Cahaya lampu kota menerobos masuk dari jendela kaca besar. Di dalam apartemen mewah itu, Celestine berdiri membelakangi pemandangan kota, mengenakan jas kerja berwarna gelap, rambutnya masih tersanggul rapi. Wajahnya tegang. Ia baru saja kembali dari rapat pemegang saham Wijaya Group. Rapat yang berjalan seperti biasa, tetapi setiap senyum, setiap tatapan, adalah medan perang terselubung. Arya duduk di sisi berlawanan meja, dan Aruna... ayahnya... seperti biasa, menjadi singa yang menatap dengan mata penuh amarah tapi bibir tertutup senyum. Celestine tahu. Ia bisa membaui ancaman bahkan sebelum diletakkan di atas piring perak. “Kau membiarkan kelemahanmu menempel di tubuhmu sendiri, Celestine.” Ucapan Aruna bergaung di telinganya, meski pria itu tidak pernah mengangkat suara. “Aku menga

