Mata polos Nana yang bundar besar berwarna hitam jernih, beradu tatap dengan pembantu Rheo, Bi Satiah namanya. Seorang janda anak lima yang sudah bekerja di rumah megah bagai istana itu selama hampir tiga tahun.
“Mama ….”
Bocah berumur dua tahun itu melangkah mundur ke arah Cindra, sambil menarik-narik ujung bajunya.
Melihat respon Nana terhadap senyum ramah Bi Satiah, itu membuat kening Rheo berkerut dalam. “Kenapa dia?”
Cindra pun menghela napas sambil meraih Nana untuk menggendongnya. “Kan, udah saya bilang sebelumnya, Pak. Nana itu kalo ketemu sama orang baru ya, malu-malu," tekan Cindra meyakinkan.
“Jadi dia gak menganggap saya orang, gitu?”
Hah? Kenapa kesimpulannya jadi seperti itu?
Kali ini giliran wajah Cindra yang mengerut. Keheranan dengan tempramental dosennya sendiri.
Meskipun pertanyaan Rheo termasuk wajar. Pasalnya Nana kan, sangat hyperaktif terhadap Rheo. Sok akrab seolah mereka sudah kenal sejak dulu. Seolah-olah Rheo memang ayah kandung dari balita itu.
“Saya juga kurang tau, Pak.” Cindra akhirnya menjawab singkat.
Malahan, sebenarnya Cindra adalah orang yang paling penasaran kenapa Nana ingin dekat-dekat dengan iblis macam dosennya ini.
“Ck.” Rheo pun berdecak ringan. "Nana, gak mau tinggal di sini sama Bi Satiah?"
"Ndak mau!" Nana menggeleng cepat. Pelukannya terhadap leher Cindra semakin mengerat.
Rheo jadi bingung sendiri kalau seperti ini. Membawa Nana ke sana hanya akan membuat Cindra tidak fokus saja. Itu pikirnya. Sedangkan Cindra mengira kalau bagi Rheo, Nana hanya gumpalan daging yang harus disingkirkan.
"Ini anak manja banget," celetuk Rheo asal bunyi.
Mata Cindra melotot ke arah dosen galaknya itu. "Pak, Nana baru dua tahun, ya. Jadi wajar aja dia takut sama orang. Justru yang aneh itu, dia gak takut sama Bapak yang seperti—"
"Yang seperti apa?"
Gawat. Cindra hampir saja keceplosan menghina dosennya sendiri dengan sebutan setan.
"Yang … kaya dan dan tampan!" Cindra terpaksa memasang senyuman palsu. Ia lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan dari pada kena murka Rheo.
Keheningan yang Rheo ciptakan membuat Cindra semakin gugup.
"P-pantes aja Nana gak nganggap Bapak orang. Mungkin karena terlalu tampan jadi kaya malaikat gitu. Iya gak, Nana?" Cindra mulai mencari pembelaan.
Nana yang diajak membahas tentang Rheo pun segera menampilkan senyuman cerianya lagi.
"Papa mayaikat!" Sekarang, Nana akhirnya punya julukan baru untuk Rheo.
"Pinter banget ngomongnya." Dosen kejam berhati batu itu malah merespon dengan sindiran. Mata dingin Rheo menatap Cindra tajam.
Sangat jelas sampai-sampai Cindra merasakan tulang-tulang di dalam tubuhnya diremukkan oleh laser tak kasat mata milik dosen galaknya ini.
"G-gini aja gimana, Pak?"
"Apa?"
"Nana kan, gak mau ditinggal di sini sendirian sama Bi … Satiah?"
Wanita paruh baya di samping Rheo itu mengangguk dan tersenyum ramah. Ia membenarkan nama yang Cindra tadi sebutkan.
"Nah, gimana kalo Bibi ikut aja sama kami? Bibi nanti jaga Nana pas saya sama Pak Rheo bahas soal penelitian buat skripsi saya."
Cindra menepuk punggung Nana.
"Gimana, Sayang? Kamu pasti mau, kan? Nana pinter dititipin sama Bi Satiah dulu nanti, ya?"
"Bibi punya banyak permen lho, Neng!" Bi Satiah ikut membujuk balita itu.
Seolah dihipnotis, Nana pun mengangguk patuh. "Otey, Mama!"
"Anak pinter." Cindra mencium pipi Nana gemas.
Dapat Cindra lihat dari sudut matanya kalau Rheo mengernyit melihat pemandangan tadi. Tatapan dosennya itu tampak aneh. Memangnya ada yang salah?
“Baiklah kalau itu keputusannya. Saya setuju saja. Kalau begitu kalian tunggu di luar sana. Saya mau mengambil sesuatu dulu di kamar." Rheo langsung melenggang pergi ke arah tangga.
Cindra mencibir melihat itu. Nada bicara Rheo bagai perintah yang tak dapat dibantah. Apa di kehidupan sebelumnya makhluk itu adalah raja iblis? Atau salah satu dari kaisar besar Cina? Cindra mulai berfantasi ria.
“Mari Non, kita tunggu di depan.” Bi Satiah berhasil membuyarkan lamunan sesat Cindra.
“Ehh iya, Bi."
Wanita paruh baya dengan kerutan pada wajah yang mulai bermunculan itu mengajak Cindra dan Nana menunggu di taman yang ada di halaman depan rumah Rheo yang sudah seperti taman sejarah.
Bagaimana tidak Cindra mengatakan demikian? Ada kolam dengan air mancur di beberapa bagian taman nan luas ini. Kolam-kolam itu memiliki ukiran indah dengan patung Dewa dan Dewi Yunani seolah tengah menari-nari.
Ada beberapa batu besar yang memiliki bahasa sanskerta dan bahasa Yunani kuno. Bahkan ada beberapa patung Dewa dan Dewi Mesir yang dipajang sedemikian rupa bersamaan dengan bunga-bunga.
“Gila.”
Cindra menurunkan Nana, membiarkan balita itu bermain di tepi kolam air mancur dengan semen setinggi perut bocah itu.
“Ma! Ini ikan!”
“Iya, itu ada ikan di dalamnya.” Cindra mencoba menebak kira-kira harga ikan-ikan di dalam sana. Mungkin setara dengan satu mobil?
“Ikan lenang–lenang!” Nana menunjuk ke dalam kolam, ia kegirangan melihat warna-warni dari ikan-ikan tersebut.
Cindra jadi tersenyum lembut. Perempuan ini berjongkok di samping Nana sambil mengelus sayang kepala si balita.
“Iya, ikan itu berenang.”
“Ikan uning, Ma! Ikan melah! Ikan bilu! Hahaha! Anyak ikan!”
Bi Satiah terkesima melihat kecerdasan Nana. “Wah, Non. Umur dia beneran baru dua tahun?”
“Haha. Iya, Bi. Nana emang cepet banget belajar. Dia selalu penasaran sama benda atau hewan di sekitar yang menarik di mata dia.”
Untunglah Nana tidak tertarik dengan patung–patung di sini.
“Ya ampun, pinter banget. Ngomongnya juga udah jelas dan lancar.”
“Iya, kan? Saya juga bangga sama Nana.”
“Anak-anak Bibi aja gak ada yang kaya gini waktu mereka seumuran Neng Nana. Non emang ibu yang hebat! Mana masih muda banget lagi. Bibi salut lho, liatnya. Soalnya kan, jadi ibu itu berat banget. Apalagi di umur Non yang muda gini. Biasanya juga para ibu muda apalagi anak pertama itu, labil banget! Bikin pusing liat mereka ngurus anak, tapi ngeliat Neng Nana ini, Bibi jadi yakin kalau Non itu adalah seorang ibu yang hebat!”
“Makasih, Bi.”
Hati Cindra terasa ditusuk dengan timah panas mendengar itu. Fakta bahwa dia menyimpan rahasia besar di balik kelahiran Nana membuat napasnya terasa sesak untuk sesaat.
Cindra sendiri tidak dapat menyangkal bahwa kelahiran Nana adalah sebuah tragedi. Awal manis yang berakhir tragis.
“Ma!”
Cindra terkesiap. Lagi–lagi ia melamun tidak berguna seperti ini.
“Nana mau ikan ini!”
Baik itu Cindra atau pun Bi Satiah, mata keduanya terbelalak lebar ketika melihat Nana sudah berhasil menangkap satu ekor Ikan Koi hanya dengan tangan kosong.
“Waaa, Nana! Lepasin ikannya! Jangan ditangkap kaya gitu!”
“Eh, eh, eh! Sini Neng Nana, kasih sama Bibi ya, ikannya!”
Nana cemberut. Balita itu dengan cepat memeluk ikan tadi meski bajunya jadi basah. “Nda mau! Ini ikan Nana!”
Wajah Cindra sudah pucat pasi. Sejak kapan balita yang satu ini jadi keras kepala? Dan juga, memangnya Ikan Koi itu mungkin ditangkap oleh Nana dengan tangan kosong? Bagaimana bisa?
“Nana ….” Cindra mengulurkan tangan, mencoba mendekati Nana yang melangkah mundur menghindarinya.
“Nanti ikannya sakit kalo gak Nana taroh lagi ke kolam. Ikan itu hidup di air.”
“Bener kata Mamanya Neng Nana. Nanti ikannya mati kalo d-dipeluk kaya gitu.”
“Sini yuk, kasih Mama ikannya.”
Ikan di dalam pelukan Nana mulai bergeliut, berusaha berontak dari balita itu.
“Nana mau ikan, Maa …,” rengek Nana. Matanya sudah berkaca-kaca.
“Iya-iya. Nanti kita beli ikan—"
“Nda! Nana maunya ikan yang ini!”
Bahaya kalau Ikan Koi itu mati di tangan Nana. Bisa-bisa Cindra harus menggadaikan kepalanya pada Rheo.
“Bayar.”
Suara dingin Rheo dari arah belakang seolah mampu menusuk jantung Cindra. Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara. Ada sosok pria berwajah angkuh yang tengah menatap orang seperti melihat sampah.
“Bayal?”
Hanya Nana saja yang berani menatap sepasang mata elang Rheo tanpa rasa takut.
“Iya, bayar. Harga ikan itu mahal.” Rheo melangkah melewati Cindra dan Bi Satiah. Ia berjongkok tepat di hadapan Nana dengan tangan kanan yang menadah.
“Bayal ake uang, Pa?”
“Benar. Bayarnya pake uang. Dan saya maunya uang kamu. Mana sini uangnya?”
Nana yang memang cerdas, cukup paham perihal transaksi tentang benda kertas bernama uang itu. Nana tahu dari memerhatikan Cindra yang memberikan uang pada para penjual makanan atau mainan yang lewat di depan rumah mereka.
“Capi Nana nda unya uang, Pa.”
Rheo tampaknya sudah lelah menyangkal gelar ‘Papa’ yang balita itu paksa sematkan kepadanya. Jadi ia memilih untuk membiarkannya saja.
“Kalo gak bayar, itu namanya mencuri.”
“Menculi?” Nana tampak tidak mengerti.
"Mencuri itu perbuatan jahat. Kaya penyihir. Nana mau jadi penyihir? Penyihir itu jelek, lho.”
Nana ingat kalau mamanya sering membacakan buku dongeng untuk menemani ia tidur. Ada tentang para penyihir yang senang menyakiti putri. Penyihir yang selalu digambarkan sebagai nenek-nenek buruk rupa.
“Nana nda mau jadi penyihil ahat, Pa!”
Rheo pun mengangguk untuk menanggapi. “Oke. Bakal saya kabulin.”
Dosen yang terkenal kejam dan galak ini berhasil melepaskan pelukan erat Nana terhadap Ikan Koi yang cukup besar itu dan meletakkan ikan malang tadi kembali ke dalam kolam.
“Nana mau jadi Tuan Putri, nggak?”
“Mau, Pa!”
“Sini, saya kasih mantra ajaib.” Rheo menyemprotkan hand sanitizer pada kedua telapak tangan Nana. Ia lalu mengeringkannya dengan tisu khusus secara telaten. Rheo juga menggosok tisu pada bagian yang basah karena ikan di pakaian sampai ke wajah Nana.
Melihat itu, entah kenapa hati Cindra terasa menghangat. Jantungnya jadi berdebar tidak karuan tanpa alasan yang jelas.
Apa sebenarnya Rheo tidak sekejam yang ia lihat dan dengar selama ini?
Namun, semua prasangka baik tadi pupus ketika Rheo berdiri dan menatap Cindra tajam.
“Kamu bisa jadi ibu nggak, sih?”
Dosen galak di hadapan Cindra ini memang manusia paling menyebalkan yang pernah ditemuinya. Cindra yakin wanita yang akan menjadi istri Rheo nanti adalah wanita paling sial di dunia ini.