Penyusup

1084 Words
Joanna menyeret tubuh Rigel yang tak sadarkan diri keluar dari ruang penyimpanan obat. Memastikan keadaan sekitar aman dan dua robot yang berjaga di luar pintu masih tergeletak di lantai. Lantas Joanna membawa tubuh Rigel ke sebuah lorong gelap yang dilaluinya tadi, menyandarkan lelaki itu ke dinding. Setelahnya kembali lagi ke ruang penyimpanan untuk mengambil tas troli yang ia tinggalkan di dalam sana. Beruntung saat Joanna kembali keluar, keadaan masih terpantau aman dan kondusif. Ia pun berlari menuju tempat di mana ia meninggalkan Rigel. Joanna menghela napas panjang, lelah, keringat mengucur deras dari dahi dan sekujur tubuhnya. Joanna mengambil botol air dari ransel, menenggaknya sampai habis. Tenggorokan yang terasa kering, kini telah lega. Ia menoleh pada Rigel yang masih belum siuman juga, meski luka di lengannya telah sembuh total. Darah fermentasi yang diminum memberikan efek nyata untuk kesembuhan Rigel, tapi sepertinya lelaki itu belum terbiasa dengan reaksinya. Maaf Rigel. Joanna merasa bersalah pada Rigel, tapi ia tak punya pilihan lain selain melakukan ini semua agar mereka bisa keluar. Walau Joanna sendiri tidak yakin apakah kali ini semuanya akan berjalan lancar dan ia bisa keluar dari dunia game ini, atau tetap terkurung di sini. Joanna menyandarkan punggungnya ke dinding, mengistirahatkan tubuhnya yang begitu lelah sembari menunggu Rigel siuman. Baru saja ia memejamkan mata, suara rintihan menginterupsi. Seketika Joanna membuka matanya kembali, menolehkan kepalanya ke samping. Suara tersebut berasal dari Rigel yang tampaknya mengigau. "Rigel." Joanna menyentuh bahu Rigel, mencoba membangunkannya. "Mama." Joanna terdiam saat Rigel menggumamkan kata mama. Lelaki itu semakin meringkuk memeluk dirinya sendiri. "Ma, Rigel takut. Bawa Rigel pulang, ma, pa. Rigel janji bakal jadi anak penurut." Joanna menghela napas panjang, dadanya terasa sesak mendengar Rigel sampai menangis dalam keadaan tak sadar. Rasa iba menyelinap, membuat Joanna bertekad untuk membantu Rigel agar segera keluar dari sini. "Rigel." "Rigel, bangun." Joanna menggoyangkan bahu Rigel, membangunkannya. "Rigel." Dan usahanya berhasil, lelaki itu mulai membuka matanya perlahan. "Syukurlah, akhirnya kau bangun juga." Joanna sangat lega melihat Rigel telah sadarkan diri. "Arrrgh, kepalaku." Rigel meringis, ketika merasakan kepalanya berdenyut. "Ini, minum dulu." Joanna memberikan sebotol air mineral kepada Rigel. Rigel menerima botol itu dan segera menenggaknya sampai habis. Kali ini Joanna membiarkannya, karena mereka punya persediaan cukup untuk beberapa hari ke depan. "Bagaimana perasaanmu, masih ada yang sakit?" tanya Joanna setelah melihat keadaan Rigel mulai tenang dan tidak meringis ataupun mengerang kesakitan. Rigel menggeleng. "Sudah lebih baik, hanya tadi sedikit agak pusing." Joanna mengambil dua bungkus roti dari dalam tas troli, kemudian memberikan salah satunya pada Rigel. "Kau pasti lapar, makan ini." Rigel menatap bungkusan roti yang disodorkan Joanna. Heran melihatnya, karena setahu ia biasanya Joanna akan memberinya makanan kaleng. Tapi sekarang memberinya roti, roti  dari mana? Perasaan Rigel jadi tak enak, mengingat terakhir kali Joanna memberinya darah fermentasi. Joanna yang mengerti kekhawatiran Rigel pun meraih tangan lelaki itu dan memaksanya menerima roti pemberian darinya. "Cuma roti, aman buat dimakan. Jadi nggak usah khawatir ataupun berpikiran macam-macam." Rigel menatap lama roti yang kini ada di tangannya, masih terlihat ragu. Tapi melihat Joanna juga memakannya dengan lahap, ia pun memberanikan diri untuk membuka bungkusnya. Bau rotinya tercium sudah agak lama, tapi ia masih merasakan aroma vanila dan keju walau tak begitu menyengat. "Apa rotinya tidak kadaluarsa?" tanya Rigel sebelum menggigit rotinya. Joanna mengedikkan kedua bahunya, tak tahu. "Entahlah, lagian kalaupun rotinya kadaluwarsa juga pasti rasanya tak akan seenak ini dan pasti sudah ditumbuhi jamur." Rigel memperhatikan Joanna yang tampak tidak ragu saat memasukkan roti ke dalam mulutnya, memakannya dengan sangat lahap. Lantas, Rigel pun memberanikan diri untuk mengigit ujung rotinya dan ketika potongan roti itu masuk ke mulut. Rigel merasakan nikmat tiada tara, mungkin karena ini makanan normal yang ia makan selama berada di sini. Setelahnya ia tidak ragu lagi, menghabiskan semuanya sampai tak bersisa. Bahkan ia sampai menjilati jari-jarinya yang terdapat sisa-sisa krim vanila dan keju. "Aku bilang apa, rotinya enak, aman buat dikonsumsi. Lain kali jangan jual mahal, karena jika kau menolak aku tak akan membujuk seperti tadi," ucap Joanna, lalu meminum air dari botol mineral. Rigel yang malu karena sempat menolak roti pemberian Joanna, hanya diam tak berani menyahut ataupun membela dirinya. Membiarkan Joanna mengatakan apa pun yang diingkan perempuan itu. "Darahnya bekerja dengan baik, sekarang lenganmu sudah sembuh. Apa kau bisa menggerakkannya?" Joanna merubah topik pembicaraan ketika teringat akan luka Rigel yang telah sembuh dan pulih seperti sediakala. Tidak meninggalkan jejak di atas kulitnya, seakan lengannya tidak pernah terluka oleh peluru. Mendengar penuturan Joanna, sontak Rigel menyingkap kaus bagian lengannya untuk memastikan apakah ucapan Joanna benar. Dan ternyata ucapan perempuan itu memang benar, luka di lengannya sudah sembuh. Bahkan kulitnya kembali mulus, seakan tidak pernah ada luka di sana. Hal tersebut membuat Rigel heran sekaligus bingung, lantas ia mengalihkan pandangannya kepada Joanna untuk bertanya. "Bagaimana bisa?" Rigel meminta penjelasan Joanna. "Tentu saja bisa, bukankah aku sudah pernah bilang kalau darah yang kau minum itu darah fermentasi, hasil dari penelitian yang dikembangkan dan darah itu hanya dimiliki agen biro kontrol." Joanna tersenyum miring. "Dan sepertinya para perampok itu menukarkan para penyintas dengan stok darah tersebut. Lalu hari ini mereka kehilangan semua stok darahnya." "Apa?" Rigel terkejut bukan main. "Jangan bilang kamu mengambil semuanya?" Joanna tersenyum lebar pada Rigel. "Ya, aku mengambil semuanya dari mereka. Jadi kau tak perlu khawatir jika terkena tembakan lagi, karena darah-darah itu akan menyembuhkanmu." Joanna terkekeh geli melihat reaksi Rigel yang nampak syok mendengar pengakuannya. "Jo, apa itu tidak terlalu berbahaya?" Rigel jadi cemas dan was-was. "Why?" Joanna mengernyit, heran. "Kalau kau mengambil semua stok darah mereka, itu artinya kau sedang menggali kuburanmu sendiri, Joanna." Rigel mengusap kasar wajahnya, panik. "Bagaimana jika mereka mengetahui ataupun segera menyadarinya kalau kita yang mengambil semua stok darah mereka? Mereka akan memburu kita, Joanna dan itu artinya kita dalam bahaya sekarang." "Tenang saja, selagi kita bisa keluar dari sini tanpa diketahui, kita akan aman. Toh CCTVnya juga mati, mereka tak akan tahu kalau kita yang mengambil," ucap Joanna begitu tenang. "Bagaimana dengan drone?" Rigel mengingatkan tentang drone yang menangkap basah mereka. "Bukankah mereka telah melihat kita, mustahil kalau drone itu tidak mengidentifikasi wajah kita. Buktinya saja mereka melakukan p*********n terhadap kita, sampai aku terluka," terang Rigel menggebu-gebu. Joanna terdiam, baru terpikirkan. Lantas, ia bergegas beranjak dari duduknya. "Ayo, kita harus segera keluar dari sini." Namun, baru saja Joanna akan menarik tas trolinya, suara dari ujung lorong menyentaknya dengan kasar. Suara nyaring itu membuat Joanna menatap horor ke ujung lorong, begitu juga dengan Rigel yang terkejut saat mendengar teriakan tersebut. "PENYUSUPNYA ADA DI SINI!!!" Dan alarm bahaya pun berbunyi, menandakan Joanna dan Rigel dalam masalah besar. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD