8. Telat Sedetik

1919 Words
“Aku tahu ini gila, tapi aku sungguh-sungguh mengatakannya. Ma … ayo menikah denganku!” Detik itu juga, aku langsung blank. Saat ini aku hanya bisa mengerjapkan mata seperti orang bodoh. Apa-apaan ini? Kenapa bagian ini tidak berubah? Apa karena aku hanya fokus mengubah alurku dengan Mas Rendra, jadi yang berubah hanya yang berhubungan dengannya saja? Dengan Mas Gala, aku hanya mengubah seperlunya. Apa artinya, hal-hal yang inti tidak akan brubah? Apa benar begitu? “Ma? Salma? Nasalma!” “H-hah? Apa, M-mas?” aku tergagap karena seolah baru saja disadarkan dari dunia yang kubangun sendiri. “Kamu di café mana sekarang? Aku akan ke situ.” “Aku d-di Pawon Kinanthi.” “Oh, aku tahu. Kamu duduk di meja berapa?” “E-ee …” aku melirik mejaku. “Meja nomor sembilan, lantai dua. Arah kanan dari tangga.” “Oke. Aku ke sana sekarang. Kamu jangan pulang dulu!” Tanpa sadar, sejak tadi aku setengah menahan napas. Kini, aku bersandar di sandaran kursi dengan napas naik-turun tak teratur. Aku masih terlalu kaget. Sungguh! Dulu, aku langsung menolak Mas Gala di telepon. Tidak ada acara bertemu seperti sekarang ini. Saat itu posisinya aku juga sedang berada di rumah, bukan di café. Dan untuk malam ini, aku tidak tahu seperti apa yang akan terjadi. Aku benar-benar tidak bisa menebak ending-nya. “Ini aku harus gimana?” aku meraih ponsel, lalu menyalakan kamera. “Aduh, mana aku enggak dandan proper! Jelek banget, ih!” Aku kesal sendiri kenapa saat ke sini tadi, aku tidak dandan dengan serius. Aku hanya memakai bedak tipis dan liptint saja agar mukaku tidak pucat seperti orang sakit. Kalau tahu Mas Gala akan datang, minimal aku dandan lebih niat. “Aduh! Aduh! Kalau beneran serius banget, gimana bilangnya sama Ayah dan Ibu? Lalu gimana mutusnya sama Mas Rendra dan keluarga?” Aku mulai menjedotkan kepala di meja. Tidak dilamar, panik. Dilamar malah lebih panik. “Kalaupun Ayah dan Ibu pada akhirnya setuju, apa aku sanggup jadi istri Mas Gala? Apa aku hanya akan hidup dalam ke-insecure-an? Tapi bukannya itu jauh lebih baik daripada menikah dengan Mas Rendra dan berakhir tragis? Arghhh! Mbuh-lah!” Aku menegakkan badan, lalu mengusap d**a berulang kali. Aku berusaha menenangkan diri selagi Mas Gala belum datang. Rumah Mas Gala kemungkinan besar tidak jauh dari area keraton. Kalau benar di sana, sampai café ini sebenarnya tidak jauh. Akan tetapi, melewati titik macet. Jadi, harusnya butuh setidaknya lima belas menit untuk sampai. Itu sudah paling cepat. Aku masih dalam kondisi panik ketika tiba-tiba ada telepon masuk. “Ih, siapa, sih, malah telepon di saat begini— eh, si Mita? Ngapain anak ini telepon— hallo, Mit?” “Hallo, Kak Ma! Kak Ma tinggal di Jogja, kan?” “Iya, dong. Kan aku warga sini.” “Ya siapa tahu pindah lagi.” “Enggaklah! Kenapa, emang?” “Mas Gala lagi pulang kampung, by the way. Udah dari beberapa waktu lalu.” “Aku tahu. Kenapa kamu tiba-tiba bawa Mas Gala?” “FYI aja, aku udah tahu siapa Mas Gala sebenarnya. Yang sampai detail, enggak kaya kemarin. Akhirnya, kakakku udah cerita full tanpa skip-skip.” Aku pun sudah tahu. Namun, bagian ini aku hanya bisa membatin dalam hati. “Oh, ya? Mas Gala itu siapa emang?” “Dia keponakan Sultan Jayaningrat IX! Wow banget, kan!” “W-wow!” aku pura-pura kaget. Eh, tunggu! Dulu Mita tidak pernah meneleponku hanya untuk membahas tentang asal-usul Mas Gala sampai mendetail begini. Kenapa aku merasa perubahannya pilih-pilih? Aku merasa ada yang tetap berjalan seperti dulu— tak peduli aku sudah berusaha mengubah, tetapi ada pula yang tiba-tiba berubah— sekalipun aku tak mengubahnya sama sekali. Seperti ada entitas lain yang berpengaruh. Kok bisa? Ah, lupakan itu! Lupakan saja kerandoman otakku ini! “Sebenarnya aku dengar info kalau Mas Gala masih kerabat keraton, itu udah lama, Kak. Cuma aku anggap berita itu angin lalu. Aku lebih peduli soal Mas Gala adalah anak petinggi rumah sakit swasta terbesar di Jogja. Dan sekarang, aku agak syok kalau ternyata hubungan dia sama Sultan Jogja masih sedekat itu. Literally ponakan langsung, bukan ponakan jauh. Ayahnya Mas Gala adik kandung Sultan.” “Keren banget, ya, Mit?” “Iya! Ngeriii, sumpah. Mana Mas Gala itu down to earth banget orangnya. Jadi malu, Kak. Aku pernah maksa traktir dia es krim waktu mendekati ending koas di stase bedah. Ternyata, yang aku traktir jauh lebih kaya daripada aku. Pasti Mas Gala ngetawain aku di hati.” “Kayaknya enggak, deh, Mit. Dia enggak gitu orangnya. Dia kayaknya justru sangat menghargai kebaikanmu. Yang dia lihat bukan traktiran atau es krimnya, tapi niat baikmu.” “Ehehehe … semoga aja gitu.” “Ngomong-ngomong, kamu telepon aku cuma mau ngasih tahu ini?” “Kalau enggak?” “Dasar, kamu ini!” “Soalnya Kak Salma yang tinggal di Jogja. Jadi, aku kasih tahu pertama.” “Terus habis ini mau ngajak gibah Jani sama Risa?” Mita tertawa. Tanda kalau isi otaknya tertebak. “Tahu aja, kak. Kebetulan, aku lagi chatan sama mereka juga. Habis ini paling telepon bareng-bareng. Kak Salma mau ikut atau enggak—” “Enggak. Aku lagi di luar.” “O-oh, lagi di luar? Kalau gitu, aku udahan dulu. Aku matiin, ya, Kak.” “Oke. Makasih infonya, Mit.” “Yoi!” Panggilan dari Mita selesai. Aku kembali menelungkupkan kepala di atas meja seperti tadi. “Aduh, mana infonya udah menyebar. Terus gimana setelah ini?” aku mengumam sembari meremas-remas tangan. “Ma, aku udah sampai.” “Heee?” Aku mendongak, ternyata Mas Gala sudah tiba. “C-cepet banget, Mas!” “Aku naik motor dan ngebut. Aku tahu jalan tikus, jadi cepet.” “O-oh, iya.” Mas Gala berdehem pelan, lalu menarik kursi dan duduk di depanku. Tiba-tiba saja, atmosfer di antara kami jadi terasa aneh. “Mas—” “Ma …” “Aku duluan!” ujarku cepat. “Mas Gala pesan minum dulu.” “Oke.” Mas Gala bangkit lagi, lalu beranjak ke arah pelayan yang jaga di dekat tangga. Setelah pesan, dia langsung kembali ke meja. Aku harus santai. Kalaupun kelihatan kaget, jangan menunjukkan gelagat yang aneh. “Ehm!” Mas Gala berdehem agak keras. Dia kini menatapku lurus-lurus. “Apa yang kukatakan di telepon, itu serius. Kalau bercanda, aku enggak akan menyusulmu ke sini.” “Atas dasar apa Mas Gala tiba-tiba ngajak aku nikah? Beneran mau jadiin aku pelarian-kah?” “Bisa benar, bisa enggak.” “Bisa benar?” mataku melebar, pura-pura tersinggung. “Enggak mau, ih—” “Aku akan kasih apa pun yang kamu mau selagi kamu setuju. Apa pun dalam arti, selagi masih masuk akal dan aku mampu mengabulkannya.” “Bener-bener apa pun?” “Iya. Jangan bicarakan soal perasaan, tapi ayo berpikir realistis. Kita sama-sama dua manusia yang sudah beranjak dewasa. Aku bisa menafkahimu, ini mencakup nafkah lahir dan batin—” “O-oh, stop stop stop!” “Jauh banget sampai nafkah batin. Tunggu, tunggu!” aku mengangkat tanganku, mengisyaratkan agar Mas Gala berhenti. “Setiba-tiba ini, serandom ini, semengejutkan ini, mustahil kalau enggak ada apa-apa. Apalagi Mas Gala habis patah hati diselingkuhin. Tebakanku, Mas Gala ngajak aku nikah dengan banyak kesepakatan di dalamnya. Bener?” Mas Gala tersenyum. “Syukurlah kalau kamu cepat paham.” “Mana mungkin enggak paham!” “Jadi, gimana? Aku usahakan ikut maumu.” Dialog kami terjeda karena pelayan datang mengantar pesanan. Mas Gala pesan kopi hitam dan kentang goreng. “Sebelum itu, aku perlu tahu dulu alasan kenapa tiba-tiba Mas Gala kepikiran ngajak aku nikah. Oh, ayolah! Keadaanku begini, sedangkan keadaan Mas Gala begitu. Sangat amat jauh sekali.” Sengaja aku menggunakan kata hiperbolis karena bagian ini perlu diberi penekanan. Baiklah, waktu itu aku bilang akan langsung menerima Mas Gala jika dia kembali mengajakku menikah. Namun, kalau aku langsung mengatakan ‘iya’, kurasa justru Mas Gala-lah yang akan mencurigaiku. Jadi, aku harus bersikap yang ‘wajar’ di depannya. Minimal, aku harus pura-pura kaget, bingung, dan sedikit menolak. Iya, kan? “Aku pasti akan jujur, tapi kamu setuju atau enggak?” “Belum bisa aku jawab—” “Minimal kamu enggak langsung menolak—” “Tapi aku juga enggak langsung menerima!” Mas Gala tersenyum lagi. “Tentu aku menyiapkan banyak hal sebelum memutuskan untuk senekat ini. Banyak hal di sini bukan materi, tapi kemungkinan pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul di benakmu. Aku juga paham, kalau dari kacamatamu, aku ini orang aneh. Tapi serius, Ma. Ini ajakan yang sungguh-sungguh. Ayo bangun kesepakatan bersama. Kamu boleh dominan menentukan kesepakatan itu.” “Sebelum itu, jawab dulu kenapa tiba-tiba banget harus nikah? Dan kenapa pula harus aku dari sekian banyak perempuan di dunia ini?” “Karena kamu yang ada di otakku saat memikirkan masalah ini.” DEG! Aku terbatuk pelan. “Kenapa aku?” “Mungkin karena kita baru aja keluar bersama? Atau mungkin karena kita udah kenal sejak dua tahun lalu? Setidaknya, sedikit banyak aku mengenalmu. Kamu pun udah tahu siapa aku sebenarnya, dan kamu masih tetap santai. Masih bisa bercanda dan bersikap kaya sebelumnya. Dan aku suka itu.” “Tapi aku enggak sempurna—” “Aku memang enggak menilaimu sempurna.” Aku langsung mencibir, Mas Gala malah tersenyum— lagi dan lagi. Sial! Kenapa dia tersenyum terus sejak tadi? Enggak sadarkah dia, kalau dia punya senyum yang sangat manis? “Bercanda, Ma. Kalau bicara sempurna, apa aku sempurna? Enggak juga. Kalau istilah menikah terlalu berat bagimu, gimana kalau istilahnya diubah?” “Diubah jadi apa?” “Kita hidup bersama dalam sebuah ikatan yang sah—” “Apa bedanya?” “Tunggu dulu! Jangan motong sebelum aku selesai.” “Oke.” Aku mengangguk. “Kita hidup bersama dalam sebuah ikatan yang sah, tapi tanpa saling menuntut hak dan kewajiban. Setidaknya sampai kita sama-sama ‘klik’.” “Ada deadline?” “Sebenarnya enggak ada. Tapi mungkin satu sampai dua tahun bisa untuk pertimbangan. Kalau pada titik itu kita enggak bisa lanjut, kita bisa pisah. Kalau kita bisa saling jatuh cinta, maka lanjutkan pernikahan layaknya pasangan yang lain.” “Bukannya niat menikah untuk tujuan bercerai itu dilarang, ya, Mas? Haram, bahkan?” “Siapa yang niat bercerai? Tolong pahami lagi kalimatku. Kita punya dua opsi saat deadline tiba. Opsi pertama, pisah. Ini terjadi kalau kita benar-benar enggak bisa lanjut. Misal kita sering bentrok dan enggak bisa lagi disatukan. Aku enggak mau ngekang kamu. Kalau kamu enggak bahagia hidup denganku, maka kuberi kebebasan buat pergi. Opsi kedua, lanjut. Ini terjadi kalau di tengah jalan kita menemukan kecocokan dan semakin dekat. Atau kasarannya, kita enggak bisa hidup tanpa satu sama lain. Dan jujur, aku berharap opsi kedua yang terjadi.” Aduh, duh! Kini satu miliar kupu-kupu sedang menari di perutku. “Kalau bicara sekarang?” “No comment.” “Kok no comment, sih, Mas?” “Kamu harusnya paham jawaban tak tertulis. Kalau aku sampai memilihmu, seenggaknya aku merasa kamu unggul.” “Apa aku cukup cantik?” “Aku pernah lihat kamu tidur mangap pasca jaga koas, dan itu tetap cantik.” “Ih! Bisa-bisanya malah bahas itu!” Mas Gala tertawa, dan tawanya membuatku berdesir-desir. “Itu pujian enggak langsung, Ma. Dalam kondisi ‘enggak banget’ aja, kamu tetap cantik.” “Duh! Langsung terbang, aku!” “Jadi? Gimana, Ma?” Aku belum sempat menjawab ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki yang mendekat. Begitu menoleh, aku langsung mendelik kaget. “M-mas Rendra?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD