"Gue bingung sama bokap. Kenapa gak di kantor aja, si ketemuannya. Emang sesepesial apaan tuh mentor? Sampe ketemuan ajah di Resto mewah begini," gumam Sinola bermonolog kesal seraya turun dari mobil.
Mobil Sinola terhenti tepat di lobi utama dengan petugas Valet siap melanjutkan prosesi memarkirkan mobil.
Ketika akan memasuki lobi, ekor mata Sinola tak sengaja menangkap seorang gadis kecil yang terlihat kebingungan di tepi jalan dekat lobi.
Aksi sang bocah sukses membuat tungkai Sinola berjalan mendekatinya. Namun, saat hendak didekati bocah tersebut malah semakin menjauh dan terlihat seperti akan menyebrang.
"Hey! Jangan nyebrang!"
Terlambat. Sang bocah sudah setengah jalan menyebrang jalan dengan ekpresi kebingungan serta ketakutan karena banyak kendaraan yang mulai mengklaksonnya.
Sementara itu, Sinola semakin menambah kecepatan langkah menjadi berlari.
GREB!
"I got you, ok." Sinola berhasil mendekap tubuh mungil bocah itu.
Belum selesai sampai di sana, netra Sinola terbelalak hebat tatkala sebuah truk berukuran sedang dengan kecepatan tinggi hendak menghantam dirinya dan sang bocah.
"AWAS!"
BUGH!
Tubuh Sinola dan sang bocah terpental ke tepi jalan.
Apa gue udah mati? Apa gue bakalan ketemu mama? gumam Sinola dalam hati.
"Hey? Are you ok?" tanya suara pria terdengar khawatir.
Hah? Kok ada suara cowo?
Sinola mulai membuka kedua matanya.
Woah. Jadi gini tampang malaikat. Brewokan tipis kayak om-om. Tapi, sumpah ganteng banget.
Sinola mendongak ke arah sang pria dengan tatapan rerpesona dan tampang bodoh.
"Halo?"
"Iya, halo Om malaikat ganteng," respon Sinola polos.
What! Om Malaikat?
"Ekhm, ini masih di bumi, Non. Kamu belum ke akhirat," ujar sang pria meluruskan. "Dan tolong ... bisa gak bangun dari atas badan saya? Soalnya ber-rat."
Sinola menoleh ke kanan dan kirinya. Ternyata banyak orang yang sedang mengerubungi dirinya.
Tak lama, netra puan itu membulat sempurna kala sadar 100 % bahwa tubuhnya sedang menindih seorang pria. Dengan sigap, ia pun bergegas mengambil posisi bangun.
Sang pria kemudiaan turut bangkit perlahan dan meminta kepada semua yang berkumpul untuk bubar karena mereka baik-baik saja.
"Lho, anak kecilnya tadi mana?" tanya Sinola mengalihkan perhatian.
"Kamu gak perlu khawatir. Pas saya pinggirin kalian, dia langsung ketemu sama mamanya dan pergi."
"Jadi ... Om yang nyelametin kita?"
"Gak usah pake embel-embel Om. Saya gak setua itu," ketus pria tampan yang disangka Sinola om-om karena brewok menghiasi sekeliling area pipi.
Tapi brewokannya mirip kayak papa. Ya berarti udah tua dan om-om, ledek Sinola dalam hati.
"Anyway ... makasih udah nyelametin anak kecil itu."
"Bukan saya, tapi kamu."
"Ya kalau bukan karena Om. Eh Bapak—"
"Benjamin. Nama saya Benjamin. You can call me Ben."
D*mn! Cara dia nyebutin nama bikin ulu hati geter.
Lagi-lagi, Sinola dibuat terpesona oleh suara seksi Benjamin.
"Nola! Kamu gak apa-apa, Nak?" Pekikan Diego menyeruak di antara Sinola dan Benjamin.
"Nola baik-baik aja, Pa."
"Beneran? Tadi papa denger dari sekuriti depan resto ada kegaduhan di jalanan sini." Diego menangkup khawatir kedua pipi sang putri karena khawatir.
"Beneran. Orang ini yang nyelametin Nola, Pa."
Sinola menunjuk sosok Benjamin yang ada di belakang Diego.
"Astaga, Ben. Kamu udah datang?"
"Hey, Bos."
Diego segera memeluk sosok Benjamin singkat. "Makasih udah nyelametin putri aku."
"Jadi ... ini Sinola yang bakal aku mentorin?"
"What! Jadi dia yang bakal mentorin aku, Pa?"
Baik Sinola dan Benjamin sama-sama terkejut.
"Iya, Sayang. Kenalin. Ini sahabat papa. Namanya Benjamin Miller," terang Diego. "Dan koreksi sedikit. Dia bukan hanya mentor tapi akan jadi partner dengan kedudukan yang sama."
"Maksud Papa apa?"
"Posisi dan tanggung jawab serta hak Ben akan sejajar sama kamu yaitu sebagai Co. CEO."
"Pa, tolong jangan becanda. Gak mungkin ada dua CEO."
"Bisa aja, kan perusahan punya Papa, jadi papa sudah atur semua."
"Ch! aku sebagai CEO gak approve, titik!"
Sinola geram, sang ayah memutuskan seenaknya perihal peraturan perusahaan yang jelas-jelas dirinya pemegang kendali tertinggi Cosme.
"Ehkhem! Kita ngobrol di dalem aja, yuk. Gak enak di liat orang di jalan," usul Benjamin bernada pelan seraya mendekati Diego.
"Hey! Anda gak usah ikut campur, ya," larang Sinola menumpahkan kekesalan pada sosok Benjamin meski telah menjadi penyelamatnya barusan.
"Nola!" sentak Diego.
"Gue pikir lo beneran baik tadi. Ternyata malah mau nguasain Cosme. Langkahin dulu mayat gue!" Asumsi Sinola tentang Ben malah semakin liar sehingga menuduh sang pria memiliki niat busuk.
Sementara itu, Benjamin hanya bergeming tak membalas tuduhan Sinola. Namun, netranya menatap lekat sosok Sinola yang sedang marah.
"Nola udah gak laper. Papa aja yang makan."
Sinola pun berlalu tanpa menghiraukan papanya dan juga Benjamin lagi.
"Nola!"
"Cukup, Di. Kasih putri kamu waktu, ya."
"Sorry, kalau kelakuan putri aku gak sopan," tutur Diego merasa bersalah.
"Gak apa. Biar besok saya yang ngomong langsung sama Nola. Mending kita ngobrolin bisnis gimana? Sekalian saya mau laporan Cosme cabang Perancis," usul Benjamin yang langsung diiyakan Diego.
Tunggu aja, Nola. Saya bakal luluhin hati keras kamu dengan didikan militer saya.
***
"Astaga! Kenapa gue harus bobo disini? Bukannya ... biasa, si Jake, ya?"
"Gak lagi, deh. Jake makin kesini tambah manja dan cringe. Gue gak suka," balas Sinola
"Duh harus cowo yang kayak gimana lagi, sih? Yang bisa runtuhin tuh tembok hati."
Jari telunjuk Atreya menunjuk area d**a seksi Sinola. Sang bos secara dadakan meminta Atreya menginap di kediaman mewahnya. Keduanya kini sudah ada di atas ranjang melakukan perbincangan ringan sebelum tidur.
"Gak ada."
"Yakin?"
"Yakin. Gue gak akan pernah mau jatuh cinta karena cuma bikin sakit hati doang. Kayak dulu." Setelah mempertegas, kedua manik kecokelatan Sinola seketika mengawang, mengingat masa lalu kelam kisah cinta yang berakhir gagal.
"La. Semua udah masa lalu. Lo berhak bahagia," saran Atreya pelan seraya mengelus punggung sahabatnya. "Dan cara nemuinnya ... lo harus coba buka hati lagi dan ambil resiko," tambah gadis manis dengan ciri khas rambut dengan poni. Atreya tahu betul masa lalu kelam yang telah Sinola lalui di masa lampau.
"Gue–"
PRANG!
Ucapan Sinola langsung terjeda kala suara nyaring sebuah benda jatuh terdengar sampai ke kamar.
"Hii! Apan tuh?" Atreya merespon bergidik ngeri.
"Ayo, kita cek!" ajak Sinola penasaran.
"Emang gak ada orang apa di rumah? Daddy Diego dimana?" Meski ketakutan, Atreya sempat-sempatnya menyebut Diego dengan panggilan Daddy dalam konteks sensual.
"Geli, ish! Lo mirip ani-ani kalau manggil bokap sama sebutan Daddy," ledek Sinola.
"Sialan, lo."
"Hahaha, buruan, yuk kita cek!"
"Iya, iya. Tapi gue dibelakang lo, ya."
Kedua sahabat itu pun mulai mengendap-endap keluar kamar menuju sumber suara yang berasal dari dapur.
Tak lama, mereka sampai di tujuan. Suasana dapur yang remang membuat penglihatan kedua gadis itu terbatas.
"Kayak bokap lo, bukan si?" bisik Atreya menebak sembari mengintip dari balik lemari kitchen set.
Terlihat seorang pria yang sedang membelakangi dan melakukan sebuah kegiatan.
"Bukan. Gue kenal banget visual bokap dari segala arah. Ini pasti maling masuk. Gue mau ambil sesuatu buat mukul." Tanpa berbasa basi lagi, Sinola bergegas mencari barang yang bisa dijadikan senjata.
"Heh! Jangan tinggalin gue, La." Atreya berbisik pasrah karena ditinggal sang sahabat di sana.
Tak sampai lama, Sinola kembali dengan membawa pentungan baseball, hendak menghampiri sosok misterius yang disangka maling.
Harus berani, gue pasti bisa lawan tuh maling.
Sinola bergumam dalam hati bermaksud mengumpulkan keberanian karena hendak men-take down sosok pria tinggi besar.
"Hiyaaaat!"
Tanpa peringatan, Sinola berlari menuju sosok tersebut, hendak memukulkan di area punggung
Dalam sepesekian detik, sosok pria itu pun berbalik sebelum Sinola mendaratkan pukulan.
"Awas! Lantainya licin!"
"Ben?"
Belum sempat memukul, Sinola malah terpeleset imbas adanya cairan yang bercecer di lantai.
BUGH!
Untuk kedua kalinya dan masih di hari yang sama, tubuh Sinola mendarat di atas dad* bidang milik Benjamin.
Ya. Benjamin kembali mengorbankan tubuhnya menjadi alas Sinola agar tidak terjatuh ke atas permukaan lantai.
Namun, situasi kali ini sedikit berbeda. Pasalnya, Benjamin dan Sinola terjatuh dengan posisi bibir keduanya yang saling menyentuh satu sama lain.