Terbiasa tapi salah

1316 Words
Fayra menatap setiap tamu yang hadir diacara pesta salah satu rekan bisnis Ragnala, tujuh tahun tinggal di Amsterdam, Fayra berusaha untuk menyesuaikan. Mengenal orang-orang dilingkungan suaminya. Sebenarnya Amsterdam tak begitu asing sebab neneknya, Anna dulu pernah merantau dan tinggal di sini juga. Fayra tahu dari cerita neneknya sendiri, awal mula bagaimana keluarganya mengenal salah satu saudara dari Mama Ruby, orang tua Ragnala. Saat masih di Jakarta, belum menikah, ia dulu pun sering ikut dengan orang tua bahkan saat Grandad Kaivan masih sehat, datang ke acara pesta kalangan atas. Fayra ingat sekali, bahkan pertama kali bertemu Ragnala dan dikenalkannya di salah satu pesta. Dulu saat ia remaja, bahkan beranjak dewasa, Grandad Kai paling posesif terhadap kedekatan Fayra dengan teman-teman prianya. Bahkan pengawalan ketatnya dulu dihadirkan oleh Grandad. Kini dia berdiri, melakoni pasangan yang baik. Siap merangkul suaminya sambil tersenyum menghadapi setiap orang yang hadir, yang mengenali dan menyapa mereka. Peran lain yang Fayra jalani selama jadi istri Ragnala. “Aku haus, Ka” bisik Fayra. Tidak akan pernah Ragnala mengambilkan minum untuknya. Ragnala memberi anggukan kecil. "Kamu mau sekalian?" "Tidak usah, cepat kembali." Ujarnya membiarkan Fayra menjauh sebentar untuk memilih minumnya yang ada di meja khusus. Lebih banyak Wine, atau soda. Sedangkan Fayra butuh minum air putih biasa sebenarnya atau jus buah biasa tanpa alkohol. Toleransi tubuhnya buruk terhadap minukan tersebut, ia tidak sekuat Ragnala. Dia mendapatkannya, baru akan berbalik saat mendengar beberapa perempuan membicarakan suaminya. Bila yang mereka bicarakan mengenai kesuksesan bisnis suaminya, Fayra akan tersenyum bangga. Tapi, yang ia dengar kedekatan suaminya dengan perempuan lain atau bahkan pujian terhadap betapa tampan, menggoda sekali Ragnala. Fayra meletakkan kembali air minumnya, hausnya hilang digantikan rasa kesal. Dia segera kembali menuju tempat suaminya berada. Namun, saat ia tiba di tempat tadi, Ragnala sudah tidak di sana. Mata Fayra segera mencari-cari keberadaan suaminya, hingga matanya bertumpu pada satu titik. Di lantai dansa, Ragnala tidak sendiri. Justru sedang meletakkan tangannya di pinggang perempuan bule berambut pirang, berkulit putih bak porselen. Gaun berwarna golden rose yang dipakainya memiliki bagian belakang punggung yang terbuka, hanya seutas tali terikat simpul di lehernya. Sangat intim, bahkan saat mereka tampak berbincang dan Ragnala harus menunduk, dari posisinya terlihat mereka tengah berciuman. Padahal tidak, tapi tetap saja Fayra terbakar perasaan tidak terima. Fayra berbalik pergi, meninggalkan acara dan pilih menunggu di mobilnya. “Kalian sudah kembali—“ “Hanya aku, bosmu sibuk bersama wanita lain!” dingin Fayra, kemudian membuka pintu, menutup kembali lalu duduk sambil mendekap rasa kesal yang menumpuk. Eros menatap istri dari bos sekaligus temannya, ia mengetuk pintu dan Fayra menurunkan kacanya, “aku perlu meneleponnya, memberitahu kamu sudah kembali lebih dulu?” “Tidak perlu, biarkan sampai dia menyadari aku tidak di sana. I need some space, please.” Eros menghela napas dalam, entah apa yang diperbuat Ragnala kali ini sampai istrinya kembali sendiri dengan raut sedih, “kamu tidak perlu memohon, kamu memang membutuhkannya.” Hanya depan Eros mereka tidak perlu berpura-pura menjadi pasangan yang romantis dan bahagia. Terutama malam ini, Ragnala sama saja tidak menghargainya sebagai pasangannya. Bukannya baru dengar, hanya belakangan kabar mengenai suaminya bersama wanita lain kerap semakin sampai ke telinganya. Sangat mengusik rasa percaya Fayra terhadap Ragnala. Fayra menarik napas dalam-dalam, ia tidak ingin menangis. Sayangnya sesak didadanya kian terasa. Dia meninggalkan banyak hal untuk ikut pindah ke kota ini bersama sang suami, mulai dari menjauh dari keluarga, hingga meninggalkan bisnis sendiri yang sempat Fayra miliki. Termasuk mulai merasa ia kehilangan sesuatu yang seharusnya ada sebagai identik seorang Fayra. Ragnala yang menginginkan Fayra hanya di rumah, menjadi istri dan Ibu terutama setelah ia memiliki Kasyapi. Fayra menunduk, memainkan cincin pernikahannya. Tujuh tahun ia bertahan, apa yang sebenarnya ia tunggu bila Ragnala tidak pernah berubah. Bahkan mungkin belum mencintainya. Ponselnya berdering, Fayra hanya menatap nama sang suami menari-nari di layar. Hingga beberapa panggilan, tidak terjawab dan akhirnya Fayra memutuskan untuk tetap mengabaikan. Dia menoleh ke jendela, Eros masih berdiri tepat menjawab telepon. Sudah ditebak, Ragnala meneleponnya. Eros menoleh padanya, Fayra pilih tetap diam. Beberapa menit kemudian, ia menemukan suaminya berjalan tergesa kembali ke mobilnya. Raut wajah kesal, dinginnya tak tertutupi. Sempat terlihat memarahi Eros, lalu membuka pintu dan menutup sedikit kasar hingga terdengar suara dentuman. Tujuh tahun bukan waktu singkat untuk tahu lebih banyak dan hafal mengenai sikap suaminya. Seperti sekarang, Ragnala tersinggung dan marah. Dia menoleh, menatap Fayra sambil meraih ponselnya sendiri. Lalu terlihat menelepon, tidak lama ponsel Fayra berdering. “Kamu mengabaikan teleponku dengan sengaja.” Fayra mengepalkan tangannya, menatap suaminya, “aku memberimu kesempatan untuk bersama wanita pirang tadi. Berdansa lebih lama. Kehadiranku sudah tidak dibutuhkan sama sekali.” Ragnala terdiam, lalu tersenyum tipis. Eros menyetir sambil berusaha menulikan telinganya dari apa pun yang akan terjadi antara suami-istri yang sudah menikah selama tujuh tahun itu. Fayra pilih tetap diam, tak pedulikan Ragnala. Bahkan sesampainya di rumah, dia turun lebih dulu. Ragnala menatap punggung istrinya yang menjauh. “Harusnya kamu segera memberitahuku kalau dia sudah kembali!” Ucapnya pada Eros. “Fayra memintaku untuk tidak melakukannya.” Eros bukan mengadu, tapi memberitahu yang sebenarnya. “Ck! Lain kali, tidak perlu dengarkan istriku! Aku mencarinya ke mana-mana tadi!" Ungkapnya dengan rasa kesal yang masih sama. Eros menatap temannya, aneh harusnya Fayra yang marah besar, bukan Ragnala kesal sendiri karena diabaikan Fayra. “Dia menangis?” tanya Ragnala selanjutnya dengan penasaran. “Tidak, hanya diam dan menatap cincin pernikahan kalian. Kamu berharap dia menangis?” Beritahunya. Ragnala tidak menjawab. Ragnala meminta Eros pulang, sementara ia menyusul istrinya. Ragnala berdecak kesal saat Fayra tidak ada dikamar mereka, dia tahu Fayra pasti mendahului untuk mengecek putra mereka. Ragnala cukup bisa menahan diri bila menyangkut di hadapan sang putra, jadi Fayra selalu pergi ke dekat putranya. Ragnala tetap duduk di atas ranjang, menunggu. Beberapa menit menjadi jam, dia bahkan melepas dasinya dan melempar ke atas tempat tidur. Baru akan berdiri saat Fayra masuk, melangkah melewati tanpa menatapnya. “Jangan berdrama, Fayra! Kamu selalu membesarkan masalah salah paham kecil begini!“ “Aku tidak berdrama, aku justru diam saja meski melihat suamiku bersama wanita lain. Tidak menghargai kehadiranku!” Jawabnya dengan intonasi tenang. Tidak ada keinginan untuk berteriak, yang ada ia hanya akan menghabiskan energinya. Fayra duduk depan meja rias, melepas perhiasannya satu persatu, kemudian dia menghela napas dalam, dan baru mempertemukan tatapan dengannya. “Tujuh tahun, aku menoleransi banyak hal terhadap perbuatanmu, tapi tidak dengan adanya wanita lain.” “Setiap teman wanitaku, selalu membuatmu cemburu—“ “Aku meninggalkan segalanya untuk bisa bersamamu, bukan hanya untuk jadi pajangan atau bahkan jalaang saat kamu butuh tubuhku.” Potong cepat Fayra lagi dengan tatapan dingin. Garis wajah Ragnala menegang, tidak senang mendengar kalimat Fayra, "ck!" Ragnala terdiam sebab malam ini, ia menemukan sisi Fayra yang lama. Bukan yang tujuh tahun ini bersamanya, yang sangat penurut. Mata Fayra terasa perih sekali, ia menahan tangis sejak tadi. “Dari awal hanya aku yang mau, hanya aku yang mencintai di hubungan ini. Bertahan, entah apa yang kuharapkan dengan terus bertahan bersamamu dalam hubungan ini? Selain kehancuran hatiku, juga kehilangan diriku sendiri.” “Apa maksudmu?!” desaknya. Fayra tidak menjawab, kembali terdiam lebih tepatnya mengabaikan Ragnala, Sikap yang tidak akan disukai Ragnala, memancingnya bergerak lalu dengan sedikit kasar meraih lengan Fayra dan memaksanya berdiri. Memaksanya untuk berhadapan, bertemu tatapan yang dingin nan begitu menusuk. Fayra harusnya mengunci rapat mulutnya, justru ia kembali melempar satu kalimat yang membuat garis wajah Ragnala menegang, "lalu bagaimana perasaanmu bila posisinya aku yang berdansa bersama pria lain?" Ragnala mencengkeram lengannya begitu kuat. Fayra coba menahannya, cukup dari kabut emosi di tatapannya, Fayra tahu Ragnala tidak akan melepaskannya malam ini, justru akan memperparah luka dihatinya. "Kamu tidak akan pernah berani melakukannya, bahkan baru memikirkan dan melempar pertanyaan ini padaku, sudah sangat salah!" Ucap Ragnala begitu dingin sambil menarik kasar pakaian Fayra, terdengar suara robekannya. Ragnala menindihnya, meraih dasi yang tadi ia lepaskan dan lempar ke atas ranjang. Fayra memejamkan mata, merintih pelan sambil terisak, "No Ragnala, please don't!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD