Ini adalah pertama kalinya aku dan Chris beradu argumen setelah kami resmi berpacaran. Aku akui dalam permasalahan ini aku yang salah, tetapi apa salah aku meminta sedikit privasi kepada Chris?
“Michelle,” panggil Chris.
“Kamu harus jujur dong tentang semua hal sama aku, aku berhak tau apa yang sedang kamu pikirkan.” Lanjutnya. ‘
Aku membalikkan badanku, “gak semuanya harus kamu tau Chris. Aku juga mau urus masalahku sendiri, aku mau coba mandiri dan gak ngerepotin kamu terus.”
“Aku sebagai pasangan kamu wajib untuk membantu kamu dalam permasalahan apapun. Kalau kamu sendirian, permasalahan kamu gak bakal selesai,” balas Chris.
Aku tersinggung dengan omongan yang dilontarkan Chris, ia mengatakan itu seolah – olah aku tidak bisa berdiri sendiri. “Apa? Gak bakal selesai?”
Aku menjauh darinya dan duduk di pinggir ranjang seraya menatap keluar jendela. Chris ikut duduk di sampingku, “iya, gak bakal selesai. Aku mau dilibatkan dalam semua hal di hidup kamu,” jawab Chris.
“Kalau kamu pernah gak ngomong soal masalah pribadi kamu ke aku? gak pernah. kamu meremehkan aku, kamu ngomong gitu seakan – akan aku ini cewek yang lemah!” protesku.
“Aku gak bermaksud untuk bilang kamu lemah, maksud aku adalah sebaiknya kamu biarin aku untuk bantu permasalahan kamu,” kata Chris, lalu ia mencoba untuk memegang tanganku tetapi aku menarik tanganku dan menghindar darinya.
“Aku butuh waktu untuk sendirian,” ucapku. Kemudian aku keluar dari kamar dan berjalan ke lantai bawah.
Chris mengikuti langkahku seraya memanggil namaku berkali – kali, “Michelle, aku minta maaf. Aku gak ada maksud untuk meremehkan kamu, aku cuma mau bantuin kamu.”
“Sudahlah Chris, aku cuma mau merenung dan sendirian malam ini,” balasku. Aku membuka pintu depan dan berjalan menjauh dari pekarangan rumah.
Aku menoleh kebelakang untuk melihat keberadaan Chris, ia hanya berdiri di pintu dan tidak mengikutiku. Aku hanya bisa berharap semoga ia mengerti denganku saat ini.
Aku memasuki café bernuansa minimalis yang berjarak tidak jauh dariku, meskipun café ini dekat dengan rumah tetapi aku tidak pernah mampir untuk mencicipi minuman dan makanan di sini.
Aku duduk di lantai dua di dekat jendela. Aku sengaja memilih meja ini untuk melihat langit malam tanpa bintang dengan coklat panas dan satu kotak rokok yang menemaniku. Entah harus bagaimana aku menghadapi ibu kandungku dan Michael yang terus – terusan menghantui hidupku.
Hampir selama satu jam aku merenung sendirian di café ini, semakin malam satu per satu pengunjung café berdatangan karena New York adalah kota yang tidak pernah tidur. Ramainya pengunjung membuat ketenanganku sedikit terusik, tetapi aku tidak mempunyai tempat tujuan lain.
Waktu berlalu dengan cepat, tidak sadar aku habiskan segelas coklat panas ini sampai tetes terakhir. “Michelle,” panggil seseorang.
Aku melihat ke sumber suara. Tidak aku sangka orang yang memanggilku bukan Chris melainkan Michael. “Michael?”
“Boleh aku duduk di sini?” tanya Michael.
Aku hanya menganggukkan kepala sebagai tanda aku mengizinkannya untuk duduk di hadapanku. Ia tersenyum tipis seraya menggeserkan kursinya lebih dekat denganku. Yang aku bingungkan adalah kenapa ia selalu hadir dimanapun aku berada, ia seperti detektif.
“Kamu mau bicara soal masalah tadi siang? Maaf aku gak punya waktu untuk itu,” kataku.
“Bukan, aku gak sengaja mampir di café ini. Kebetulan aku ngeliat kamu lagi duduk sendirian jadi aku mau ngobrol santai dengan kamu. Lagian udah lama kita gak ngobrol kan?”
Aku hanya diam mendengar perkataannya tersebut, tidak mungkin kehadirannya selalu kebetulan. Tapi aku tidak mau bertanya lebih soal itu, aku tidak terlalu memperdulikannya.
“Kamu ngapain di sini sendirian?” tanya Michael lagi.
“Aku mau nyantai aja, di rumah bosan.” Jawabku.
“Chris gak ikut?” dari pertanyaan yang ia lontarkan kepadaku bisa dinilai bahwa ia sangat ingin tau tentang aku dan Chris.
“Enggak, emang kenapa?”
“Ya gak apa – apa, aku cuma nanya aja.” Jawab Michael.
“Minuman kamu habis, mau pesan lagi?” Tanpa menunggu jawaban dariku, Michael memanggil seorang pelayan yang tengah melayani pengunjung dan memesankan ice chocolate untukku.
Aku melihat layar hpku yang terus – terusan menyala akibat pesan masuk yang berdatangan. Aku mematikan hpku dan memasukkannya ke dalam tas.
“Kamu bahagia sekarang ya?” tanya Michael, lalu ia meneguk segelas kopi hitam.
“Iya, kenapa?”
“Gak apa – apa. Aku senang kalau kamu bahagia dengan Chris, tapi satu hal yang harus kamu tau kalau aku masih memperjuangkan kamu untuk bisa bersamaku,” jelas Michael.
Seberapa keras aku berusaha menghindari Michael, pada akhirnya ia berhasil berbicara soal perasaannya lagi kepadaku. Ia menggenggam tanganku, lalu mengusap punggung tanganku dengan ibu jarinya.
“Aku rasa kamu tau kenapa aku terus – terusan membawa masalah di hidup kamu Michelle. Di balik aku yang memang peduli dengan kamu, tapi aku memang mau ketemu dengan kamu apapun alasannya,” lanjutnya.
Aku menarik tanganku, dan menatapnya dengan tajam. “Aku sudah memilih Chris untuk jadi pasanganku. Aku kira kamu bakal ikhlas menerima apapun keputusan yang aku buat, tapi nyatanya kamu masih belum nyerah untuk memiliki aku.”
Michael kembali menarik tanganku, kali ini ia menggenggamnya dengan kuat sehingga aku kesusahan untuk menghindarinya. “Aku juga kira kalau aku bakal ikhlas, tapi ternyata enggak. Hati aku sakit ngeliat kamu dengan Chris. Ya memang aku senang ngeliat kamu bahagia, tapi bukan sama dia.”
Michael tidak menyerah, ia menggeser bangkunya semakin dekat denganku. Ia memegang rahangku dengan kedua tangannya. Aku kebingungan, aku berusaha menjauhkan wajahku darinya tetapi gagal. Tenaganya sangat kuat, selain itu tatapannya melumpuhkanku.
“Kalau memang kita gak bisa jadi pasangan, apa kita bisa jadi teman baik?”
“Michelle?” suara Chris terdengar lantang di telingaku. Aku mendorong Michael dan langsung beranjak dari tempat dudukku.
“Chris? Aku bisa jelasin semuanya,” aku memegang tangan Chris untuk mencegahnya pergi.
“Seperti kata kamu tadi, kamu perlu waktu sendiri dulu. Lebih baik aku gak ganggu kamu dulu untuk saat ini.” balas Chris, kemudian ia pergi meninggalkan café.
Michael sukses membuat hubunganku dan Chris terguncang. Mungkin ini salahku juga karena aku tidak tegas dan mengizinkan Michael untuk duduk di dekatku. Aku berlari mengejar Chris tanpa memperdulikan Michael.