Drone

1877 Words
Dor! Suara tembakan berbunyi nyaring di dalam telinga, bersamaan kilas balik p*********n oleh para pemburu yang berputar-putar di dalam pikiran Rigel. Hal tersebut membuatnya tersentak kaget, spontan membuka matanya lebar-lebar. Napas Rigel terengah-engah, keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhnya. Cuma mimpi? Rigel menghela napas lega karena ternyata yang barusan hanyalah sebuah mimpi buruk. Ia sudah ketakutan setengah mati ketika menyaksikan peluru melayang di depan matanya, itu terlalu mengerikan. Setelah mengatur napasnya kembali normal, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dahinya mengerut ketika mendapati dirinya masih berada di dalam mobil Jeep Wrangler milik Joanna. Lantas, apakah yang tadi bukan mimpi? Melainkan sungguhan terjadi? Rigel spontan bangun, pergerakannya yang tergesa-gesa membuatnya memekik kesakitan. "Aaaw!!!" Rigel memegangi tangan sebelah kanan yang tiba-tiba berdenyut hebat, seperti ada sesuatu yang menyalurkan sebuah sengatan yang cukup untuk membuatnya mengerang kesakitan. Tangan kanan bagian lengan atasnya terasa kaku dan sakit saat coba digerakkan. Rigel mengembuskan napas kasar ketika melihat lengan atasnya dibalut perban dan terlihat ada noda darah di bagian tengahnya yang mengotori perban. Rigel menarik kesimpulan kalau yang tadi bukanlah mimpi buruk, melainkan kejadian yang benar-benar ia alami. Diperkuat dengan ingatannya saat Joanna memberikan granat kepadanya sebelum insiden itu terjadi. Seandainya saja ia tetap menolak untuk melemparkan granat itu, mungkin lengannya tidak akan sampai terluka begini. Tapi jika ia tidak melakukannya, mungkinkah mereka berdua akan selamat dari kejaran para pemburu? "Kau sudah bangun?" Suara dari depan menginterupsi, bersamaan dengan Joanna yang baru saja masuk ke mobil. Dari bangku depan, perempuan itu menoleh ke belakang untuk melihat keadaan Rigel yang dibaringkan di jok belakang. Joanna menghela napas lega, melihat Rigel sudah dalam keadaan duduk sembari menatap dirinya. "Untung cuma peluru bius, jadi lukanya nggak terlalu parah," ucapnya ketika melihat luka di lengan Rigel yang telah ia obati sebelumnya. "Apa kau bilang? Untung?" Rigel berdecih mendengar ucapan Joanna. "Tanganku terluka separah ini gara-gara kau? Seandainya tadi kau tak memaksa aku untuk melemparkan granat itu, maka aku tak akan sampai terluka begini!" tukas Rigel, menggebu-gebu. Ia menunjukkan kemarahannya pada Joanna yang dianggap sebagai penyebab lengannya terluka, lalu diperparah dengan ucapan Joanna yang mengatakan untungnya, seakan-akan luka Rigel tidak ada apa-apanya. "Lalu, kau mau kita berdua mati konyol di tangan mereka?" Joanna mendengkus kasar, memutar tubuhnya menghadap depan. Ia mengambil sebotol air dari dasbor, meminumnya sedikit untuk melegakan tenggorokannya yang kering. "Jangan terlalu dramatis." Joanna kembali berkata, menatap Rigel lewat kaca spion di atasnya. Pandangan mereka saling beradu, tatapan sengit dan tajam saling bertemu seakan keduanya tengah menunjukkan perseteruan. "Bersyukur karena itu hanya peluru bius, karena kalau tidak, aku tidak yakin kau akan selamat dengan persediaan obat yang terbatas. Ditambah peralatan yang tidak memadai, untungnya peluru itu tidak menancap begitu dalam. Bukankah keadaanmu sekarang jauh lebih baik, dari apa yang bisa saja terjadi seandainya itu bukan peluru bius?" Joanna memutus kontak mata setelah Rigel lebih dulu membuang muka. "Tetap saja, tidak ada yang lebih untung. Lain kali pikirkan keselamatan orang lain, jangan egois mementingkan diri sendiri. Kalau saja kau yang melemparnya, maka hal ini tidak akan terjadi," cetus Rigel, tetap menyalahkan Joanna atas insiden yang melukai lengannya. Joanna menghela napas panjang, berdecak sembari menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Matanya perlahan terpejam, dengan mulut yang mulai bergerak mengeluarkan suara. "Kalau aku egois, aku tak akan repot-repot mempertaruhkan nyawa hanya untuk menolongmu keluar dari sini. Mungkin waktu itu juga aku akan membiarkanmu mati di tangan para pemburu." Kata-kata yang baru saja Joanna ucapkan begitu menohok Rigel, menyentil ego dan hatinya bersamaan. Rigel jadi merasa bersalah, karena telah melampiaskan kekesalannya pada Joanna. Padahal perempuan itu telah banyak membantunya, bahkan mungkin juga benar, Joanna sampai harus mempertaruhkan nyawanya hanya untuk mengusahakan agar ia bisa kembali pulang ke dunianya. Dan kata-kata yang ia lontarkan pasti terlalu menyakitkan untuk Joanna. Sayangnya, Rigel gengsi untuk bilang maaf dan memilih bungkam seribu bahasa. Membiarkan suasana canggung mengambil alih, bersama keheningan yang mendekap mereka di dalam mobil. "Kau bisa beristirahat lagi, karena saat matahari mulai bersinar, kita akan meneruskan perjalanan untuk mencari bahan makanan dan persediaan s*****a serta obat-obatan. Gunakan waktumu sebaik mungkin, meski kondisimu seperti itu kau tetap harus bertarung jika ingin tetap hidup," ujar Joanna, memecah keheningan sesaat. Tak ada tanggapan dari Rigel, membuat hening kembali mengambil alih suasana. Membiarkan atmosfir dalam mobil jadi tak nyaman dan terasa canggung. Meski begitu, baik Joanna dan Rigel, keduanya tetap terlihat tenang seolah tidak mempedulikan kehadiran satu sama lain. Joanna sendiri langsung memejamkan mata, mengistirahatkan tubuhnya yang letih setelah sebelumnya berkeliling ke area sekitar. Saat ini mereka berada di sudut kota, di mana bangunan-bangunan tinggi terbengkalai. Keadaan dini hari yang masih gelap, membuat mobilnya tak begitu mencolok. Sehingga keduanya bisa bersembunyi dengan aman dari kejaran para pemburu dan perampok yang bisa datang kapan saja. Joanna sudah mengecek ke sekitar tempatnya bersembunyi, tak ada tanda-tanda kehadiran musuh. Ia juga mengecek setiap tempat yang bisa dijangkau, sayangnya tak ada stok makanan yang bisa ditemukan. Karena bangunan-bangunan itu seperti bekas gedung perkantoran yang tak terurus. Mau tidak mau Joanna tetap harus ke pusat kota lagi, di mana banyak stok makanan yang bisa diambil dari pabrik makanan dan mini market terbengkalai. Namun, mereka harus menunggu fajar terlebih dahulu, demi menghindari para pemburu dan perampok yang sering berkeliaran pada saat gelap. Jika Joanna bisa memejamkan mata dan tertidur lelap, tidak dengan Rigel yang kembali membuka matanya. Ia memandang ke luar kaca jendela mobil, memperhatikan suasana di luar yang begitu mencekam. Pikiran-pikiran negatif berkeliaran di dalam kepalanya, suara-suara bising yang merongrong dirinya agar cepat keluar dari dunia game yang membahayakan nyawanya. Semakin Rigel pikir, semua yang ia alami di dunia ini tampak begitu nyata. Seakan dunia game ini, dunia sungguhan. Walau tetap saja banyak hal tak masuk akal yang telah ia alami. Ma, Pa, Rigel menyentuhkan ujung telunjuknya ke kaca, ketika bayangan wajah kedua orangtuanya muncul melambaikan tangan dengan senyum semringah menyambutnya untuk pulang. Rigel kangen. Di saat keadaan seperti ini, Rigel baru menyadari betapa beharganya sosok kedua orangtuanya. Meski mereka kadang tak mengerti apa yang Rigel mau dan bersikap keras padanya, tapi tetap saja kehadiran mereka seakan begitu penting dalam hidupnya. Tanpa mereka Rigel tidak yakin  bisa bertahan hidup, seperti sekarang. Akankah ia bisa bertahan hidup di tempat ini? Nggak, apa pun yang terjadi aku harus pulang. Aku pasti bisa keluar dari sini! ————— Terik matahari mulai menyinari kota mati, ketika mobil Joanna sudah sampai ke pusat kota. Kota itu benar-benar terlihat sepi tak berpenghuni, mungkin saat ini hanya ada Joanna dan Rigel di sana. Joanna menghentikan mobilnya di salah satu sudut g**g, tempat strategis untuk menyembunyikan kendaraannya. "Bagaimana dengan tanganmu?" tanya Joanna setelah melepaskan sabuk pengaman, ia memutar tubuhnya menghadap ke belakang. Untuk mematikan keadaan Rigel sebelum keluar dari mobil. "Tak usah khawatir, aku bisa mengatasinya." Rigel meringis ketika harus menggerakkan tangannya. "Tak perlu dipaksa," kata Joanna. "Semoga saja kondisi di dalam aman, jadi kau tak perlu memaksakan lenganmu untuk bergerak." Rigel hanya mengangguk, tak banyak bicara setelah keributan tadi. "Dan ini, buat jaga-jaga. Sepertinya kau lebih membutuhkan untuk melindungi diri." Joanna memberikan jaket khusus yang sebelumnya ia pakai. Jaket yang dirancang khusus untuk melindungi diri dari peluru maupun sesuatu yang berbahaya. Rigel memandang jaket yang disodorkan Joanna, tapi kemudian mendorongnya sebagai bentuk penolakan. "No, thanks. Kau pakai saja, aku tidak membutuhkan itu." "Tapi———" Joanna mendesah berat karena Rigel tak menghiraukannya dan malah bergegas keluar. Lantas, Joanna pun ikut keluar, menghampiri Rigel yang sedang menatap ke sekelilingnya. "Pakai, aku nggak mau kau menyalahkan aku lagi jika tertembak." Joanna memaksa Rigel menerim jaketnya, lalu berlalu meninggalkan lelaki itu. Rigel memandang Joanna yang sudah melangkahkan kakinya, lalu beralih memandang jaket milik Joanna yang diberikan kepadanya. Ia merasa tersentuh, juga merasa tidak enak hati. Joanna jelas-jelas baik dan peduli pada dirinya, tapi ia malah melontarkan kata-kata yang kurang menyenangkan tadi. "Hei, kau mau berdiri terus di situ?" Suara Joanna yang berjarak beberapa langkah dari Rigel menginterupsi. "Ayo, waktu kita tidak banyak!" seru Joanna, menyuruh Rigel bergegas mengikutinya. Rigel pun menurut, memakai jaket sembari berjalan menyusul di belakang Joanna. Matanya bergerak waspada, memperhatikan setiap bangunan yang dilewati. Di saat yang bersamaan, sebuah bunyi nyaring menginterupsi Rigel. Sontak ia berhenti, menoleh ke belakang untuk mencari tahu dari mana asal suara itu. "Why?" Joanna yang menyadari Rigel berhenti, sontak bertanya. Ikut memutar tubuhnya ke belakang. Rigel mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati lebih jeli apa pun yang mencurigakan. Tapi ia tidak menemukan apa pun dan bunyi nyaring tadi juga sudah tidak terdengar lagi. "Aku kau tadi mendengarnya?" tanya Rigel ketika menghadap Joanna yang masih memperhatikannya. Joanna menggeleng. "Memangnya apa yang kau dengar?" "Suara bunyi nyaring, mirip kaya lebah tapi suaranya lebih keras," ucap Rigel, menerangkan apa yang sempat didengarnya. "Tapi sepertinya tidak ada apa pun, apakah mungkin aku salah dengar?" Rigel terlihat kebingungan. Joanna mengibaskan tangannya, sambil berbalik ke depan ia berkata, "Jangan pedulikan, mungkin kau hanya salah dengar. Kau harus fokus, jangan biarkan hal-hal tidak penting mempengaruhi pikiranmu. Karena musuh bisa saja menyerang kapan pun, jangan sampai lengah." Joanna mengingatkan Rigel untuk tetap waspada dan tetap fokus. "Hm." Rigel hanya berdehem, kemudian berjalan lagi mengikuti Joanna. Tempat yang mereka tuju sudah terlihat. Bangunan besar yang sepertinya bekas supermarket, terlihat dari spanduk-spanduk iklan di depan yang tak lagi berwujud utuh. Joanna dan Rigel mempercepat langkahnya menuju bangunan itu. Namun, tiba-tiba Rigel berhenti dan juga mencekal lengan Joanna. Sontak saja Joanna ikut berhenti, lalu menoleh padanya. "Apa?" Joanna mengerutkan kening, melihat gelagat Rigel yang aneh. "Ada apa?" tanyanya tak sabaran. "Sssuuuuut!" Rigel menekankan telunjuk di bibirnya, menginteruksi agar Joanna tidak berisik. "Kau dengar?" Rigel mengangkat telapak tangan ke dekat telinganya, mencoba mendengarkan sekali lagi bunyi yang sempat ia dengar. "Bunyi itu ada lagi." Joanna terdiam, matanya memicing ketika mencoba mendengarkan suara yang dimaksud Rigel. Lalu ia spontan melotot ketika mendengar suara tersebut dan mengenali suara apa itu. Mata Joanna seketika menyisir ke sekeliling, mencari sumber suara itu dan matanya semakin terbelalak saat melihat sebuah drone terbang ke arahnya. "Mampusss!" pekik Joanna. "Why?" Rigel bertanya, berniat melihat ke belakang tapi Joanna lebih dulu menarik tangannya. "LARI!!!" teriak Joanna. Rigel meringis kesakitan karena tangan yang ditarik Joanna merupakan tangan kanannya yang terluka. Ia berusaha menarik tangannya dari cengkraman erat perempuan itu. "Rigel, ayo!" Joanna berteriak sekali lagi karena Rigel mencoba menghentikan langkahnya dan hal tersebut membuat ia turut tertahan. "Ada apa sebenarnya?" Napas Rigel memburu, ngos-ngosan. "Lagipula kenapa kau harus menarik tanganku, sakit———" Rigel tercekat karena Joanna kembali menyeret tangannya. Untungnya kali ini Joanna tidak menarik tangan kanannya. "Tidak ada waktu, nanti aku jelasin. Sekarang kita harus bersembunyi jika ingin tetap hidup!" sergah Joanna, bersamaan dengan peluru yang meluncur ke arah mereka. Tapi peluru itu meleset dan mengenai sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. "Cepat, Rigel!" Joanna makin panik karena drone itu menyerang, bahkan bukan lagi satu drone melainkan ada tiga drone. Rigel yang menyadari keberadaan drone-drone tersebut pun akhirnya tahu kalau mereka sedang dalam bahaya. Entah kali ini apa, tapi yang pasti mereka harus menyelamatkan diri dari serangan drone tersebut. Rigel mempercepat laju larinya, kali ini ia yang memimpin. Menggandeng tangan Joanna dan membawanya memasuki gedung. Sementara drone-drone tersebut tetap mengejar keduanya memasuki gedung bekas supermarket. Rigel dan Joanna dalam bahaya besar, karena drone itu terus meluncurkan serangan mematikan. "Awas, Jo!" Rigel spontan memeluk Joanna saat melihat sebuah laser menyorot punggung Joanna, tanpa pikir panjang ia menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi perempuan itu  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD