Dunia Game

1467 Words
Rigel bersiap akan pulang ketika seorang staff panitia penyelenggara memanggil namanya seraya menghampiri ia yang tengah duduk di ruang tunggu. “Rigel.” “Ya?” Rigel mendongak, menatap pria berpakaian rapi yang kini berdiri di hadapannya. “Ada apa Pak?” “Bisa ikut saya sebentar? Pak Julian ingin bertemu denganmu,” kata staff itu. Rigel mengangguk, mengiyakan ajakan staff itu. Meski dalam hati ia bertanya-tanya sekaligus heran. Untuk apa CEO perusahaan Gamma ingin bertemu dengannya? Apakah ada sesuatu, atau ia membuat masalah sampai harus dipanggil? Tapi seingat Rigel, ia tak melakukan kesalahan. Baik sebelum maupun saat pertandingan tadi, ia bermain bersih dan tidak melakukan kecurangan apa pun. Namun, entah kenapa perasaannya jadi tidak enak, ia terus menerka-nerka saking gusarnya. Akan tetapi saat Rigel masuk ke ruangan di mana Pak Julian berada, ia dibuat terkejut sampai tak mampu berkata-kata. Karena ternyata tujuan Pak Julian memanggilnya untuk memberikan sebuah hadiah secara khusus untuknya. “Ini beneran untuk saya Pak?” Rigel masih tak percaya akan pemberian pria berusia tiga puluhan itu. Bagaimana tidak kalau yang diberi adalah DVD game over terbaru series spesial yang bahkan tidak diperjual belikan. Pak Julian bilang kalau game tersebut memang khusus dibuat untuk hadiah bagi pemenang utama kompetisi game over musim pertama. “Tentu saja, kau suka?” tanya pak Julian, meminta pendapat. Rigel sontak mengangguk cepat. “Suka sekali Pak, terima kasih banyak.” Pak Julian tersenyum hangat, mengusap bahu Rigel dengan lembut. “Syukurlah, saya ikut senang kalau kamu menyukai hadiah dari saya. Oh ya, kamu pulang dengan siapa? Bawa kendaraan sendiri?” Rigel kembali mengangguk. “Saya bawa sepeda motor Pak, karena kebetulan rumah saya lumayan jauh dari sini.” “Kalau kamu mau, sekretaris saya bisa mengantarmu pulang dan soal motor biarkan staff saya nanti yang antarkan ke rumahmu,” tawar pak Julian. Rigel sangat berterimakasih atas tawaran baik pak Julian, tapi ia tak ingin merepotkan. Lantas, dengan sopan ia menolak tawaran itu. “Terima kasih Pak, tapi saya bisa pulang sendiri.” “Baiklah, saya tidak akan memaksa. Hati-hati di jalan.” Pak Julian menepuk bahu Rigel, kemudian ia mengambil sesuatu dari saku celananya sebelum membiarkan Rigel undur diri. “Oh ya, ini kartu nama saya. Kamu bisa hubungi saya setelah memainkan game-nya, saya sangat penasaran apakah kamu bisa memenangkan game yang ini.” Pak Julian terkekeh, menyodorkan kartu namanya kepada Rigel. Rigel menerimanya. “Saya akan menghubungi Pak Julian kalau sudah berhasil memenangkan game ini,” ucapnya semangat, dibalas anggukan kepala oleh pak Julian. “Kalau begitu saya pamit pulang Pak, takut kemalaman sampai rumah.” Setelah itu Rigel keluar dari ruangan Pak Julian. Tak berselang lama, seorang staff yang tadi mengantar Rigel masuk ke ruangan. Pria itu menghampiri Julian yang sedang berdiri menatap ke luar dinding kaca, pemandangan kota Jakarta di malam hari memang sangat memanjakan mata. “Pak, apa Bapak yakin ini akan berhasil?” tanya pria itu yang ternyata asisten pribadinya Julian, Randi. “Entahlah,” sahut Julian tanpa mengalihkan pandangannya dari gemerlap lampu-lampu yang menarik perhatiannya. “Kita lihat saja nanti.” Setelah itu tak ada lagi percakapan antara keduanya, masing-masing sibuk dengan pemikiran sendiri seraya memandangi langit malam yang berpadu dengan terangnya malam kota Jakarta.   ----------------------------   Rigel mengembuskan napas kasar, rahangnya mengeras menahan amarah. Ia terlihat kesal, dengan kasar memakai earphone guna menutup akses suara bariton yang terus menyentak gendang telinganya berkali-kali. Rigel tak menyangka jika kepulangannya akan mendapat sambutan tak menyenangkan dari kedua orangtuanya. Bukannya bangga anaknya menjuarai ajang kompetisi bergengsi dan membawa pulang hadiah uang senilai satu milyar yang didedikasikan untuk mereka, orangtua Rigel justru menyemprot Rigel habis-habisan. Bahkan sampai setengah jam berlalu, keduanya masih mengomel, meneriaki Rigel yang mengurung diri di kamar. Rigel tahu kalau keputusannya membolos sekolah demi mengikuti kompetisi game memanglah salah besar. Tapi bukan tanpa alasan ia nekat melakukan hal itu, meski tahu hal seperti ini akan terjadi, kemarahan kedua orangtuanya dan murkanya sang ayah yang memang tidak menyukai jika ia bermain game. Namun, semua itu Rigel lakukan demi orangtuanya, ia tak bisa terus-terusan melihat ibunya didatangi rentenir yang menagih hutang dan melihat sang ayah harus kerja banting tulang sampai larut malam untuk menutupi semua. Meski pada kenyataannya, gaji ayahnya tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, apalagi untuk bayar hutang. Itu kenapa Rigel nekat mengikuti kompetisi, walau ia tahu semua resiko yang akan didapat. Semata-mata semua ia lakukan demi mendapatkan hadiah uang sebesar satu milyar rupiah  yang akan ia berikan pada sang ayah untuk melunasi semua hutangnya, tapi sang ayah tak dapat melihat sisi baiknya dan hanya memandang keburukan Rigel. Kehidupan Rigel sebelumnya tidak semenyedihkan seperti sekarang. Dulu, keluarga mereka masihlah orang berada. Ayahnya seorang pengusaha, ibunya memiliki toko bunga. Tapi karena sebuah pandemi, usahanya jadi gulung tikar dan bangkrut. Ayahnya harus berhutang pada rentenir untuk menggaji dan memeberikan pesangon pada karyawannya dan sang ibu harus menjual toko bunganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolahnya saat masuk ke SMA. Sejak hari itu kehidupan Rigel berubah drastis, belum lagi ayah dan ibunya yang berubah jadi temperamental dan diktator. Mereka terus mencekoki Rigel dengan berbagai aturan,  larangan, dan mengharuskan Rigel belajar, belajar, dan belajar. Rigel yang merasa tertekan dan mulai stress dengan keadaannya, lantas melampiaskannya pada game. Hingga akhirnya ia kecanduan bermain game setiap saat, sampai terkadang lupa waktu. Seperti saat ini, Rigel melampiaskan kemarahannya pada permainan game di ponselnya. Dengan perasaan kesal yang menggebu-gebu, ia membasmi semua musuh yang datang menyerang ke arahnya. Tapi ia mulai bosan memainkan game yang sama, perasaan kesalnya masih bercokol di dalam dada dan ia butuh pelampiasan. Rigel melirik ke sampingnya, menatap bungkusan berisi DVD game yang tadi diberikan oleh pak Julian. Ia yang penasaran akan series spesial dari game over versi terbaru pun langsung mengambil DVD tersebut. Tak perlu waktu lama, ia memasangkannya pada DVD ROM DRIVE dan opening game pun berputar di layar monitor. Namun, ada yang aneh. Ketika opening game tengah diputar, Rigel mendengar suara lain. suara yang begitu bising, seperti suara mesin yang berdengung dan tiba-tiba sebuah cahaya silau muncul dari balik layar monitor. Rigel terpaku, matanya mengerjap berulang kali saat cahaya itu kian terasa dekat. Hingga pada akhirnya cahaya itu menyedot paksa Rigel dengan cepat, membawanya masuk ke dalam dunia lain yang ia sendiri tak tahu dunia seperti apa itu. Dan di sinilah Rigel tersadar, tapi sepertinya sudah terlambat karena saat ini ia tengah dalam bahaya yang bisa saja merenggut nyawanya. “Si-siapa kalian?” tanya Rigel ketakutan, menatap satu per satu pria berbadan besar mirip Hulk yang menodongkan sejata api laras panjang ke arahnya. “Apa yang kalian lakukan?” Tubuh Rigel gemetar, dalam hati ia merapalkan segala macam doa yang ia hapal dan berharap seseorang akan datang menolongnya. Seorang pria yang berdiri paling dekat dengan Rigel, mengedikkan dagunya ke arah Rigel, menginteruksi pria berbadan besar yang berdiri di depannya untuk mengecek Rigel. Pria itu pun langsung melaksanakan perintah itu, menarik paksa tangan Rigel ke belakang. “Hei!” bentak Rigel tak terima, tapi tatapan mengintimidasi dari pria itu membuat nyalinya seketika menciut. “Apa yang kau lakukan?” Ia tak mengerti kenapa pria itu meraba-raba dirinya. “Aku tak membawa apa-apa. Apa kalian seorang polisi? Oh, ayolah. Aku bukan pengedar, aku hanya anak SMA. Kalian tak lihat pakaianku? Aku masih memakai seragam ....” Rigel langsung terdiam saat melihat pakaian yang ia kenakan. Bukan seragam yang Rigel kenakan saat ini, melainkan pakaian serba hitam; Jeans panjang warna hitam, kaus polos lengan pendek warna hitam dibalut dengan jaket kulit bewarna hitam. Padahal seingatnya, ia belum mengganti pakaiannya setelah sampai di rumah. Sadar situasinya semakin aneh, Rigel mendongak untuk memastikan kembali wajah-wajah orang yang tengah mengerumuninya. Mata Rigel menyipit, merasa tidak asing dengan wajah-wajah pria berbadan besar itu dan senjata yang mereka pegang. Rigel mengenalinya, matanya seketika melebar. Tidak mungkin! Rigel ingin menyangkal apa pun yang melintas dalam pikirannya, tapi melihat satu per satu senjata yang mereka pegang memperkuat dugaan yang muncul dalam pikirannya. Shotgun, sniper rifle, Assault Riffle, submachine gun, carbine, pistol, grenade, jelas senjata-senjata itu seperti senjata yang ada dalam permainan game online yang sering ia mainkan. Apa mungkin di dunia nyata ada senjata semacam itu? Sepertinya tidak, kecuali pihak militer yang mungkin memiliki berbagai jenis senjata api seperti itu. Apa aku benar-benar ada di dalam dunia game? Batin Rigel frustrasi. Di tengah kebingungan yang melanda, tiba-tiba pria yang tengah memeriksanya langsung bersuara. “Peretas, apakah kita harus membunuhnya?” tanya pria itu pada pria yang tadi menginteruksinya. Rigel seketika melotot kala mendengar kata terakhir yang dilontarkan. Bunuh? Oh, tidak! Rigel belum mau mati, apalagi mati konyol seperti ini, di tempat antah berantah lagi. Di saat seperti ini, ia tiba-tiba teringat kedua orangtuanya di rumah. Rasa sesal menggerogoti dadanya perlahan, ketakutan kian meronrongrong dalam benaknya. Rigel pasrah, jika memang ini akhir dari kehidupannya. Ayah, ibu, maafkan aku. Maafkan anakmu yang nakal ini, selamat tinggal ayah, ibu. Selamat tinggal semesta!  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD