laskar menyeruput minuman sodanya, mendongak menatap langit lalu tersenyum miring sambil berdecih. *** Jam kosong ini digunakan Rhea untuk mempelajari buku-buku yang kemarin dia beli. Ralat, lebih tepatnya yang dibeli Laskar. Bisingnya kelas tak mampu membuat Rhea terganggu. Terkadang kening cewek berambut sepunggung itu mengernyit, lalu menulis di buku. Sesekali Rhea mensearch materi yang tidak dia mengerti. Tadi malam, Rhea menghabiskan waktu hingga berjam-jam untuk menguasai materi dalam buku tersebut. Nyatanya, Rhea baru tersadar jika belajar tanpa henti sangatlah melelahkan. Seruan semangat langsung terdengar begitu bel istirahat berdering. Rhea menutup bukunya, lalu membawanya pergi keluar kelas. “Rhea!” Refleks Rhea menoleh ke belakang. Alisnya terangkat satu, menatap dua orang cewek yang berjalan mendekat dengan senyuman manis. “Lo Rhea, kan?” tanya salah satu cewek yang berambut cokelat itu. Dengan ragu Rhea mengangguk. “Iya, gue. Kenapa ya?” “Oh gini, lo gak ke kantin?” ujar cewek yang berambut pendek sebahu itu. “Enggak.” Kedua cewek itu saling menyiku dengan senyuman kikuk. “Ekhm, jadi gini. Sebenarnya ini gak penting amat sih, tapi kalau lo bisa jawab ya alhamdulilah.” kata cewek berambut cokelat itu hati-hati. “Lo gimana bisa dekat sama Laskar?” Si cewek berambut cokelat langsung menyiku temannya dengan mata yang sedikit melotot. Seharusnya Rhea sudah menebak dari awal saat dua orang cewek ini mendekatinya. Datang dengan maksud terselubung. “Eh maaf ya, temen gue emang rada gila.” “Ishh, apaan sih lo.” sahut cewek berambut sebahu itu tidak terima. Rhea tersenyum tipis. “Gue gak deket sama dia.” Mendengar perkataan Rhea itu membuat mereka cengo. “Lah, terus gimana bisa Laskar duduk sama lo kemaren?” “Gue juga gak tahu.” jawabnya sambil mengedikkan pundaknya. “Kalau cuma itu yang mau ditanya, gue duluan ya.” Dengan segera Rhea berbalik dan melangkah menjauh. Dia memeluk buku yang dibawanya, lalu menghela napas berat. Sesampainya di ruang guru, Rhea langsung disapa Bu Ika, guru Biologi yang berpapasan dengannya di pintu. “Eh Rhea, mau cari siapa?” tanya Bu Ika ramah disertai dengan senyuman hangat. Padahal, Bu Ika dikenal sebagai guru yang tegas dan galak. “Mau cari Bu Jena. Kira-kira Beliau ada gak, Bu?” Kening Bu Ika berkerut. “Ada. Mau bimbingan ya?” “Iya, Bu.” “Oh ya sudah, Ibu pergi dulu ya.” “Iya, Bu.” jawab Rhea sambil mengangguk pelan, lalu setelahnya dia berjalan masuk dan mencari Bu Jena. Melihat Bu Jena, dengan segera Rhea mendekatinya. “Permisi, Bu.” Bu Jena yang tadinya fokus menatap layar komputernya langsung mendongak. Dengan kening yang berkerut, dia bertanya, “Iya, ada apa?” “Begini, Bu. Saya Rhea dari kelas XI-IPA 1.” “Oh, Rhea ya? Saya tahu kamu. Ada perlu apa mencari saya?” Dari semua guru yang mengajar di SMA Cenderawasih, siapa yang tidak mengenal Rhea? Guru-guru sering membicarakan tentangnya. Bahkan guru-guru tersebut menjadikannya sebagai contoh pelajar yang baik. Nilai akademis yang memuaskan, serta etika dan etiket yang mendukung kepribadian yang baik. Tentu guru-guru menyukai tipe pelajar yang seperti ini dibanding anak-anak nakal. “Jadi saya mau konsul dikit tentang soal-soal yang Ibu Indah kasih. Ibu Indah kebetulan lagi mempunyai urusan. Ibu bisa membantu saya?” Bu Jena adalah guru baru yang ditugaskan mengajar di kelas XII. Sebab itu, guru muda itu tidak pernah mengajar di kelas Rhea. Senyum Bu Jena merekah. “Tentu. Ibu suka ada yang mempunyai semangat belajar kayak kamu. Sini, Ibu ajarin.” Rhea mengangguk dengan senyuman lalu menaruh buku-bukunya di atas meja Bu Jena dan mulai memerhatikan dengan baik apa yang diajarkan oleh guru muda itu. Hingga bunyi bel pertanda masuk membuat Rhea segera berpamitan dan keluar dari sana. Gadis itu tersenyum lalu melangkah menuju kelasnya. Dan mulai sekarang, sepertinya Rhea harus membagi waktu belajarnya untuk Laskar. Karena mereka dari jurusan yang berbeda, Rhea dan Laskar mengambil kesepakatan bahwa Rhea hanya akan mengajarinya pelajaran Matematika dan Biologi yang menjadi pelajaran lintas minat. Berpikir mengenai cowok itu, mata Rhea menangkap sosok Laskar dari arah yang berlawanan. Cowok itu masih mengenakan jaket hitam namun kepalanya tidak ditutup tudung jaket. Semakin lama, jarak mereka semakin dekat. Dan anehnya, Rhea menjadi gugup sekarang. Bagaimana jika Laskar menyapanya? Atau mengajaknya berbicara di tengah lorong yang ramai ini? Bisa-bisa mereka menjadi perbincangan untuk kedua kalinya. Tinggal beberapa langkah lagi dan mereka akan berpapasan. Bahkan Rhea sudah menyiapkan diri untuk itu. Hingga tiba saat mereka hampir berpapasan, senyuman yang ingin diberikan Rhea langsung sirna saat Laskar tanpa melirik sedikit pun melewatinya, seakan-akan mereka tak pernah mengenal satu sama lain. Rhea berhenti melangkah. Bergeming beberapa saat dengan Laskar yang terus melangkah menjauh di belakangnya. Gadis itu tersenyum miris. Kenapa dia terlalu berharap seperti ini kepada seorang Laskar?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD