Kota Mati

2359 Words
Rigel terbangun ketika mendengar suara berisik dari luar ruangan tempatnya tidur. Meski kantuk masih mendominasi, ia memaksakan diri untuk bangun. Lalu berjalan keluar melihat apa yang terjadi di luar ruangan. Saat pintu terbuka, fokus Rigel langsung tertuju pada Joanna yang sedang mengecek satu per satu persediaan persenjataan yang ada di rak penyimpanan. "Kau sudah bangun?" Joanna menyapa, memamerkan seulas senyuman manis. Rigel berdehem, tenggorokannya terasa kering. Ia butuh air setelah semalaman menahan diri untuk tidak minum karena Joanna tak memberinya toleransi. Benar-benar membatasi dan hanya memberikan satu botol air mineral per hari. "Makan, setelah itu siap-siap. Kita harus berangkat pagi-pagi," kata Joanna yang sibuk mengetes satu per satu s*****a yang kemungkinan akan ia bawa. Rigel tak memprotes, melangkah ke meja di mana Joanna sudah menyediakan satu makanan kaleng dan satu botol air mineral. Rigel mendesah berat, tak berselera melihat makanan kaleng. Walau sepertinya isi dalam kaleng makanan itu berbeda dengan yang ia makan kemarin. Tapi tetap saja Rigel enggan memakannya, ia ingin makan nasi. Ia rindu masakan mamanya yang lezat. "Kenapa? Nggak lapar? Kau bisa menyimpannya lagi kalau nggak mau." Suara Joanna kembali terdengar, menyentak Rigel dari lamunannya akan santapan rumah. Rigel mendengkus pelan. Walau ia enggan memakan makanan kaleng tersebut, tapi perutnya yang terasa perih memaksanya untuk melahap makanan itu. Beruntung isinya bukan daging setengah matang seperti kemarin, kali ini seperti asinan buah dicampur jelly. Lumayan karena ada rasa manis-manisnya, dari pada makanan sebelumnya yang begitu hambar dan berbau amis. Joanna terkekeh geli, menggelengkan kepala melihat Rigel memakan makanannya dengan lahap. Ia kemudian menghampiri lelaki itu dan membawakan satu set pakaian. "Pakai ini." Rigel melirik pakaian yang Joanna letakkan di atas meja, lalu menatap perempuan itu dengan alis bertaut. Paham akan tatapan Rigel yang menuntut penjelasan, Joanna lantas langsung memberitahu maksud ia memberikan pakaian tersebut. "Sudah dua hari kau tak mengganti pakaianmu, jadi aku berbaik hati memberimu pakaian ganti. Pakaian ini juga dilengkapi bahan pelindung anti peluru, setidaknya cukup untuk melindungi organ vitalmu jika sesuatu yang buruk terjadi. Karena aku tak bisa menjamin akan keadaan di luar sana yang jelas-jelas tidak kondusif," ujar Joanna, mencoba memberikan pemahaman pada Rigel mengenai bahaya yang mengintai di luar sana. "Kau bisa membersihkan dirimu di belakang, masih ada persediaan air untuk mandi." Baru Rigel akan membuka mulut untuk bertanya, tapi Joanna sudah pergi meninggalkannya. Ia menghela napas panjang, mau tidak mau mengikuti apa yang tadi Joanna katakan. Ia tak punya pilihan lain, karena Joanna satu-satunya harapan ia bisa lolos dari tempat ini. Sepertinya Rigel harus mulai menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan keadaan maupun lingkungan di tempat ini. Ia sempat syok melihat air yang dimaksud Joanna untuk membersihkan diri. Ternyata air yang dimaksud ialah air hujan yang sengaja ditampung dalam drum berukuran besar. Walau tidak jernih, tapi setidaknya cukup menyegarkan untuk membersihkan seluruh badannya yang lengket karena keringat selama dua hari. Tak perlu waktu lama, Rigel segera memakai baju yang tadi diberikan oleh Joanna. Kaus putih polos lengan pendek, celana panjang hitam dengan banyak kantung dan rompi tebal bewarna hitam terbuat dari kulit yang lumayan berat saat ia kenakan. Rigel menghampiri Joanna yang sedang memasukkan perbekalan ke dalam tas ransel. Suara langkahnya menginterupsi perempuan itu yang seketika menoleh sekilas padanya sebelum akhirnya kembali sibuk pada pekerjaan. "Kau bisa menggunakan panah?" tanya Joanna ketika Rigel berhenti di dekatnya. Rigel menggeleng. "Enggak. Aku bahkan belum pernah memegang busur panah." Joanna menoleh, memperhatikan sejenak wajah Rigel. Seolah jawaban Rigel barusan membuatnya tak percaya. "Sungguh? Kau tak pernah menggunakan ini?" Joanna menunjukkan busur panah yang sedang dipegang. Rigel kembali menggeleng. Ia yakin tidak bisa, apalagi dirinya memang tidak pernah memainkan busur panah. "Kenapa?" Rigel heran kenapa Joanna menanyakan hal tersebut padanya. "Amunisi kita terbatas, untuk berjaga-jaga kau seharusnya bisa menggunakan busur panah atau s*****a manual lainnya." Joanna menghela napas panjang, memilah-milah s*****a yang tersisa di rak penyimpanan. "Aku bisa menggunakan ketapel," ucap Rigel saat tak sengaja melihat ketapel di rak paling bawah. "Bagus." Joanna langsung memasukkan ketapel tersebut ke dalam tas ransel dan memberikan tas ranselnya berisi perbekalan itu kepada Rigel. "Di dalamnya sudah ada makanan sama minuman serta obat-obatan dan s*****a yang diperlukan. Kau harus bisa mengaturnya, karena perjalanan kita cukup memakan waktu." "Apakah jauh?" tanya Rigel, teringat ucapan Joanna kemarin kalau hari ini mereka akan ke pusat kota untuk mencari persediaan makanan dan s*****a untuk bekal nanti ketika memulai pencarian chip. Rigel pikir di dunia game mereka tidak membutuhkan makan dan minum. Namun, ternyata kehidupan di sini sama persis seperti kehidupannya di dunia nyata. Tampak sama dan normal, hanya saja situasi dan keadaan yang berbeda. Rigel seakan melintasi dunia paralel, menyebrang ke masa depan. Di mana kehidupan manusia sudah hancur. Bisa dibilang tempat ini seperti baru saja menjadi korban perang dunia atau mungkin pernah kejatuhan bom nuklir. Benar-benar parah, kacau balau seperti kota mati tak berpenghuni. "Jika tersesat, kau bisa menggunakan peta yang kemarin aku buat. Kau sudah menghapalkannya 'kan?" Suara Joanna menyentak Rigel dari lamunan. Rigel spontan mengangguk, mengeluarkan peta dari kantung celananya. Ia mengamati sejenak denah dalam peta, beruntung ia sedikit tahu cara membaca peta karena ia pernah ikut kegiatan pramuka waktu sekolah menengah pertama. "Jangan sampai hilang," kata Joanna, kemudian bergegas keluar dan  masuk ke dalam mobil Jeep Wrangler yang sudah disiapkan olehnya. Rigel ikut masuk, duduk di sebelah Joanna. Mereka saling diam ketika mobil mulai melaju membelah semak-semak di dalam hutan belantara. Joanna tampak fokus mengemudi dan Rigel sibuk melihat ke luar jendela. Pandangannya menyapu pepohonan pinus yang lebat di sepanjang jalan, cukup rimbun sampai menghalangi sinar matahari masuk. Sehingga keadaan sekitar terlihat cukup temaram, membuat pandangannya terbatasi. Perjalanan yang jauh membuat Rigel bosan dan jenuh, ia membuka petanya untuk melihat seberapa jauh lagi perjalanan menuju pusat kota. "Apa tidak ada jalan pintas?" Rigel bersuara setelah melihat peta, yang ternyata perjalanan menuju pusat kota masih cukup jauh. "Ada, tapi terlalu berbahaya," jawab Joanna tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan terjal di depannya. Ia harus fokus, karena jika lengah sedikit saja ban mobilnya bisa selip akibat tanah berlumpur yang dilewatinya. "Berbahaya?" Rigel mengernyit, penasaran bahaya seperti apa yang dimaksud. "Banyak perampok berkeliaran," ucap Joanna, menjawab rasa penasaran Rigel. "Para pemburu juga." "Maksudmu orang-orang seperti waktu itu?" tanya Rigel, teringat akan manusia berbadan besar yang mengepungnya dan nyaris membuatnya mati dalam sekejap. Joanna mengangguk, mengiyakan jawaban Rigel. "Tapi levelnya lebih tinggi dari yang waktu itu dan s*****a yang kita punya tidak cukup ampuh untuk melawan mereka. Alih-alih bisa melewati jalan pintas, yang ada kita bisa mati sia-sia di sana." Rigel mengangguk, mulai paham dengan sistem kerjanya di dunia game ini. "Apa kau sudah punya rencana?" "Rencana?" Joanna membeo, menoleh sekilas pada Rigel yang tampak sibuk menerawang jalanan di depan. "Iya, rencana untuk keluar dari sini." Rigel nampak putus asa. Ia berharap bisa keluar dari sini, tapi mendengar seberapa hebat musuh yang akan mereka hadapi ia langsung ragu, nyalinya seketika menciut, bahkan ia tak yakin bisa keluar dari tempat ini. "Kau tak perlu khawatir, aku sudah menyusun rencananya dengan sangat matang. Asal amunisi kita lengkap, kita bisa menghadapi semua musuh dan menempatkan kembali cip di tempat semestinya. Lalu secara otomatis kita akan keluar dari tempat ini." Kata-kata Joanna terdengar menjanjikan, ditambah ekspresi perempuan itu yang begitu yakin. Setidaknya hal tersebut mampu menjadi secercah harapan untuk Rigel, meski keraguan tetap merongrong dalam benaknya, memintanya untuk menyerah dan pasrah dengan keadaan terkutuk ini. Mungkinkah aku benar-benar akan bisa keluar? Bagaimana jika ternyata tidak? ——————— Perjalanan menuju pusat kota memakan waktu sangat lama, hampir seharian karena saat menjelang petang mobil yang ditumpangi Rigel dan Joanna baru saja melewati perbatasan dan memasuki pusat kota.  Keadaan begitu senyap, gelap dan hanya mengandalkan cahaya dari sisa-sisa matahari yang beranjak pulang ke peraduannya. "Tetap waspada," seru Joanna, memperingatkan Rigel agar jangan sampai lengah. "Kita bisa saja diserang, perhatikan sekitar, jika ada yang mencurigakan segera laporkan." Rigel hanya menganggukkan kepala, matanya menyisir jalanan yang dilewati. Meski keadaan sekitar yang tanpa cahaya, tapi sinar rembulan yang beranjak muncul sedikit membantu pandangan Rigel untuk melihat setiap sisi kota yang dilalui. Gedung-gedung kosong terbengkalai yang sepertinya sudah tak lagi digunakan, terdapat kerusakan di mana-mana dan juga puing-puing bangunan yang berserakan. Seperti kota tua yang telah ditinggalkan oleh para penghuninya. "Kota ini disebut kota mati." Joanna bersuara, memecah keheningan dan menarik atensi Rigel kepadanya. "Tanpa penghuni. Hanya ada beberapa kawanan rampok dan pemburu yang datang ke sini untuk mencari penyintas sepertimu." "Ya?" Rigel menaikkan sebelah alisnya, bingung. Joanna tetap fokus melihat ke depan, kedua tangannya memegang kendali atas stir mobil. "Tugas mereka ialah menangkap kita. Karena sistem mengidentifikasi kita sebagai penyusup dan memerintahkan mereka untuk menangkap kita. Itu kenapa aku memintamu tetap waspada. Ditambah juga para perampok yang menginginkan persenjataan kita, mereka tak kalah berbahaya dari para pemburu. Pergunakan skillmu dengan sebaik-baiknya jika kau ingin tetap hidup." Rigel mengernyit. Walau tak memahami sepenuhnya yang dikatakan oleh Joanna, tapi ia bisa menangkap secara garis besar yang dikatakan perempuan itu. Ia harus bisa bertahan hidup di tempat ini, menggunakan skillnya untuk melawan para musuh yang datang untuk menangkap dirinya. Tapi ada hal mengganjal yang membuat Rigel bertanya-tanya dan sangat penasaran. Lantas ia memberanikan diri bertanya pada Joanna. "Apa sebelumnya juga ada orang seperti aku yang datang ke sini?" mendengar pertanyaan Rigel, sontak Joanna menoleh. "Aku hanya penasaran," kata Rigel ketika sadar Joanna menatapnya dengan aneh. "Hanya untuk memastikan, apa aku orang pertama atau yang kesekian datang ke tempat ini." Joanna mengembuskan napas kasar, mengalihkan pandangan sepenuhnya ke depan. Lalu ia mulai berkata dengan suara serak yang begitu rendah, seakan sulit untuk mengatakan hal tersebut. "Kamu yang kelima," jawabnya kemudian. "What kelima?" Rigel menganga, tak menyangka jika ia menjadi orang kelima yang masuk ke dunia game ini. Jawaban Joanna justru membuat Rigel semakin penasaran akan orang-orang pendahulunya. "Lalu, apa yang terjadi pada mereka? Apa mereka bisa kembali ke dunia nyata?" Hening sesaat. Joanna terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab kembali pertanyaan Rigel mengenai orang-orang sebelum lelaki itu yang gagal ia selamatkan. "Aku gagal menemukan mereka, karena para pemburu lebih dulu mendapatkannya." "What!" Rigel memekik, terperangah mendengar jawaban Joanna yang membuat bulu kuduknya meremang. Ia kembali teringat tragedi saat pertama kali sadar dan mendapati dirinya di kerumuni manusia berbadan besar yang nyaris saja merenggut nyawanya secara bar-bar. "Jangan bilang kalau mereka mat———" "Aku tidak tahu apakah mereka mati atau menjadi tawanan. Tapi yang pasti keberadaan mereka tak lagi terdeteksi, hal itu membuat aku sulit untuk menemukan mereka dan menganggap mereka semua telah gugur," terang Joanna, wajahnya berubah jadi sedih. Rigel menahan napas, memikirkan nasibnya yang mungkin saja akan sama seperti pendahulunya. Pikirannya semakin menerawang jauh, lalu bayangan kedua orangtuanya muncul mengusik pikiran. Rigel menelan ludah, ketakutan tiba-tiba menyergap, merongrong dan membuatnya jadi dilema. Bagaimana jika ternyata pada akhirnya ia gugur? Akankah orangtuanya tahu? "Apa yang kau pikirkan?" Suara Joanna menyentak Rigel dari lamunan singkat. Rigel sontak menoleh, menatap Joanna dengan ekspresi tegang. Hal tersebut jelas membuat perempuan itu kebingungan dan bertanya-tanya. "Why?" Joanna kembali bertanya. Rigel mengembuskan napas kasar, memandang ke luar jendela samping, membiarkan matanya menjelajahi setiap bangunan tua yang tampak mengerikan dengan suasana mencekam di sekitarnya. "Jika aku gugur di sini, apakah jasadku akan kembali ke dunia nyata?" tanya Rigel tanpa mengalihkan pandangannya. "Ya?" Joanna terdiam, tidak fokus setelah mendengar pertanyaan Rigel. Ia sendiri tidak tahu akan hal itu, bahkan pertanyaan itu juga mengganggu pikirannya. Apakah mereka akan menghilang tanpa jejak? Dor! Suara tembakan menyentak keterdiaman keduanya, terutama Joanna yang sempat oleng tidak memperhatikan jalan di depan. Mendengar arah tembakan datang dari belakang, sontak Rigel menoleh ke belakang. Ia melotot ketika melihat mobil Jeep Wrangler lain berada persis di belakang mobil yang ditumpanginya. "s**t!" Joanna mengumpat, setelah melihat mobil tersebut kembali melayangkan tembakan ke arah mobilnya. Beruntung kaca dan bodi mobilnya didesain dengan perlindungan tingkat tinggi, di mana peluru biasa tidak akan bisa menembusnya. "Apa yang harus kita lakukan?" Rigel panik melihat mobil mereka dibombardir sama mobil di belakang. "Jo! Aku tidak mau mati konyol di sini!" teriak Rigel, histeris. "Kau pikir aku mau?" sergah Joanna, sama-sama panik. Pasalnya tak hanya satu mobil yang mengikuti di belakang, dari arah g**g-g**g di samping kanan dan kiri keluar mobil lainnya yang turut membuntuti. Bahkan mobil-mobil tersebut juga melayangkan tembakan ke arah mobilnya. "Lalu kita harus bagaimana?" Rigel pasrah, menyadari jumlah musuh yang malah bertambah banyak. Mustahil sekali mereka bisa melawan dengan persediaan s*****a terbatas. Joanna melihat ke belakang lewat kaca spion di atasnya. Melihat bagaimana agresifnya musuh menembaki mobilnya, tak ada cara lain kecuali kabur atau mati konyol di tangan para pemburu dan Joanna tahu apa yang harus dilakukannya di kondisi terdesak seperti sekarang. "Lemparkan itu ke belakang!" seru Joanna memberikan granat pada Rigel. "What?" Rigel menunjukkan ekspresi tak mau. "Kenapa harus aku?" Tangannya saja gemetaran memegang granat. Walau sebelumnya ia sudah pernah sekali melakukannya, tetap saja Rigel masih takut ketika Joanna kembali menyuruhnya melakukan hal yang sama. "Nggak ada waktu lagi, kalau kau tidak mau mati konyol di tangan mereka. Lemparkan itu sekarang juga!" teriak Joanna, napasnya memburu berpacu dengan waktu. "Cepat Rigel! Kau mau mereka yang melempar granat duluan kepada kita?" Rigel sempat ragu, tapi ketakutan akan mati konyol di tempat ini membuat keberaniannya muncul secara dipaksakan. Rigel menoleh ke belakang, degup jantungnya tak lagi berirama, berpacu di luar kendali sampai ia bisa merasakan setiap degupan merambat sampai ke otaknya dan menekan-nekan pikirannya. Bayangan kehidupan normalnya muncul di dalam sana, wajah orangtuanya dan teman-teman sekolahnya turut menghias menjadi kilas memori di dalam pikirannya saat ini. Kamu bisa Rigel, kamu bisa! Rigel menyugesti dirinya sendiri, memantapkan hati dan langsung beraksi. Ia menggigit ujung granat dan segera melemparkannya ke mobil belakang lewat jendela samping. Namun, di waktu yang bersamaan orang di dalam mobil meluncurkan peluru ke arahnya. "Aaa!" Rigel memekik bersamaan dengan suara dentuman keras di belakang. Asap mengepul membumbung tinggi menutupi daerah itu, dibarengi dengan kobaran api yang melahap mobil-mobil tadi. Joanna yang sempat tegang akhirnya bisa menghela napas lega. Tapi ketika melihat Rigel merintih kesakitan sembari memegangi tangan, ia baru sadar kalau lelaki itu tertembak. "Tangan kamu?" Rigel tak sempat merespon ucapan Joanna, karena kesadarannya seketika menghilang bersamaan dengan tubuhnya yang terkulai lemas. Tentu saja hal itu membuat Joanna panik, mencoba membangunkan Rigel berkali-kali. "Rigel!" "Rigel, bangun!" Tapi sayangnya Rigel sudah tak sadarkan diri dengan darah yang terus mengucur dari lengan kanannya yang terkena tembakan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD