Peta Bersimbol

1507 Words
Semalaman Rigel memikirkan tawaran Joanna. Meski berkali-kali ingin menolak, tapi tawaran Joanna satu-satunya jalan keluar agar ia bisa kembali pulang. Walaupun ia sendiri tahu semua ini terdengar konyol, benar-benar konyol ketika Joanna menjelaskan tentang tempat ini yang ternyata dimensi waktu berbeda dari sebuah game. Jadi bisa dibilang saat ini dirinya berada di dalam kaset game yang kemarin akan ia mainkan. Terdengar tidak masuk akal memang, tapi kenyataannya memang begitu. Semalaman memikirkan, Rigel pun mengingat jika padang savana mirip dengan permainan game over tingkat akhir dari musim pertama. Para kawanan manusia berbadan besar ia temukan saat di level pertama ketika bermain permainan game over. Lalu mobil-mobil tank dan s*****a-s*****a yang kemarin ia lihat, semuanya sama dengan yang sering ia pakai di permainan game over. Pantas saja ia merasa tidak asing akan semua benda-benda itu. Rigel menghela napas panjang dan berat, memejamkan mata sejenak sembari memijit kepalanya yang berdenyut. Terjadi perseteruan antara ego dan logikanya, pikiran dan hati yang juga tak sinkron. Ia benar-benar pusing memilih antara terjebak di sini selamanya atau membahayakan nyawanya sendiri dan berpotensi mati konyol. Setelah merenung lama, akhirnya Rigel mengambil keputusan yang terbilang nekat. Lebih baik ia mati konyol saat menjalankan misi, ketimbang mati konyol hanya berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Seperti seorang pengecut! Toh tetap saja poinnya ia tak akan bisa pergi dari sini tanpa menjalankan misi itu. Rigel tidak mau terjebak seumur hidupnya di dunia aneh, bahkan tak satu pun ia melihat tanda-tanda kehidupan di sini layaknya manusia normal. Rigel masuk ke sebuah ruangan yang dipenuhi rak-rak besar seperti di swalayan. Bedanya rak-rak besar di ruangan ini dipenuhi dengan berbagai jenis s*****a dan amunisi untuk bertahan hidup. Ketimbang persediaan makanan, lebih banyak persediaan s*****a dan obat-obatan. Ia melangkah menghampiri Joanna yang sedang mengecek persediaan s*****a api. Ehem! Rigel berdehem cukup keras, berharap mampu menarik perhatian Joanna. Namun, alih-alih tertarik, Joanna malah tetap fokus pada s*****a di tangannya. Seolah kehadiran Rigel luput dari pantauan, atau memang Joanna sengaja mengabaikannya. Rigel yang merasa diabaikan, lantas memberanikan diri menyentuh bahu Joanna. "Jo," panggilnya, sedikit ragu. Joanna langsung menoleh, barulah ia merespon kehadiran Rigel. "Ada apa?" Rigel menelan ludah, meyakinkan kembali pada dirinya sendiri yang sempat meragu. "Apa tawaran kemarin masih berlaku?" tanyanya, memulai obrolan serius. "Hemm." Joanna hanya bergumam, kembali sibuk mengecek kelayakan s*****a-s*****a di rak. Rigel tak puas akan jawaban Joanna, hal tersebut membuatnya bingung. Apakah Joanna memberinya kesempatan atau hanya sekedar menanggapi. Namun, ketika ia akan bertanya kembali untuk memastikan. Tiba-tiba Joanna memberikan senapan laras panjang sembari berujar, "Kau bisa menggunakannya 'kan?" "Ya?" Rigel cengo, menatap senapan laras panjang yang kini berada di tangannya. M34, senapan laras panjang yang bisa membunuh siapa saja dengan headshot. Mampu menembus perlindungan pada helem level dua, dengan peluru 7,62 sebagai amunisi yang mudah dicari. Tak banyak yang bisa memakai s*****a ini dan cenderung dihindari oleh para pemain karena memiliki daya hentak yang tinggi. Namun, akan sangat berguna untuk menumpas musuh jika mampu mengendalikannya. Joanna memperhatikan Rigel yang tengah mengamati tiap detail dari senapan laras panjang yang ia berikan. Ia tersenyum tipis, lalu berkata, "Kau harus bisa menguasai s*****a itu jika ingin bertahan hidup di sini." Mendengar ucapan Joanna, sontak Rigel mengalihkan pandangan sepenuhnya pada perempuan itu dan dengan polosnya bertanya, "Why?" Joanna menarik sudut bibirnya, bukan senyuman biasa, tapi lebih ke menertawakan pertanyaan Rigel tapi tak ia tunjukkan secara terang-terangan. Joanna memicing, mengamati ekspresi Rigel. Lalu ia mendesah berat, tak banyak berharap ketika mengingat Rigel hanyalah remaja tanggung yang mungkin tidak memikirkan segala sesuatu dengan matang ataupun belajar dari pengalaman. "Kau tak ingat? Kemarin kau nyaris kehilangan nyawa jika aku tak menyelamatkanmu." Joanna mengambil alih senapan laras panjang dari tangan Rigel, kemudian meletakkannya kembali di rak. "Yang kemarin hanya para pemburu level rendah, masih ada pemburu lain yang jauh lebih kuat dari mereka. Dan yang akan kau hadapi bukan sekedar pemburu, tapi musuh dari berbagai golongan." Rigel mengerutkan alis, tak paham akan penjelasan Joanna. "Maksudnya?" Joanna menoleh, tersenyum tipis. "Nanti akan aku jelaskan. Sekarang sebaiknya kita makan, sepertinya perutmu butuh amunisi untuk bertahan hidup." Joanna terkekeh, berlalu meninggalkan Rigel yang terdiam kikuk menahan malu gara-gara perutnya yang berbunyi di waktu yang tak tepat. Namun, Joanna kembali berbalik saat sampai di depan pintu. Mendengkus pelan ketika melihat Rigel masih berdiri di tempatnya. "Kau mau di situ saja?" Suara Joanna menginterupsi, Rigel spontan menoleh lalu memberikan gelengan kepala sebagai jawaban. "Ayo, setelah ini banyak hal yang harus kau pelajari," kata Joanna. Rigel mengangguk, setengah berlari menyusul Joanna keluar dari ruangan. ——————— Rigel makan dalam diam, begitu juga Joanna yang makan sembari memperhatikan sebuah peta yang dibentangkan di atas meja. Sesekali Rigel melirik ke peta tersebut, tapi ia tidak terlalu peduli. Karena otaknya terlalu fokus mengutuk makanan yang sedang ia makan. Sepanjang hidup Rigel, ini adalah momen terparah dan paling mengenaskan. Meski kehidupan sebelumnya ia tak seberuntung teman-temannya yang hidup mewah, tapi ia hidup dengan berkecukupan. Bahkan orangtuanya tak pernah memberinya makanan kaleng, tapi sekarang ia harus bertahan hidup dengan mengonsumsi makanan kaleng yang entah sudah berapa lama karena rasanya tidak enak. Andai Joanna memberinya pilihan, tapi perempuan itu tak memberinya pilihan. Joanna berkata, "Terserah kau mau memakannya atau tidak. Tapi di sini hanya ada makanan seperti itu yang tersedia. Dari pada mati kelaparan, lebih baik kau makan dan berhenti komplen. Aku tak akan memaksa, tapi aku tak akan tahan jika kau banyak bicara." Alhasil Rigel terpaksa memakan makanan kaleng yang tak ada rasa selain bau amis yang menyengat. Karena memang makanan itu sejenis kornet yang hanya dibakar bagian bawah kalengnya oleh Joanna. Awalnya Rigel mau muntah ketika satu suapan kornet itu masuk ke mulutnya, tapi setelah ia memaksa mengunyah dan menelannya. Ia mulai terbiasa sampai menghabiskannya tak bersisa di kaleng. "Aku pikir kau tak suka, tapi sepertinya kau mulai suka?" celetuk Joanna tanpa mengalihkan pandangan dari peta, ketika Rigel meletakkan kaleng makanan yang sudah kosong ke atas meja. Rigel berdehem, lalu menyahut, "Terpaksa, dari pada mati kelaparan." Joanna hanya tersenyum tipis, tetap fokus mengamati peta sembari menghabiskan makanannya. Namun, ketika mendengar langkah kaki Rigel menuju ke rak tempat ia menyimpan makanan. Joanna langsung memperingati Rigel. "Jangan rakus, tak banyak air di sini. Kau hanya boleh minum satu botol setiap harinya." Rigel yang sedang meminum air kemasan langsung tersedak, spontan melotot pada Joanna. "What the hell!" Ia menyeka bibirnya, memicingkan pandangan kepada Joanna. "Kau ingin aku mati dehidrasi? Di sini sangat panas dan kau hanya memberikan aku sebotol air?" Rigel mengembuskan napas kasar, ingin marah tapi ia sadar diri. Di sini Joanna yang lebih berkuasa, perempuan itu punya kuasa atas bahan makanan dan minuman di sini. Joanna menghela napasnya, menolehkan kepala kepada Rigel yang masih berdiri di depan rak. Melihat wajah lelah dan penuh keringat, membuat Joanna tak tega. Tapi melihat persediaan air minum di rak, ia tak punya pilihan lain. Untuk satu orang saja kurang, apalagi harus membaginya bersama Rigel. "Duduklah," suruh Joanna pada akhirnya. Rigel menurut, duduk kembali di kursinya. Namun, ia memalingkan wajah ke samping, enggan melihat Joanna yang saat ini sedang memperhatikan dirinya. "Look at this." Rigel melirik ke peta yang ditunjuk oleh Joanna. Ia menaikkan sebelah alisnya, bingung. Tapi kemudian Joanna menjelaskan tentang setiap detail di peta tersebut. Menyusun rencana apa yang akan mereka lakukan untuk ke depannya. "Kau harus bisa membaca peta, menghapal setiap tempat dan medannya. Kita berpacu dengan waktu, jadi harus bergerak cepat," kata Joanna saat Rigel mengamati lebih seksama setiap tempat yang ada di peta. "Di sini." Joanna menunjuk sebuah lokasi bertuliskan pusat kota. "Kita bisa mendapatkan bahan makanan dan sedikit air mineral. Besok kita bisa ke sana." "Besok?" Rigel mendongak. "Kenapa tidak sekarang saja," ucap Rigel, tak sabaran. "Besok. Sekarang aku harus memastikan sampai mana kemampuanmu untuk bertahan hidup. Karena ketika kita keluar dari sini, aku tak bisa menjagamu. Kau harus menjaga diri sendiri." "Memangnya apa yang akan kita hadapi? Jangan bilang ...?" Rigel tersentak, mengingat orang-orang berbadan besar kemarin. "Bukan hanya mereka, tapi kita juga harus bertarung dengan para perampok kalau ingin mendapatkan makanan," terang Joanna yang mengerti akan keresahan Rigel. Rigel tercengang. Mendengar kata perampok, sontak pikirannya berseliweran membayangkan orang-orang bersenjata tajam yang tak segan-segan untuk menyakiti korbannya. "Lalu, bagaimana selama ini kau bisa mengambil makanan-makanan itu." Rigel melirik ke rak makanan yang persediaannya sudah menipis. "Kau hanya sendirian, bagaimana bisa menghadapi mereka semua?" "Itulah gunanya skill, kau harus bisa membaca sikon dan menggunakan s*****a di tanganmu sebagai tameng pertahanan diri." "Tapi————" "Kau ambil satu," sela Joanna, beranjak dari duduknya dan memberikan satu peta pada Rigel. "Kau pelajari lagi, setelah  menghapalnya kau bisa menyusulku di ruang amunisi." Joanna berlalu meninggalkan Rigel yang tengah mengamati peta di tangannya. Rigel mendesah berat, mengusap kasar wajahnya melihat peta yang susah dihapal. Tapi ia kemudian teringat akan sosok kedua orangtuanya, membuat tekadnya kembali membulat. "Oke, Rigel. Kamu pasti bisa. Ini hanya sebuah peta bersimbol, kau hanya perlu mengingat simbol-simbol dan nama setiap tempatnya," ucap Rigel, menyemangati diri sendiri. Tanpa disadari oleh Rigel, dari balik pintu Joanna tengah memperhatikan. Ia tersenyum tipis melihat semangat Rigel yang berkorban, serta tekadnya yang bulat. Kita pasti bisa keluar dari sini, Rigel. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD