"Apa kau Percaya dunia paralel?"
Jole mendadak menyesali pertanyaan yang dia ajukan pada Jovanka. Harusnya dia tidak menanyakan itu. Karena mimpi buruk itu kembali menghampiri Jole. Dia tidak tahu ini bermula dari mana. Hingga mimpi buruk itu datang. Dia selalu memimpikan Jovanka tersesat. Di sebuah hutan yang gelap. Dia mampu melihat Jovanka tapi tak mampu untuk bicara padanya maupun menggapainya.
Jole pikir itu hanya mimpi biasa hingga sebuah telepon benar-benar membuat lututnya lemas malam ini. Tubuh Jole merosot dan mendadak lemas. Air mata meluncur dari sudut matanya. Jole mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia menepuk pipinya agar sadar bahwa dia harus segera ke rumah sakit sekarang. Dengan terseok_seok Jole berjalan mengambil tas dan kunci mobil. Tangannya masih bergetar saat memegang stir. Perempuan itu segera melajukan mobilnya ke rumah sakit. Dia berjalan dengan tergesa menuju ruang gawat darurat. Perempuan itu tidak sanggup menahan tangisnya.
"Lo! "
Mata Jole terbelalak ketika mendapati Seno berdiri di hadapan ICU. Petugas rumah sakit sempat menjelaskan kecelakaan yang menimpa Jovanka dan Jole tahu itu semua salah Seno.
"Ngapain lo di sini? Gak cukup lo bikin sahabat gue kayak gini!"
Amarah Jole meluap. Dia mencengkeram kerah Seno. Gadis itu tidak memedulikan orang-orang yang tengah menatapnya saat ini. Dia benci lelaki ini ada di sini. Jika bukan karena Seno, Jovanka akan baik-baik saja sekarang.
"Gue bisa jelasin." Ujar Seno mencoba menahan tekanan di dadanya.
"Jelasin apaan? Sahabat gue kayak gitu gara-gara lo. Emang b******k ya lo jadi cowok."
Jole tidak mau dan tidak menerima penjelasan apapun dari Seno. Dari awal harusnya dia tidak menyetujui hubungan Jovanka dan Seno. Tapi dia tidak mungkin menghancurkan kebahagiaan Jovanka. Perempuan itu sangat menyayangi Seno.
“Semua ini gara-gara lo tahu gak sih! Gue gak akan pernah maafin lo.” Kecam Jole.
Seno hanya diam. Penjelasannya saat ini tidak aka nada gunanya di hadapan Jole yang tersulut emosi. Dia meninggalkan Jole sendirian. Berharap suatu hari nanti dia akan tahu segalanya.
Kondisi Jovanka luka parah. Benturan yang diakibatkan oleh kecelakaan itu menyebabkan luka serius Terutama benturan di kepala Jovanka. Untuk sementara Jovanka harus dirawat secara intensif di rumah sakit.
Jole menunggu dengan tegang. Gadis itu pergi ke ruang dokter yang merawat Jovanka. Jantungnya berdebar. Dia tak siap dengan penuturan dokter tentang keadan Jovanka sekarang. Tapi lebih baik dia mengetahuinya agar dia tahu apa yang harus dia lakukan.
“Untuk saat ini pasien mengalami koma. Kami akan melakukan yang terbaik bagi pasien. Semoga teman anda lekas bangun kembali,” tukas Dokter Andre pada Jole.
Jole tak kuasa menahan air matanya, “Apa temanku akan baik-baik saja, Dok?” Jole bertanya dengan suara bergetar. Dokter Andre menatap Jole dengan tatapan yang Jole bisa pahami, “Kami akan berusaha semaksimal mungkin.” Gumamnya. Jole tahu Dokter Andre hanya ingin membuatnya tenang. Mimpi buruk Jole jadi kenyataan. Gadis itu berjalan ke luar ruangan dokter dengan lemas.
“Jo, maafin gue,” gumam Jole penuh penyesalan.
***
Tetranium sebuah terowongan gelap dan batas antara hidup dan mati. Kau hanya bisa menyeberanginya sekali. Dan sekali saja kau melangkahkan kaki ke dalam Tetranium kau tidak akan bisa kembali. Terowongan itu sangat panjang dan kau tak akan perah menemukan jalan keluar.
“Kau mau kemana?” Jovanka melirik ke arah Jevan lelaki itu bersiap pergi namun Jovanka memegang lengannya. Jevan melirik ke arah tangan Jovanka, membuat gadis itu paham bahwa lelaki ini tidak ingin disentuh.
“Bukan urusanmu,” tukas Jevan dingin. Jovanka tahu bahwa mereka baru saja kenal. Bahkan belum kenalan tapi apa sopan Jevan melayangkan tatapan dingin seperti itu padanya?
“Kau mau masuk ke sana? Jangan gila.Kau mau mati?” Jovanka menarik lengan Jevan mencegah lelaki itu masuk ke dalam terowongan. Jevan menepis tangan Jovanka kasar.
“Apa pedulimu? Kau tidak berhak untuk melarangku. Kau bukan siapa-siapa. Aku juga tidak mengenalmu. Jadi berhenti seolah kau ada hak untuk mencegahku.”
Jevan D’movic benci sebuah peraturan. Tanpa peraturan saja hidupnya sudah seperti penjara sekarang. Apa yang bisa dia pertahankan dari hidup ini? Tidak ada? Tidak ada yang mengharapkan dia hidup di dunia ini kecuali keluarganya. Dan jika dia pergi dia yakin keluarganya akan baik-baik saja. Sekalipun mereka sedih, kesedihan itu tidak akan berlangsung begitu lama. Semua hal-hal sedih juga akan berlalu dari dunia ini. Jadi tak apa jika dunia ini kehilangan seseorang seperti dirinya. Itu bukan satu masalah besar.
“Aku gak tahu apa yang membuatmu hingga seputus asa ini. Tapi tolong pikirkan keluargamu. Kau pasti punya keluarga kan? Mereka juga pasti akan sedih kehilanganmu. Jangan hanya memikirkan penderitaanmu sendiri. Kau berharga dan pasti ada seseorang yang menunggumu untuk bangun sekarang. Jadi ayo pikirkan jalan keluar dari sini. Kita pasti bisa kembali untuk hidup lagi.”
Entah kalimat dari mana Jovanka begitu fasih meluncurkan kalimat itu dari bibirnya. Padahal dirinya juga sama putus asanya dengan Jevan. Tapi dia tidak ingin lelaki ini pergi. Jika dia membiarkan lelaki ini pergi sama saja dengan membiarkan seseorang bunuh diri di hadapan matanya.
"Jangan nyerah." Jovanka menatap Jevan dengan tatapan memohon.
Nging!
Sebuah peluit panjang memekakan telinga terdengar. Jovanka menutup kupingnya yang berdenyut nyeri.
Jevan segera menarik Jovanka ke arah hutan yang berada di sisi jalan. Terowongan ini terletak di tengah jalan dengan kanan dan kiri di kelilingi hutan pinus lebat. Jovanka kaget ketika tangan Jevan tiba-tiba menariknya ke arah hutan namun dia tidak sanggup bertanya ada apa karena telinganya masih nyeri akibat suara peluit barusan. Jevan membawa Jovanka ke arah pohon besar dan bersembunyi di sana.
"Jangan bicara dan bergerak." ujar Jevan dengan nada memerintah. Mereka berada di sebuah pohon besar dengan posisi saling berhadapan. Jevan menarik pinggang Jovanka agar lebih dekat.
"Apa-apaan kau. Kau mau memanfaatkan kesempatan dalam... Eummm. Eummm."
Jovanka belum sempat menyelesaikan perkataannya ketika tangan Jevan membekap mulutnya.
"Kau bilang kau mau hidup kan? Kalau begitu jangan banyak bicara jika kau masih mau berumur panjang."
"Apa kau mengerti?" gumam Jevan dengan nada setengah berbisik. Jovanka mengangguk. Dia tidak tahu apa yang sedang dia lakukan. Yang jelas sepertinya Jevan lebih tau daerah ini dari pada Jovanka. Karena itu demi kebaikan bersama ada baiknya dia mematuhi perkataan Jevan.
Posisi tubuh mereka begitu dekat. Jovanka bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. Wangi aroma parfum Jevan menusuk indera penciumannya. Tapi ini bukan seperti wangi parfum tapi wangi tubuh Jevan.
Dum!
Tanah yang mereka injak bergetar. Mata Jovanka melebar. Ada ketakutan di sana
Seperti sesuatu yang besar akan muncul dari balik pohon mereka berlindung. Ribuan firasat dan perasaan ngeri mendadak menghampiri Jovanka. Dia masih belum mau mati sekarang. Dia masih ingin hidup saat ini.