Undangan Talkshow

1329 Words
"Dita, ada permintaan untuk jadi bintang tamu di acara talkshow di TV sama radio nih, mau diterima apa ditolak? Lumayan kan buat naikin popularitas, mumpung ada gosip panas nih tentang kamu, terima aja gimana?" tanya April pada Dita di ruangan management. "Boleh deh Mbak, tapi jadwalnya Mbak April aja yang atur ya, disesuaikan dengan jadwal tayang talkshownya. Terus aku enggak mesti ngajak Arga kan?" "Nanti aku atur semua, kalau pas jadwalnya Arga kosong, bisa datang berdua tuh. Bakalan banyak yang teriak-teriak lihat Arga, aduh ternyata Mas Arga ganteng banget, Mbak Dita beruntung dapet suami kayak Mas Arga, gitu kayaknya reaksi penonton." April membayangkan keruihan penonton di stuido TV. "Mbak April apa-apan sih. Enggak mungkinlah sampe segitunya penonton di studio. Paling mereka bakalan biasa aja, emang mereka kenal sama aku? Aku kan bukan artis sinetron atau penyanyi yang sering masuk TV." Dita tertawa. "Kamu memang bukan artis sinetron yang bolak balik muncul di layar TV, tapi banyak orang yang kenal kamu kok. Buktinya pihak stasiun TV aja mau ngundang kamu jadi bintang tamu. Kalau kamu sekelas Yuni sih enggak bakalan deh ada stasiun TV yang melirik. Buktinya pas Damar kemarin bikin konfrensi pers, wartawan ama pihak stasiun TV biasa aja tuh." April meyakinkan Dita kalau dia adalah model yang dikenal banyak orang. "Masa sih Mbak? Aku enggak percaya ah. Ya udah pokoknya aku ikut apa kata Mbak April aja deh. Semoga itu yang terbaik ya." Dita merendah. "Ok, setelah pulang dari Singapura aja ya." "Ok, Mbak. Makasih banyak selalu membantu." "Eh, iya, gimana sama Arga? Udah unboxing belum?" Wajah Dita memerah, tetap saja pertanyaan seperti itu akan membuat siapa saja merasa malu. Meskipun mereka belum melakukannya. "Mbak April kepo ih." "Pasti udah, buktinya wajah kamu merah kayak kepiting rebus." "Udah ah, aku mau kerja dulu. Pamit dulu ya Mbak April, jangan lupa jadwalnya dikirim ke email kayak biasa." "Ok. Hati-hati di jalan." Dita berjalan menuju parkiran. Dia mengeluarkan ponsel untuk menelpon Asti. "Iya Mbak?" jawaban panggilan telepon dari Asti. "Kamu di mana?" "Aku di parkiran, Mbak langsung ke sini aja." "Ok. Aku jalan ke parkiran sekarang." Setelah panggilan berakhir, Dita menyimpan ponsel di saku. Ada seseorang yang menepuk pundak Dita. Refleks Dita menoleh, ada Arga yang berdiri di belakangnya. "Kamu mau kemana, Dita? Kok buru-buru banget?" tanya Arga. "Aku ada kerjaan di luar, aku jalan dulu ya, Ga." Arga melihat Damar masuk kantor agensi melalui pintu utama, dengan cepat Arga mendekat dan menarik lengan Dita hingga Dita jatuh dalam pelukannya. "Damar baru masuk tuh, kamu diem dulu di posisi ini sampai dia ke lantai dua, enggak apa-apa kan?" Arga menjelaskan maksudnya memeluk Dita. "Oh, ok. Kalau dari posisi aku sekarang, aku bisa lihat dia naik ke lantai dua." Pandangan Dita mengikuti kemana pun Damar berjalan, setelah Damar menghilang dari pandangannya dia mengurai pelukan Damar. "Maaf ya, aku harus jalan sekarang, takut telat mau pemotretan di luar." Dita pamit pada Arga. "Ok, eh jangan lupa cium tangan suami dulu," kata Arga mengangkat tangan kanannya. Tanpa pikir panjang, Dita segera mencium tangan Arga, kemudian berjalan ke parkiran mencari Asti karena dia harus segera jalan ke lokasi pemotretan. "Mas Arga, dicariin Pak Damar, disuruh ke ruangannya," ucap seorang OB yang diperintah Damar. "Ok, terima kasih Mas. Saya ke ruangan Pak Damar sekarang." Arga berjalan menuju ruangan kerja Damar. Sebelum masuk ruangan dia mengetuk pintu dan Damar menyuruhnya masuk. "Ada apa ya Pak, manggil saya?" tanya Arga masih berdiri di dekat pintu masuk. "Duduk." Arga berjalan menuju kursi di ruangan Damar. Dia duduk tepat di hadapan Damar. Damar menghela napas sebelum berbicara. Arga merasa penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh Damar menunggunya berbicara dengan tenang. "Saya tahu kinerja kamu selama beberapa hari di sini sudah bagus, bahkan lebih bagus jika dibandingkan dengan fotografer lain, tapi kamu juga tetap harus tahu diri." Damar berusaha menahan diri agar tidak marah pada Arga. Dia ingin terlihat berwibawa. "Maksudnya gimana ya, Pak?" tanya Damar sambil menebak arah pembicaraan Damar. Arga pikir Damar sudah tahu jika Arga akan ikut ke Singapura menemani Dita. "Yah, masa enggak paham dengan maksud saya. Kamu kan di sini kerja, jadi fotografer, masa di kantor peluk-pelukan sama model, model terkenal lagi. Tolong jaga reputasi Dita sebagai model. Kamu paham kan maksud saya?" Damar berusaha berbicara sedatar mungkin. "Paham, Pak. Jadi maksud Bapak saya cukup kerja di sini terus enggak boleh deket-deket Dita gitu kan?" "Iya begitulah. Sepertinya kamu sudah paham dengan maksud saya." "Tapi Pak, Dita kan istri saya, masa saya enggak boleh peluk dia? Kan enggak ada masalah sebenarnya, iya kan?" protes Arga. "Akan jadi masalah kalau itu terjadi di kantor dan dilihat orang banyak." "Semua orang sudah tahu kalau Dita istri saya setelah konfrensi pers kemarin. Saya enggak merusak reputasinya Dita dong, karena berita yang beredar tidak merugikan agensi Bapak." Arga membela diri. "Tetap saja ini kantor, peluk-pelukan itu bisa di rumah, enggak harus di kantor. Kantor itu tempat kerja, bukan tempat mesra-mesraan, ingat itu!" "Baik kalau begitu Pak. Saya akan mematuhi apa yang Bapak katakan. Ada lagi yang mau Bapak sampaikan? Mumpung saya masih ada di ruangan ini?" "Itu aja, pokoknya kamu harus jaga sikap di kantor, saya bisa memecat kamu kapan saja kalau tidak bisa jaga sikap dan merusak reputasi Dita ataupun citra perusahaan." "Akan saya ingat semua yang Bapak katakan. Kalau gitu saya permisi dulu, ada kerjaan lagi." *** Malam hari di apartemen Dita. Asti sedang menyiapkan semua barang dan perlengkapan yang akan Dita bawa ke Singapura, sedangkan Dita sedang berbicara dengan Arga di ruang tengah. "Dita, kayaknya Pak Damar enggak tahu kalau aku bakalan nemenin kamu ke Singapura. Tadi dia manggil aku ke ruangannya." "Enggak usah pake kata Pak, panggil Damar aja gitu. Terus gimana?" tanya Dita penasaran. Wajahnya menjadi serius menunggu penjelasan dari Arga. "Kamu harus bisa jaga sikap kalau lagi di kantor, kantor bukan tempat buat mesra-mesraan," ucap Arga sambil menirukan gaya bicara Damar. "Damar bilang gitu? Terus apa lagi? Dia lihat kita pelukan di kantor kan ya?" Dita semakin penasaran dengan apa yang dikatakan Damar pada Arga. "Kamu harus jaga reputasi Dita dan citra agensi." Kali ini Arga tertawa. "Serius dia bilang gitu? Wah, emang gila sih Damar itu. Gaya ngomongnya gimana? Marah atau penuh penekanan gitu enggak?" "Datar sih. Dia berusaha keras menjaga agar enggak sampai emosi gitu. Malah jadi keliatan aneh tau enggak sih." "Aneh kalau Damar enggak marah-marah deh. Kayak bukan dia aja gitu. Damar ada ngancem kamu enggak?" tanya Dita penasaran. "Ada sih, dia bilang kalau aku enggak bisa jaga sikap, aku bakal dipecat." "Serius nih ancamannya Damar, tapi tenang aja, kalau dia tahu kerjaan kamu bagus, dia enggak akan asal pecat kok, karena aku lihat hasil foto kamu lebih bagus dibandingkan fotografer lain yang kerja di agensi." Dita memuji hasil kerja Arga. "Damar juga tadi bilang gitu tuh. Kerjaan saya bagus. Yah kita lihat saja nanti, kalau dia lihat kamu jalan sama aku, reaksinya akan gimana?" "Yang jelas dia pasti marah besar. Biasanya dia gitu, kalau ada sesuatu yang enggak dia suka, pasti dia marah." "Jadi enggak sabar pengen lihat ekspresi marahnya Damar, semoga kamu enggak dipecat ya, Dita." "Enggak akan kok, dia kan tahu aku menghasilkan banyak uang, enggak akan dia pecat aku." "Mudah-mudahan ya. Oh ya, sini HP kamu, mau aku setting roaming intenasionalnya." Arga meminta ponsel Dita. "Enggak perlu kok, ruangannya udah aktif, kan aku sering keluar negeri." "Oh iya aku lupa. Tapi kamu beneran kalau ke luar negeri enggak pakai tiket kelas bisnis? Pelit banget itu si Damar." "Aku berani sumpah demi Allah deh. Enggak pernah, tanya aja sama Asti. Kamar hotel aja dapet yang biasa aja tuh. Aku enggak tahu ya dia ngaturnya gimana, mestinya yah aku dapet perlakukan berbeda dong ya. Tapi ini enggak tuh." "Berarti nanti di Singapura kamu bakalan dapet kamar biasa aja? Terus satu kamar sama Asti?" "Iya, gitu deh pokoknya." "Ya udah nanti aku pesenin kamar hotel yang bagus buat kamu terus kita tukar kamar, aku pakai kamar kamu." "Wah, makasih Arga kamu emang baik banget. Jadi makin enggak sabar pengen lihat ekspresi mukanya Damar pas di Singapura nanti."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD