7. Lamaran yang Terulang

1608 Words
“Ma, Ibu lihat-lihat, kamu sama Rendra kaya enggak ada kenaikan hubungan. Bukannya waktu itu kamu ngomong kayaknya cocok?” Sudah kuduga, cepat atau lambat Ibu akan me-notice ini. Memang benar, sejak ajakan makan malam yang kutolak itu, aku belum mengiyakan lagi ajakan yang lain. Kecuali saat antar ke stasiun, tentu saja. Selebihnya, benar-benar belum ada lagi. Mas Rendra pun sepertinya sadar kalau aku menjauh. Namun herannya, dia masih saja berusaha mengajakku keluar. Harusnya dia paham kalau aku sedang menolaknya secara perlahan. Tunggu! Apa karena dia merasa belum mendapatkan targetnya, jadi dia akan mengejarku sampai dapat? Kira-kira, harus dengan cara apa agar aku bisa benar-benar memutus hubungan kami? Apa aku harus memergokinya selingkuh? Ah, soal selingkuh ini tidak bisa kujadikan alasan. Lagi-lagi karena kami belum ada hubungan. Namun, jika suatu saat aku melihatnya dengan Valen, tidak ada salahnya aku mengambil gambar untuk bukti kalau dia sudah ada perempuan lain selain diriku. Dari situ, aku bisa menekannya untuk mundur. Ya, semoga saja aku mendapat kesempatan untuk memergoki mereka. “Salma! Kok malah melamun?” “He? E-eh, enggak, Bu. Sebenarnya aku mulai mikir enggak buru-buru menikah. Pengen fokus internship sama rawat Ayah aja.” “Ayah, kan, udah ada Ibu yang rawat. Kamu mending fokus bangun masa depan aja—" “Tapi bukan berarti harus nikah dalam waktu dekat, kan, Bu? Aku pengen fokus sama karirku dulu.” Ibu menghela napas pelan. “Ibu enggak enak sama Pak Cakra dan Ibu Enti. Mereka udah berharap bisa segera lamar kamu.” “Buat apa, coba, Bu?” “Kok buat apa, sih! Ya jelas-jelas mereka pengen anaknya lekas punya istri. Mereka cocok sama kamu. Kalau ketemu Ibu, muji-muji kamu terus.” Halah! Andai Ibu tahu, mereka begitu karena ingin menipu. Seingatku, setelah obrolan tentang pertunangan mulai dilancarkan, mereka akan menyinggung-nyinggung tentang tanah. Aku ingat sekali bagian ini. Dan aku benar-benar tidak akan membiarkan itu terjadi. “Warung kita butuh modal lebih banyak, Ma …” Mulai! Ibu akhirnya membahas pembahasan inti. Secara tidak langsung, aku ini memang semi ‘dijual’. Bagaimana tidak? Ada banyak tujuan lain dari sekadar menikah dan membangun rumah tangga. Dan rata-rata, tujuan lain itu berhubungan dengan uang. Pokoknya bentuk materi. “Memang, alhamdulillah sekarang warung makin ramai. Tapi tetap aja, profitnya enggak seberapa. Sejauh ini baru cukup buat nutup harga sewa dan kehidupan yang basic. Kita, kan, butuh yang lain-lain juga, to, Ma? Termasuk studimu. Kamu dulu pernah bilang pengen jadi dokter spesialis anak. Ibu pengen cita-citamu terkabul. Dan Ibu yakin Rendra bisa mengabulkan itu.” BIG NO! Yang ada, dia malah menghancurkan hidupku dalam kurun waktu kurang dari lima bulan. Dia benar-benar tak punya hati dan sangat biadab. Aku ingat, di kehidupan sebelumnya, aku menikah bulan april pertengahan. Dan bulan akhir agustus, dia sudah membunuhku. Cekikan itu masih sering masuk ke dalam mimpiku. Membuatku ketakutan dan bangun dalam kondisi keringat bercucuran. “Kamu ini ngelamun terus! Mikirin apa, to, Ma?” “Aku lagi banyak pikiran random, Bu. Bukan tentang nikah aja. Jadi, suka tiba-tiba blank.” Ibu tiba-tiba mendekat dan meraih tanganku. Beliau juga meremasnya pelan. “Ibu tahu, Ibu enggak seharusnya bilang begini. Tapi apa enggak bisa kamu melakukannya demi Ayah dan Ibu? Toh calon yang Ibu pilih juga baik bibit, bebet, dan bobotnya. Anak orang terpandang, tapi engga terlalu jauh sama kita. Rendranya juga udah punya pekerjaan tetap yang bagus. Kamu dokter, dia dosen. Cocok banget. Rumahnya sekalipun beda kabupaten, tapi masih terbilang dekat. Apa enggak mau mempertimbangkan dengan matang, Ma?” Pertimbangan Ibu inilah yang dulu membuatku mau menikah dengan Mas Rendra sekalipun sebetulnya aku belum terlalu yakin. Sekalipun saat itu perasaanku pada Mas Rendra baru secuil, tetapi pemikiran realistis inilah yang membuatku akhirnya setuju. Makanya maret sudah lamaran, april sudah menikah. Kini sudah masuk bulan Maret. Artinya, di kehidupan sebelumnya, semingguan lagi aku akan lamaran dengan Mas Rendra. Namun, kali ini jauh berbeda. Boro-boro mau lamaran, hubungan kami saja masih stuck di tempat. “Ma? Ya Allah! Kamu ini ngelamun terus!” “A-aku pikir-pikir dulu, Bu.” “Oh, iya. Ibu lupa mau bahas ini.” “Bahas apa?” “Itu, Ma … Ibu dan Ayah juga udah setuju kalau tanah warisan eyangmu akan dijual. Pak Cakra siap beli dengan harga tinggi—” “JANGAN!” tolakku keras yang membuat Ibu langsung berjengit kaget. “Kamu ini, lho! Apa perlu sekeras itu ngomongnya? Bikin Ibu kaget aja.” “M-maaf, Bu, maaf. Aku enggak bermasksud bentak Ibu. Ini refleks. Aku enggak mau Ibu jual tanah itu ke Pak Cakra. Belum diiyain, kan?” “Belum, tapi udah nyinggung banyak.” “Please, jangan!” Ini artinya, bagian pertunangan memang gagal. Akan tetapi, pembahasan soal tanah tetap sama. Kok bisa? “Tapi Ibu sama Ayah butuh modal, lho, Ma. Di saat yang sama, ada tawaran masuk juga buat buka warung makan baru. Biar duitnya bisa buat itu juga.” “Ibu boleh jual, sebenarnya. Tapi jangan sama Pak Cakra.” “Kenapa engak boleh sama dia? Dia berani harga tinggi, loh.” “Selain Pak Cakra, udah ada yang nawar?” “Udah, tiga orang.” “Berapa aja?” “Ada yang 2,4 miliar, ada yang 2,5 miliar, dan yang paling tinggi itu 2,55 miliar.” “Ibu pengennya berapa?” “Ibu, sih, pengennya 3 miliar. Soalnya, kan, lumayan luas dan lokasinya juga masih pinggiran kota. Masih masuk kalau buat bangun rumah atau ruko. Dekat juga sama jalan raya.” “3 miliar itu wajib banget?” “Enggak, sih, soalnya agak susah kalau maksa segitu. Tapi paling enggak 2,7 miliarlah. Kalau segitu, akan ibu lepas.” “Lalu Pak Cakra mau beli berapa?” “3,5 miliar.” Aku langsung tertawa mendengar nominalnya. Benar, sekarang aku ingat kalau dulu tanah ibu memang dibeli 3,5 miliar, tetapi zonk. Dulu kami betul-betul tidak pikir panjang dalam memutuskan. Kini, Ibu sedang menatapku bingung. “Kenapa kamu malah ketawa kaya gitu? Apa yang lucu?” “Ya Pak Cakra yang lucu.” “Lucunya?” “Kalau dia menawar 2,6 atau 2,7 miliar, itu masih masuk akal. 0,1 miliar itu seratus ratus juta, lho, Bu. Udah banyak banget selisihnya! Tapi apa? Tiba-tiba banget naik jauh sampai 3,5 miliar? Yang bener aja!” “Dia mau segitu asal kamu sama Rendra menikah.” “Ibu jual aku?” “Ya enggak!” Ibu menatapku tersinggung. “Kamu jahat banget ngomong gitu, Ma.” “Ya lagian Ibu, sih! Apa ibu enggak mencium sesuatu yang aneh? Mana bisa orang naikin harga tanah seenak itu. Kaya-nya Pak Cakra juga kaya yang cuma kaya aja. Bukan yang kaya-raya banget. Bisa-bisanya naikin harga sebanyak itu enggak pakai mikir? Rugi bandarlah dia.” “Jangan hanya fokus ke jual tanah, Ma. Itu sebenarnya bonus. Lebih tepatnya, dia ingin Rendra nikah sama kamu.” Aduh, Ibu ini! Di satu sisi, aku gemas. Namun, di sisi lain aku paham. Ibu kepepet butuh. Nyatanya, dulu aku juga iya-iya saja. Aku tak banyak curiga, padahal kalau diingat lagi, cara mereka mengelabuiku dan kedua orang tuaku juga tak halus-halus amat. Memang saat itu keluargaku sudah terlanjur kacau saja, jadi sangat mudah terharu jika ada yang berniat baik ingin membantu. “Udah dulu, deh, Bu. Nanti aku pikir-pikir lagi. Maaf kalau kalimatku barusan menyinggung Ibu.” “Jangan kelamaan, ya, Ma? Ibu berharap banyak sama kamu. Tolong pikirin matang-matang niat baik Pak Cakra dan Rendra.” “Iya.” Akhirnya, aku bangkit dan meninggalkan Ibu. Aku masuk kamar, lalu tengkurap di atas ranjang. Ini aku harus gimana biar bisa lepas dari keluarga b******k itu? *** Aku terus tersenyum menatap story Risa di Belanda. Dia baru saja upload sebuah taman yang tampak berbunga. Dia bilang musim semi hampir tiba, makanya bunga-bunga mulai bermekaran indah. “Enggak boleh iri, enggak boleh iri.” Aku meletakkan ponsel dengan posisi tengkurap, lalu menelungkupkan kepala di atas meja. Aku juga memejamkan mata, berusaha merelaksasi diri. Saat ini aku sedang berada di salah satu café dekat rumah. Aku sedang menenangkan pikiranku dari desakan orang tua yang ingin aku segera menikah. Di sini, iriku pada Risa bukan yang gimana-gimana. Aku paham, jadi dia juga tidak mudah. Cobaan yang menimpanya juga tidak ringan. Dia dan kakaknya bahkan pernah koma. Iriku di sini lebih kepada aku juga ingin menikah dengan laki-laki yang kucintai. Aku ingin menikah dengan laki-laki yang cintanya lebih besar dariku. Laki-laki yang bisa memperlakukanku dengan tulus. Baiklah, sepertinya itu akan sangat sulit. Rasanya terlalu muluk. Untuk saat ini, dengan kondisiku yang begini, bisa menikah dengan laki-laki yang tidak akan menyakitiku saja sudah syukur. Aku ingin menikah dengan laki-laki yang setidaknya bisa menjamin aku hidup lebih lama. Apa aku bisa? Di kehidupan yang lalu, pada tanggal ini, Mas Gala mengajakku menikah. Ajakan nikah dadakan yang terkesan buru-buru dan sembrono. Hanya lewat telepon pula. Saat itu aku menolak, dan alasan penolakan tidak akan kubahas lagi— karena sebelumnya pernah kubahas. Dan kalau sudah lewat begini, apakah Mas Gala akan tetap mengajakku menikah? Alurnya sudah banyak sekali yang berubah. Aku tidak yakin kedepannya akan bagaimana. Apakah bisa berubah menjadi baik, atau justru menjadi lebih buruk? “Argh!” aku meremas rambutku pelan. Aku baru saja menyesap lagi coklat hangatku ketika tiba-tiba ada panggilan masuk. Mataku langsung mendelik begitu tahu kalau panggilan itu datang dari Mas Gala. Seketika, aku merasa djavu. “I-ini … j-jangan bilang Mas Gala mau …” Aku berdehem pelan, lalu mengangkat panggilan itu. Kini jantungku sudah berdebar kencang sekali. “H-hallo, Mas?” “Iya, hallo. Kamu di mana, Ma?” “Di café. Ada apa?” Terdengar helaan berat di seberang sana. “Aku tahu ini gila, tapi aku sungguh-sungguh mengatakannya. Ma … ayo menikah denganku!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD