Apakah aku akan mati?

1122 Words
"PENYUSUP ADA DI SINI!!!" Suara keras itu bergema nyaring di lorong gelap. Menyentak Rigel dan Joanna yang langsung terkesiap, panik dan siap siaga mengangkat s*****a. Derap suara langkah kaki, bergemuruh di lantai dan menciptakan suara-suara gema panjang mencekam. Rigel yang baru saja berdiri, spontan menarik diri merapat pada dinding. Ia sengaja berada satu langkah di depan Joanna, seakan melakukan gerakan melindungi. Sudah cukup Rigel terkurung dalam rasa takut dan keraguan yang membelenggu keberaniannya. Kali ini, tak akan ada lagi satu cuil pun keraguan yang ia pertahankan dalam dirinya, meski tahu resiko terburuk bisa saja menyambanginya setiap detik. Namun, tekadnya sekarang sudah bulat, jika Joanna saja bisa setangguh itu melindunginya, lalu kenapa ia harus terpuruk lemah untuk mempertahankan nyawanya sendiri. "Pergilah," suruh Rigel pada Joanna yang berada di belakang punggungnya. Keduanya menatap awas pada ujung lorong yang gelap, di mana derap suara langkah kaki serasa kian mendekati lorong ini. "Lalu kamu?" Joanna bertanya, ekspresinya begitu tegang. "Aku akan mengecoh mereka," jawab Rigel mantap. Belajar dari pengalaman sebelumnya, mereka tak bisa bergerak bersama. Paling tidak harus ada salah satu yang menjadi umpan untuk mengalihkan perhatian dan Rigel mengorbankan dirinya sendiri untuk jadi umpan. "Apa kau gila?" Joanna melotot, jelas tidak setuju dengan ide Rigel yang dianggapnya ide paling t***l. "Apa kau ingin mati konyol di tangan mereka? No! Aku tidak akan pergi, kita hadapi mereka bersama." Joanna bersikeras, tapi Rigel juga tetap kekeh dengan pemikirannya. "Jo, sekali ini saja, percayakan semuanya padaku." Rigel memohon, berharap penuh pada Joanna agar memberinya kesempatan dan sebuah kepercayaan. "Aku akan baik-baik saja. Aku bisa berlari dengan gesit, lariku cepat. Dan tugasmu harus menyelamatkan mereka." Rigel mengedikkan dagu menunjuk troli besar berisi makanan curian mereka. "Jangan buat semua pengorbanan kita jadi sia-sia. Seenggaknya salah satu dari kita harus selamat, Jo. Kalau sampai kita sama-sama tertangkap, maka kita tak akan punya kesempatan. Tapi jika kau selamat dan aku harus tertangkap, setidaknya kau akan datang menyelamatkan aku." Kata-kata Rigel memang ada benarnya. Mereka berdua tidak boleh tertangkap, karena saat mereka tertangkap, maka semua pengorbanan dan penantian Joanna selama ini akan berakhir sia-sia. Ia memikirkan matang-matang usulan Rigel, di waktu kian mendesak dan pergerakan musuh semakin dekat, saat itulah Joanna akhirnya menyetujui ide gila Rigel. "Oke, aku akan membawa mereka ke mobil." Mereka yang Joanna maksud ialah isi dalam tas troli di dekat kakinya. "Dan setelah itu, aku akan menyelamatkanmu. Jadi, bertahanlah sebisa mungkin sampai aku kembali." Joanna menekankan ucapannya, meminta dengan sangat agar Rigel tetap hidup. "Oke." Dan Rigel mengiyakan. "Pergilah." Walau terasa berat, Joanna memaksa kakinya berlari sambil menyeret tas troli. Ia menoleh ke belakang, menatap Rigel untuk terakhir kali bersamaan dengan suara peluru yang bergema nyaring di lorong itu. Segerombolan perampok telah mencapai ujung lorong, mereka melangkah memasuki lorong gelap dan memborbardir secara asal ke setiap penjuru. Tak hanya itu, mereka juga menyorotkan senter ke lorong tersebut, memperlihatkan apa yang terdapat di lorong tesebut dan itu membuat pergerakan Rigel tampak oleh mata mereka. "Di sana!" teriak salah seorang anggota perampok, menunjuk ke arah Rigel yang berlarian menghindar. "Tembak!" Dan yang lain berseru keras, memerintahkan setiap anggota untuk menembak tepat ke arah target, yaitu Rigel. Di saat gerombolan perampok itu terkecoh oleh pergerakan Rigel yang berlari berlawanan arah dengan Joanna, Joanna sendiri tengah berjuang menurunkan tas troli besar itu ke bawah dasar lift. Matanya bergerak liar, mengawasi keadaan sekitar. Tampak begitu waspada, takut ada salah satu perampok yang akan memergokinya. Namun, sepertinya semua perampok tengah fokus mengejar Rigel. "Sebelah kiri!" "Dor!" "Ke kanan!" "Dor!" "Tembak terus!" Teriakan-teriakan itu bergema nyaring dalam gedung tua tersebut. Suara para perampok yang menggelegar begitu memekakkan telinga. Meski begitu Rigel tetap memacu kakinya untuk terus berlari menjauh, walaupun tak tentu arah. Asal bisa menghindar dari serangan musuh, itu sudah lebih dari cukup bagi Rigel. "s**t!" Duar!!! Rigel nyaris saja terkena tembakan, jika ia terlambat sedetik saja untuk menghindar maka kepalanya yang akan meledak, bukan tumpukan kardus di sisi lorong. Rasa lelah merongrong Rigel untuk berhenti berlari. Keringat bercucuran dari dahi, serta napas tersenggal-senggal yang seakan menjadi napas terakhirnya. Meski keputusasaan datang berkali-kali menyapa, tapi Rigel tak sekalipun goyah. Ia terus menyugesti dirinya sendiri agar tetap bertahan. "Di ujung sana!" "Kejar!" "Berpencar saja!" Rigel berhasil menemukan tangga darurat, tanpa pikir panjang ia melangkahkan kakinya untuk menaiki tangga besi yang sudah mulai lapuk itu. Tapi sialnya, para perampok itu bisa mengejarnya. Mereka secara membabi buta menembakinya dengan s*****a laras panjang. Rigel tak bisa terus menghindar, kesabarannya telah habis. Ia mengambil pistol yang tadi Joanna berikan padanya untuk berjaga-jaga dan pistol itulah satu tumpuan terakhirnya untuk tetap hidup saat ini. "Yes!" Rigel berseru ketika satu tembakannya berhasil menembus d**a musuh. Melihat salah satu musuh yang nyaris akan menggapainya, tumbang tergeletak tertembus peluru dadi dari pistolnya, membuat semangat Rigel semakin berkobar. Tekad bulatnya berhasil menciptakan keberanian pada diri Rigel. Dengan kelihaian tangan serta pergerakan tubuhnya yang gesit, Rigel mampu menumpas para perampok yang mengejar. "s****n!" umpat Rigel, ketika menyadari perampok lainnya masih mengejar. Meski Rigel berhasil menumbangkan beberapa perampok yang mengejar, seakan mati satu tumbuh seribu. Bukannya berkurang malah semakin banyak dan Rigel mulai kewalahan menghadapi mereka semua. "Ya Tuhan, selamatkan hamba." Rigel berdo'a sungguh-sungguh, tetap memacu langkah kakinya menyusuri anak tangga yang telah rapuh dan bisa kapan saja amblas. "Kejar terus! "Jangan biarkan target lolos!" "Tembak!!!" Suara para perampok bagaikan gema petir yang mengejar, membuat Rigel kian panik dan mempercepat larinya. Beruntung lengannya telah sembuh, bisa dibayangkan akan seperti apa jika lengannya masih terluka. Napas Rigel tersenggal saat ia mencapai ujung tangga teratas. Merasa terpojok dan cukup bodoh. Ya, Rigel merasa sangat bodoh karena berlarian menaiki tangga. Harusnya tadi Rigel menuruni tangga, maka peluang untuk selamat ada. Tapi sekarang. "Tangkap!" "Lari ke atas!" Teriakan dan derap langkah para perampok yang mengejar terdengar semakin mendekat. Tak punya jalan lain untuk menyelamatkan diri, lantas Rigel kembali mengambil keputusan tanpa berpikir dulu. Ia membuka pintu rooftop, berlari kebingungan di atas rooftop yang tampak luas. Langit malam yang cerah mempermudah Rigel untuk melihat ke sekitar. "Areeggh, s**l!" Rigel mengerang frustrasi saat melihat ke sekeliling rooftop. Tak ada apa pun yang bisa dijadikan celah untuk bersembunyi, pelarian Rigel menemukan titik buntu. Di saat Rigel panik memikirkan cara untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba pintu rooftop terbuka, membuat Rigel terlonjak kaget dan panik saat melihat salah satu perompak mincul menodongkan s*****a laras panjang ke arahnya. "Kena kau!" serunya, menatap lurus Rigel dan tangannya bergerak menarik pelatuk. Rigel melotot, kakinya bergerak mundur untuk menghindari peluru. Sayangnya ia berada di tepian atap gedung itu. Meski berhasil menghindari peluru, tapi tubuhnya terpelanting melewati tepian atap gedung. Gaya gravitasi menarik tubuh Rigel dengan cepat ke bawah, matanya terbelalak menatap ke atas langit yang terasa kian jauh dari pandangannya. "Apakah aku akan mati?" Pertanyaan itu terbesit dalam d**a Rigel ketika tubuhnya melayang dari ketinggian gedung tersebut. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD