TUJUH TAHUN!

1266 Words
Tujuh tahun kemudian... Mata Ragnala tengah fokus pada layar ponsel, tepatnya bagian yang menampilkan CCTV rumahnya yang bisa diakses olehnya pun Fayra. Bahkan ada CCTV di kamarnya, bagian ini hanya Ragnala yang punya akses, bahkan Fayra tidak tahu. Dia baru diberi kabar jika istrinya dan sang putra sudah di rumah. Terlalu fokus, hingga mendapati satu pertanyaan. “Sudah tujuh tahun, kamu bilang dulu saat menikahinya tidak yakin bahkan bisa bertahan dalam setahun.” Ragnala mengangkat kembali dagunya, menatap Eros yang duduk di depan. Menyetir untuknya. Ragnala tidak menjawab, meski membenarkan. Ya, gadis manja dalam diri Fayra seolah hanya cangkang yang dilepaskan setelah menikah. Seperti yang Ragnala bilang di awal, bila Fayra bisa menentang keluarganya saat mereka bersikeras tak mengizinkan Fayra untuk ikut pindah ke Amsterdam dengannya. Dia teringat sang istri menghadapi semua keluarga yang mempertanyakan keputusannya, meragukan dirinya. Lambat laun, keluarga Fayra juga tak pernah ikut campur lebih mengenai rumah tangannya, terutama Sky ya meski sampai sekarang pun masih bersikap dingin dengannya. Terdiamnya sang bos membuat Eros tahu jika Ragnala sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia memang selalu begitu, tidak langsung menyuarakan jika menyangkut Fayra. “Keberadaan Kasyapi yang membuatnya bertahan,” gumam Ragnala. “Kamu yakin hanya karena Kasyapi, putra kalian? Bagaimana jika memang dia ingin menjalani pernikahan kalian dengan baik, berhasil?” Pun Eros merasa bila Ragnala juga sudah terbiasa dengan kehadiran Fayra dalam tujuh tahun kebersamaan mereka. “Tidak ada yang salah dengan itu, dia yang bersikeras meneruskan hubungan kami dulu.” Seolah ia mengatakannya hanya Fayra yang wajib berusaha mempertahankan rumah tangganya. Eros kembali menghela napas dalam-dalam, saat Ragnala memutuskan menikahi gadis itu, dia orang pertama yang sebenarnya tak yakin dengan pilihan Ragnala mengingat tahu seberapa bebas bosnya dan anti komitmen. “Entah siapa yang beruntung, dan malang di sini?” “Aku masih bisa mendengarmu, Eros. Tugasmu cukup banyak bekerja denganku, tapi rumah tanggaku bukan termasuk tugasmu untuk mengurusinya.” Itu sebuah peringatan, Eros tersenyum kecil, memberi anggukan. Ragnala kembali menatap layar ponselnya, ia melihat ke bagian kamar putranya. Detail memerhatikan sang istri yang dengan sabar membantu putra mereka yang baru berusia empat tahun untuk ganti baju. Setelah selesai, Kasyapi menonton televisi sambil menunggu jam makan malamnya. Sedangkan Fayra menuju pintu yang tersambung ke kamar mereka. Ragnala berpindah ke CCTV pribadi, melihat Fayra yang melepaskan pakaiannya kemudian melangkah ke kamar mandi. Tentu, satu-satunya tempat yang tidak ada CCTV itu hanya kamar mandi. Ragnala menutup ponsel, berpaling menatap keluar jendela mobil. Hanya perlu beberapa menit, ia akan langsung menemui Fayra dan putra mereka yang sudah ia tinggal selama dua minggu. *** “Daddy!” seruan itu membuat Fayra tahu jika suaminya akhirnya pulang setelah dua minggu perjalanan bisnis. Fayra merapatkan lapis baju tidur yang panjangnya sampai ke mata kaki, berhenti sejenak depan cermin besar untuk memastikan penampilannya. Sudah tujuh tahun berjalan, ia tahu jika Ragnala sangat ingin melihatnya selalu tampil terbaik, memerhatikan penampilannya. Fayra cepat-cepat menarik lepas ikatan rambutnya, sebab sang suami juga lebih suka melihat rambut panjangnya tergerai. Sudut bibir Fayra terukir senyum melihat Kasyapi sudah duduk mengusai pangkuan Ragnala. Inilah kehidupan pernikahannya yang ia punya, suami dan seorang putra. Tinggal jauh dari keluarga, menetap di Amsterdam dan melepas banyak hal yang ia punya untuk fokus menjadi istri dan Ibu. Bahkan Fayra melepaskan bisnis jual-beli barang antiknya yang sempat dijalani dulu sebelum menikah. “Daddy bawa apa?” Selalu hal pertama yang Kasyapi tanyakan. “Ambil hadiahmu di Uncle Eros.” “Aku minta landak, Daddy tidak bawakan?" tanyanya. "Nanti ya, Daddy belikan kalau Mommy sudah beri izin." Kasyapi mendekat, kemudian berbisik, "kata Aa Kai, izinnya kalau sudah beli aja biar dimarahi pun udah tetap punya." Ragnala terkekeh, kemudian mengusap kepala putranya. Dia juga menyebut salah satu kakak sepupunya. "Ayo, lagi rencanakan apa sama Daddy?" "Eh ada Mommy, kabur ah! Sssthhh, ssttth! Jangan bilang Mommy ya, Dad!" Kasyapi bergegas menjauh dengan senyum nakalnya yang khas. Lirikan mata anak itu jahil. Fayra menggeleng pelan, kemudian mencegah “Asya, udah bilang thank you ke Daddy?” Asya—panggilan khusus dari Fayra dan orang-orang terdekatnya di keluarga, namanya terlalu panjang. Kasyapi memberi anggukan, “thank, Daddy terbaik!” Ragnala menangguk kaku, tersenyum saat Kasyapi dengan manis memberi ciuman di pipi kanan-kirinya sebelum melompat turun lalu menemui Eros untuk mengambil oleh-olehnya. Ragnala mendongak menatap Fayra yang masih berdiri, satu alisnya naik memerhatikan, “aku ingin mandi dulu baru makan malam.” “Oh, ya... kamu mau aku siapkan bathtub?” Ragnala juga tidak suka jika kebutuhannya diurusi orang lain, harus Fayra sekali pun ada beberapa pekerja di rumah. Ragnala tidak menjawab, tetapi Fayra refleks berbalik untuk kembali ke kamarnya. Segera menuju kamar mandi dan mulai menyiapkan bathtub untuk sang suami. Beberapa saat ia keluar, untuk memberitahu suaminya lagi jika sudah siap. “Sayang,” dia justru terkejut dapati Ragnala sudah berdiri sambil memegang gelas berkaki, berisi Wine mahal koleksinya. Botol itu berada tak jauh dari posisinya, disalah satu meja. “Sudah siap," Ragnala meneguk kembali sisa Wine dalam gelasnya, kemudian menyimpannya. “Mendekatlah, kamu hanya akan diam di sana dan memandangiku?” tanyanya. Fayra menghela napas kemudian melangkah, mengikis jarak hingga berhenti di hadapan suaminya. Tangannya langsung bergerak melepas dasinya lebih dulu, barulah beberapa kancing kemejanya. Fayra memegangi baju dan celana yang sudah terlepas, membawanya ke keranjang baju kotor. Ragnala mendekat, kemudian membaliknya. Dalam gerakan cepat, serangan yang tak Fayra siap ketika tangan itu membelit pinggangnya dan menariknya merapat. Ragnala mencium bibirnya dengan gerakan menggebu-gebu. “A-aku sudah mandi.” Bisik Fayra coba menghentikan karena tahu arti ciuman ini. Ragnala tidak akan mendengarkan saat dia mundur kemudian menatap Fayra, “aku menunggumu bergabung.” “Ragn—“ “Jangan hancurkan moodku, aku baru sampai setelah dua minggu di luar rumah. Putraku pasti sangat menunggu makan malam denganku.” Itu tanda jika Fayra tidak bisa menolak. Ragnala melepas lapisan terakhir kainnya, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Fayra menghela napas dalam, hingga kemudian tak bisa membuat Ragnala menunggu karena pria itu benci diabaikan perihal keinginannya satu ini. Fayra menyusul, menemukan suaminya sudah berendam dalam bathtub besar mereka. Matanya yang begitu mengintai tajam, memerhatikan gerak tangan Fayra yang melepas lapis baju tidurnya, saat Fayra akan menurunkan baju tidurnya yang berbahan sutra, lembut namun tidak transparan, tiba-tiba Ragnala menghentikan, “kemari, jangan lepaskan itu!” Fayra membeku sejenak, tetapi cukup paham yang suaminya inginkan. Baju tidurnya yang berwarna baby pink akan mencetak lekuk tubuhnya saat basah. Fayra hanya menurunkan secarik kain dari dua kakinya dan meninggalkannya di lantai. Dia melangkah masuk, memenuhi bayangan erotis yang ada dikepala Ragnala saat melihat istrinya pertama kali setelah dua minggu tak bersamanya. Ragnala tidak bisa ditebak sama sekali, tujuh tahun usia pernikahan mereka, tapi Ragnala tetap asing kecuali saat membutuhkan Fayra seperti yang mereka lakukan sore itu. Fayra berpegangan dengan sisi bathtup, mencengkeram erat saat gerakan Ragnala semakin erat dan kuat, “Ra-gnala ah...” dia ingin memanggil, walau yang keluar jadi desahan gelisahnya. “Bo-boleh aku tanya?” Ragnala menarik Fayra merapat, tangannya memeluk dan mencengkeram puncak kelembutannya yang sensitif, gerakan yang kasar namun menyenangkan, “tanyakan apa pun asal yang tidak merusak kegiatan kita!” Fayra langsung terdiam, berakhir hanya menggigit bibirnya. Ia tahu jika Ragnala benci diganggu kala mereka tengah melakukannya. Jelas, sesuatu yang akan Fayra tanyakan, akan merusak seperti katanya. Ragnala menyeringai kecil, “pilihan bagus, dengan tetap diam. Aku ingin mendengar hal lain dari bibirmu,” menunduk untuk memberi isapan kuat di bahu dan punggungnya yang basah. Berakhir kalimat yang keluar dari bibir Fayra hanya desahan, erangan saja. Menelan bulat-bulat kembali kalimat tanyanya. Ke mana keberaniannya untuk bicara dengan Ragnala, yang sudah dia susun bahkan sejak dua minggu ini? Ini selalu terjadi selama tujuh tahun pernikahan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD