Arga tiba di tempat Dita dan Asti menunggu. Tidak hanya Dita, Asti juga sudah tertidur sambil menunggu di mobil dalam keadaan menyala, tetapi semua pintu mobil dikunci.
Asti terbangun, meregangkan otot tubuhnya saat mendengar suara ketukan di kaca pintu mobil. Dia menoleh ke asal suara. Arga sudah berada di sana. Buru-buru Asti turun dari mobil.
"Mas Arga udah lama nunggu? Maaf ya, Asti juga ikut ketiduran. Terus pulangnya gimana Mas?" tanya Asti sambil menutup mulut karena menguap.
"Kita pulang ke apartemen saya pakai mobil Dita. Mobil saya dititip di sini dulu. Sini kunci mobilnya, Ti. Kamu duduk di belakang ya," ucap Arga membukakan pintu belakang untuk Asti. Asti ikut merasa berbunga-bunga karena perlakukan Arga, padahal hanya membukakan pintu untuk Asti tetapi dia anggap sebagai sebuah perhatian.
Setelah memastikan Asti duduk dengan baik, Arga melajukan mobil ke apartemennya. Sesekali dia mengajak Asti mengobrol untuk menemani perjalanan malam itu.
"Besok jadwal Dita kemana saja, Ti?" tanya Arga tetap fokus memperhatikan jalan di depannya.
Tidak ada jawaban dari Asti. Di perempatan lampu merah Arga menoleh ke kursi penumpang belakang, tetapi Asti sudah tertidur. Arga hanya bisa merasa kasihan dengan Asti dan Dita yang bekerja hingga malam.
Tidak lama kemudian, mobil yang dikemudikan Arga tiba di parkiran apartemen. Arga turun membangunkan Asti, untuk turun dan mengambil beberapa barang yang dibutuhkan untuk Dita dan Asti.
Kemudian Arga membuka pintu penumpang depan, dia menggendong tubuh Dita yang sedang tertidur lelap.
"Berat badan Dita kok ringan begini, apa dia jarang makan saking sibuknya?" tanya Arga dalam hati.
Asti mengikuti langkah Arga hingga depan unit milik Arga. Arga meminta bantuan Asti untuk membuka pintu. Pintu depan unit Arga menggunakan kode angka.
"Kodenya tanggal lahir Dita ya," kata Arga yang tidak bisa membuka pintu katena menggendong Dita.
"Mas?"
"Ya, kenapa, Ti?"
"Mas Arga cinta banget ya sama Mbak Dita sampai kode unit apartemennya aja pake tanggal lahir Mbak Dita?" tanya Asti merasa penasaran apa yang pernah terjadi antara Dita dan Arga dulu.
"Kenapa? Karena saya pakai tanggal lahir Dita di kode pintu masuk ya? Kalau ditanya cinta apa enggak, jawabannya rahasia. Cepat buka dong," perintah Arga.
Asti menekan angka tanggal lahir Dita di pintu masuk. Benar saja pintu terbuka dan mereka masuk unit. Arga merebahkan tubuh Dita di ranjang.
"Minta tolong bersihkan wajahnya Dita ya, kasian kalau tidur pakai mekap gitu."
"Iya, Mas. Mas Arga perhatian banget sama Mbak Dita, aku jadi pengen."
"Pengen apa Asti?"
"Pengen ada yang perhatian kayak Mas Arga juga. Mas Arga kok baik banget sih sama Mbak Dita, padahal Mbak Dita kayaknya enggak ada perasaan apa-apa sama Mas Arga?"
"Saya memang orangnya baik kok. Eh, becanda deng. Saya baik ke Dita karena dia temen deket saya dulu, ya sudah istirahat dulu aja. Besok harus bangun pagi kan?"
"Iya. Terima kasih banyak Mas Arga."
Arga keluar dari kamar Dita menuju kamarnya sendiri. Di kamar Dita, Asti membersihkan wajah Dita dengan pelan dan hati-hati.
"Mbak Dita tuh beruntung banget kenal sama Mas Arga, orangnya baiknya enggak ketulungan, sayang banget juga sama Mbak Dita. Sayang Mbak Dita enggak menyadari itu semua. Semoga besok-besok Mbak Dita mau membuka hatinya buat Mas Arga.
Pagi harinya Dita terbangun dengan perasaan bingung sudah berada di kamar yang ada di unit apartemen milik Arga. Dia mencoba mengingat kejadian tadi malam, setelah mengatakan akan tidur pada Asti, Dita tertidur dengan lelap setelahnya dia tidak ingat apa-apa lagi. Mungkin karena Dita terlalu lelah menjalani kegiatan kemarin.
"Asti, bangun, sekarang udah jam berapa? Kita harus ke kantor pagi ini."
Asti menggeliat, menoleh pada Dita, dia memberikan senyum terbaik pagi itu untuk Dita.
"Mbak Dita sudah bangun? Mandi dulu ya. Pakaiannya udah aku bawa ke sini, nanti habis mandi langsung dipakai."
"Ok. Kamu siapin semuanya ya."
Dita turun dari ranjang menuju kamar mandi. "Kamu jangan keluar kamar dulu sampai aku selesai mandi, keluarnya bareng aja. Ini perintah, tidak boleh dilanggar."
"Iya Mbak. Emang kenapa kalau aku keluar kamar duluan? Mbak takut aku menggoda Mas Arga?" ucap Asti beranda pada Dita.
"Enggak. Bukan itu kok, aku malu kalau keluar sendirian. Pokoknya kamu harus temenin."
"Ok. Tapi Mbak Dita enggak penasaran siapa yang bawa Mbak Dita sampai ke kamar?"
"Jawabannya sudah pasti Arga, karena siapa lagi yang bisa bawa aku dan kamu ke sini selain dia. Pasti dia gendong aku sampai ke kamar ini, karena itu aku malu."
"Iya juga sih. Ya udah Mbak Dita mandi dulu aja. Asti temenin keluar kamar."
Dita masuk kamar mandi. Asti merapikan barang bawaannya agar tidak ada yang tertinggal di kamar. Dia juga mengeluarkan tas mekap untuk memulas wajah Dita sebelum berangkat ke kantor.
Selesai mandi dan memulas wajah, Dita mengajak Asti keluar kamar. Dita yang merasa malu keluar dari kamar dengan perasaan takut seperti orang yang melakukan sebuah kesalahan.
"Kamu sudah bangun Dita? Gimana tidurnya tadi malam, nyenyak? Sini sarapan dulu. Aku beli bubur di bawah, rasanya enak banget," sapa Arga yang sudah duduk menunggu di meja makan.
Dita berjalan perlahan sambil memperhatikan sekeliling. Ada yang berubah dari apartemen Arga. Keadaannya sekarang sudah berisi beberapa barang seperti sofa, meja dan kursi makan. Lalu dia duduk di meja makan di depan Arga.
"Makasih ya udah bawa aku ke sini sama Asti. Maaf kalau aku ngerepotin kamu. Oh ya apartemen kamu sekarang mulai ada isinya, kapan kamu beli?" ucap Dita dengan wajah bersemu merah karena membayangkan bagaimana Arga menggendongnya tadi malam.
"Iya, pulang dari kantor agensi kemarin aku langsung beli beberapa barang, pesan kitchen set sekalian. Makan dulu yuk, ini bubur buat kamu. Kamu tuh harus ingat makan, aktivitas kamu kayaknya padat banget. Paling enggak sehari harus makan tiga kali. Badan kamu sampai kurus kayak begitu," kata Arga sambil menunjuk ke arah Dita dari atas hingga ke bawah.
"Makasih buat buburnya, aku makan sekarang," ujar Dita sambil membuka penutup tempat bubur. Dia mulai makan dengan perlahan.
"Kayaknya enak itu bubur, buat Asti ada enggak Mas?" tanya Asti yang juga merasa lapar.
"Ada nih. Kamu duduk di sini, makan bareng sekalian," ajak Arga.
Asti berjalan mendekati meja makan, mengambil satu mangkok bubur, membawanya ke ruang tengah.
"Aku makan di sofa aja, enggak enak gangguin orang yang lagi pacaran," ledek Asti pada Dita dan Arga.
"Siapa yang pacaran Asti?" protes Dita dengan mata membulat, meletakkan sendoknya di meja.
"Sudah Dita, biarin aja. Asti mau ngomong apa aja kan terserah dia, kalau kamu enggak ngerasa ya abaikan aja," ucap Arga.
"Asti tuh emang suka nyebelin deh."
"Enggak apa. Kamu lanjut makan aja. Apa perlu aku suapi biar kamu makannya banyak?" kata Arga menawarkan bantuan.
"Aku bisa makan sendiri!" ucap Dita kesal.
Asti merasa senang dibela oleh Arga. Sesekali dia ingin ada yang membelanya saat dia meledek Dita, karena selama ini dia selalu saja salah di mata Dita.
Sarapan pagi selesai, waktunya mereka bertiga untuk berangkat ke kantor agensi bersama dengan mobil milik Dita yang dikendarai oleh Arga. Sampai di kantor sebelum turun dari mobil ada panggilan masuk dari Damar ke ponsel Dita. Segera Dita menerima panggilan itu.
"Pagi Damar, ada apa ya?"
"Segera ke ruangan saya sekarang!" ucap Damar yang lebih terdengar seperti perintah.
"Ada apa sih, pagi-pagi udah marah-marah, enggak baik buat mulai hari dengan marah-marah."
"Cepat ke sini sekarang! Ini soal keikutsertaan kamu ke Singapura."
"Iya aku ke sana sekarang."
Panggilan telepon berakhir. Dita pikir pasti ada sesuatu sehingga Damar menyuruhnya ke ruangan. "Jangan-jangan aku enggak diajak ke Singapura," batin Dita.
Dita bergegas turun dari mobil, lalu berlari meninggalkan Arga dan Asti agar segera tiba di ruangan Damar.
Asti dan Arga hanya bisa saling pandang merasa bingung dengan sikap Dita setelah mendapat telepon dari Damar.