Percikan Api

1455 Words
Setelah melakukan adu mulut antara Cindra dan Rheo yang membuat sang sopir dan Bi Satiah seperti berada di ruang persidangan, kini akhirnya mereka semua sampai di SMA yang dimaksud oleh dosen galak itu. "Saya udah kasih tau kepala sekolahnya tadi. Kita langsung jalan-jalan aja." "Ngeliat-liat bangunan sekolahnya, Pak?" Rheo menoleh, tatapannya pada Cindra sangat sinis. Ia seolah mengatakan: Kalau sudah jelas, jangan ditanya. "Yang pasti bukan buat ngeliat muka kamu." Sungguh demi tujuh lapisan langit, dosen bernama Theo Ananda memiliki bakat membuat orang naik pitam sampai tujuh generasi. Cindra membatin, mengumpat di dalam hati. Ingin sekali ia melayangkan tinju pada wajah sok tampan Rheo. Bahkan tangannya sudah mengepal dengan mulut yang mencibir secara samar. "Kamu kesel sama saya? Saya lebih jengkel dari pada kamu." Cindra menoleh dengan mata melotot. Seolah menuduh Rheo kalau dosen galaknya ini memiliki kekuatan untuk membaca pikiran orang lain. "Muka kamu jelas banget kesal sama saya. Pasti kamu mau bunuh saya sekarang, kan?" Cindra meneguk ludah, lalu menggeleng cepat. Ia langsung memasang wajah sok manis. Tersenyum lebar menampakkan sederet gigi putihnya. "Enggak, kok, Pak!" elak Cindra sebisa mungkin menyembunyikan aura membunuhnya terhadap Rheo. "Gak usah bohong di depan saya. Suara hati kamu itu terlalu besar," cecar Rheo memutar mata malas. Cindra tentu saja tidak terima. Ia ingin mengelak lagi, tapi tidak jadi karena Rheo mempercepat langkah kaki. "Perhatiin tiap ruangan yang kita lewatin. Ada keterangan di pintunya. Awas aja kalo kamu nanya-nanya lagi." Bahkan Rheo sampai mengalihkan pembicaraan lagi secara sepihak. Cindra yakin di mata pria itu, dirinya hanyalah seekor anak ayam bodoh tanpa induknya. "Denger, gak?" "I-iya, Pak." Cindra tahu bahwa Rheo adalah sosok manusia dengan aliran yang menentang orang banyak tanya. Di mata mereka, itu terlihat seperti orang yang malas berpikir. Perempuan berambut cokelat madu yang sedikit ikal itu pun menoleh ke belakang, di sana ada Bi Satiah yang mengekori mereka sambil menjaga Nana di saat mereka sibuk dengan risetnya. Nana mau-mau saja ikut Bi Satiah selama ada makanan di tangan. Dasar balita yang satu itu. Mudah sekali dibujuk. Pasti penculik pun tidak akan kesulitan untuk menculik Nana. "Hei!" Teguran Rheo membuat Cindra tersentak. Jantungnya seolah bisa meledak. Ditambah lagi tangan kekar Rheo yang melingkar indah di pinggang dan satu lagi mendekap bahunya erat. Tadi Rheo menarik Cindra ke dalam pelukannya, karena ada beberapa bocah SMA yang berlari-lari di koridor dengan sangat tidak hati-hati, dan hampir saja terjadi dan tabrakan antara Cindra dengan beberapa siswa SMA itu. Kalau tidak diselamatkan oleh Rheo, pasti saat ini Cindra sudah terjungkal dan jungkir balik ke bawah selasar dengan sangat tidak estetik. "Kamu jalan jangan ngadep belakang, bisa? Kamu itu bukan robot yang punya mata atau sensor di belakang!" bentak Rheo saat melepaskan dekapannya setelah menoyor kening Cindra kasar. Cindra mengerjap beberapa kali. Isi kepalanya dipenuhi oleh aroma maskulin Rheo yang menyeruak sampai ke sel-sel darahnya. Aroma peppermint yang sangat khas. Jantung Cindra tidak bisa berhenti untuk berdetak lebih kencang lagi. Wajah perempuan itu pasti sudah semerah apel sekarang. "Kenapa kamu diam gitu?" "M-maaf, Pak. Saya tadi cuman mau ngecek Nana." Kenapa Cindra jadi gagap dan gugup begini coba? Ini kan, bukan sesi tanya jawab ketika kelas sedang berlangsung. "Bi Satiah." Rheo memanggil dengan suara dinginnya yang khas. Maka, wanita paruh baya di belakang sana tergopoh-gopoh menghampiri mereka. "Jangan jalan jauh-jauh dari kami." Mata tajam Rheo jatuh ke bawah. Menatap makhluk kecil dalam gendongan Bi Satiah yang tengah mengemut permen lolipopnya. "Pastiin dia aman biar ini ibu muda di samping saya inj gak cemas lagi." Rheo menambahkan sambil menunjuk kepala Cindra. "Kita lanjut jalan. Kamu gak usah khawatir sama Nana." Rheo kembali menggerakkan langkah kakinya. "Iya, Pak." Cindra benar-benar tidak bisa melawan dosen galak yang memiliki aura bagai kaisar ini. Dalam perjalanan itu, Cindra sama sekali tidak berniat untuk memulai obrolan lagi. Ia hanya melihat ke sekitar sambil sesekali mengecek keadaan Nana yang berjalan di samping mereka karena tiba-tiba tidak mau digendong. Cindra juga masih merasa dongkol saat mengingat kata-kata kejam dari mulut dosen galak itu. Tapi perempuan ini tidak bisa berbuat apa-apa. Apa lagi kalau ingat Rheo adalah orang yang sangat kaya raya. Harga satu ikan yang tadi sangat diinginkan oleh Nana pun rasanya tak mampu ia beli meski harus menjual diri. Besok-besok, Cindra akan lebih berhati-hati saat membawa Nana dan berhadapan dengan dosen ini. Tunggu! Kenapa juga Cindra sampai berpikir harus membawa Nana terus saat bertemu dengan Rheo coba? Ah, dia pasti sudah gila! Cindra menggeleng keras. Berusaha mengusir pikirannya yang mulai aneh. “Mama ... Nana capek.” Paggilan kecil dari pita suara mungil milik Nana berhasil membuyarkan pikiran Cindra. "Oh, Nana udah capek jalannya, ya?" "Iya!" Nana mengangguk lemas. Mata bulatnya menatap Rheo di depan sana dengan pandangan nanar. Seolah sedih karena manusia dingin di sana itu melangkah terlalu cepat dan besar. Membuat Nana kesulitan untuk mengimbangi. "Ya ampun … kasian banget anak Mama yang lucu dan imut ini!" Cindra yang menyadari jika Nana mulai kelelahan, akhirnya berjongkok menatap wajah bulat dihadapannya itu. Wajah Nana terlihat memerah. Sepertinya jalan mereka memang terlalu cepat untuk bisa diikuti oleh bocah dua tahun ini. “Nana capek, ya? Sini Mama gendong.” Rheo pun jadi harus ikut menghentikan langkah, pria berwajah datar itu menatap Cindra dan Nana dengan pandangan yang tidak dapat didefinisikan apa artinya. "Pak, kita bisa jalan sambil gini, gak? Nana capek jalan katanya." Tidak ada jawaban dari Rheo karena dosen galak yang satu itu hanya menatap Nana, bukannya Cindra. "Kamu bisa nyatat sambil gendong anak?" sindir Rheo pada akhirnya kembali kesetelan awal. Sesosok manusia tanpa hati. "Tapi kan, Pak—" "Mau lulus atau nggak kamu ini?" Sialan! Rheo selalu bisa menyerang Cindra dengan telak. "Nana Tama Bibi aja Maa." Pada akhirnya, malah anak kecil berumur dua tahun yang harus mengalah di antara dua orang keras kepala itu. "Ya bagus, Nana. Jangan repotin Mama kamu terus. Sama Bi Satiah juga bisa gendongnya," ujar Rheo merespon dingin. Demi Tuhan! Cindra berusaha mati-matian menahan gejolak amarah yang meronta-ronta di dadanya. Ada kalanya ia ingin sekali memaki dosen ini dengan kata-kata yang sama kasarnya, tapi mengingat masa depannya bergantung pada Rheo, itu membuat Cindra hanya bisa menelan ludah. "Nitip Nana lagi ya, Bi." Cindra menyerahkan Nana pada Bi Satiah. Tapi perempuan berambut cokelat madu dengan mata hazelnut itu tidak puas. Ia ingin menyerang Rheo barang sedikit saja. Sebagai manusia, Rheo itu sama sekali tak mempunyai rasa perikemanusiaan. Untung saja ia diberkati dengan wajah yang tampan, kaya, dan otak yang jenius. Memang ya, Tuhan itu selalu adil. Di balik kesempurnaan seseorang, pasti ada kelemahan yang membedakannya dengan malaikat. Maka dari itu, Cindra ingin memberikan hantaman pada manusia berhati dingin tersebut. “Nana, maafin Mama, ya. Gara-gara Mama, kamu jadi capek. Padahal Mama bisa aja jalan pelan-pelan, tapi nggak tahu gimana Mama malah jalannya terlalu cepat.” Sengaja Cindra menyindir Rheo yang tetap tak mau memperlambat jalannya meski ada anak berusia dua tahun yang ingin berjalan dengan kakinya sendiri tadi. "Nana maapin Mama!" Balita lucu itu malah berseru dengan polos. Membuat Rheo yang tersindir di sebelah sana jadi semakin buruk tampang wajahnya. Melihat itu, Cindra jadi semakin ingin menambah serangan terhadapnya Rheo. "Soalnya Mama tadi ngikutin aja, sih. Ada seseorang yang jalannya besaarrr banget! Langkah kakinya panjang-panjang dan lebar-lebar! Kaya raksasa!" Nana tertawa melihat tingkah lucu Cindra yang berujar dengan suara menirukan raksasa. Tidak tahan disindir terus, Rheo melanjutkan jalannya dan segera diikuti oleh Cindra bersama Bi Satiah yang menggendong Nanan di belakang. Ada beberapa menit dalam keheningan dan itu membuat Cindra merinding sendiri, karena ia bisa merasakan aura membunuh sang dosen galak di sampingnya ini. "A-anu … Pak—" “Jadi, kamu tadi nyalahin saya gitu?” serang Rheo mendadak. Alisnya bertaut di tengah, dahinya juga terlihat mengerut tanda tak percaya dengan apa yang diucapkan mahasiswinya tadi. “Eh, kok, Bapak yang kesindir? Saya mah nggak ngomongin Bapak kok. Iya, kan, Na?” Cindra berkelit. Ia sampai menoleh ke belakang untuk mencari pembelaan. "Iya, Ma!" Nana yang ditanya malah mengangguk seolah sudah diatur sebelumnya. Padahal bocah itu sama sekali tak mengerti apa yang sedang diperdebatkan oleh kedua orang dewasa itu. Melihat pemandangan langka ini, Bi Satiah berusaha menahan tawanya. Sudah sangat jarang melihat Rheo berdebat seperti ini, bahkan hampir setiap hari wajah majikannya itu tak memiliki ekspresi apa pun. Meski kali ini bukan ekspresi yang menyenangkan, baginya sudah lebih dari cukup. Itu tandanya Rheo masih memiliki perasaan. Sedangkan Rheo sendiri, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh manusia tampramen yang satu itu. Tanpa disadari oleh Cindra atau siapa pun orang yang ada di sana, Rheo tengah mati-matian untuk menahan sesuatu yang bergejolak di dalam dadanya. Gumpalan daging yang berdetak lebih cepat dari pada kereta api listrik sekali pun. Sesuatu itu terus mengamuk sedari tadi. Seolah dapat meledak pada detik itu juga. Rheo berusaha mengelak fakta bahwa jantungnya berdebar karena seseorang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD