Eps 6 Pandangan yang berkecamuk

1257 Words
Author P.O.V Universitas Menhag, Hari sudah mulai siang. Para mahasiswa keluar kelas dengan perasaan lelah. Ada yang memilih pulang ke kosan sebentar, ada yang memilih makan di kantin, ada yang ke perpustakaan, ada pula yang memilih untuk tetap tinggal sembari bercanda – gurau dengan teman lainnya. Sementara itu, nampak Almira hanya tetap tinggal di kelasnya sembari merebahkan kepala. “Kamu kenapa lagi, Mir? Perasaan semenjak kepulangan suamimu, wajahmu murung terus,” tanya Yuna membuka suara “Aku gak apa – apa kok, Yun,” “Gak apa – apa gimana? Tadi pagi aku sempat melihat matamu sembab. Apa ada masalah?” Tak ada jawaban dari Almira. Dia hanya terdiam tanpa mau bicara. “Mir,” panggil Yuna pelan “Hemm,” “Kamu kenapa sih? Tumben – tumbenan diem kayak gini. Biasanya langsung cerita kalau ada masalah,” “Aku beneran gak apa – apa, Yun,” “Kalau beneran gak apa – apa, kenapa nangis tadi pagi?” Almira mengangkat kepalanya lalu duduk dengan tegap. “Apa Alvin yang membuatmu menangis?” tebak Yuna kemudian Almira mengangguk dengan raut wajah sedih. “Serius kamu? Kok bisa? Apa dia memukulmu? Wah kurang ajar dia,” cecar Yuna meninggikan suara “Enggak – enggak. Jangan salah paham dulu,” ucap Almira seolah mencegah sahabatnya yang mulai menyingsingkan lengan baju “Kamu lagi gak nutup – nutupin perbuatan suamimu kan?” tanya Yuna tak percaya “Enggak Yuna. Aku bilang enggak ya enggak. Ngapain juga aku tutup – tutupin,” Melihat ekspresi Almira yang terlihat jujur, Yuna kembali menurunkan lengan bajunya. “Oke. Kalau dia memang tidak memukulmu, lalu hal apa yang membuatmu menangis?” Melihat sahabatnya yang sudah keburu emosi, akhirnya mau tidak mau Almira cerita tentang kejadian yang dialaminya tadi pagi. “What? Serius dia bersikap seperti itu ke kamu?” tanya Yuna seakan tak percaya “Iya. Makanya sekarang aku pengen cepat – cepat pulang ke rumah untuk belajar lagi sama Bi’Inah. Tapi mata kuliah kita tinggal satu kali lagi yang mau selesai. Huft,” lirih Almira tambah sedih “Sumpah ya Mir, aku gak nyangka orang setampan dia punya karakter buruk. Berasa apa yang ada di novel – novel tentang CEO kejam tuh benar adanya,” Almira tak menanggapi omongan Yuna. Dia justru mengingat hal lain. “Oh ya lupa. Aku ada janji ya buat menemui Ibu kosmu hari ini? Ituloh tentang acara weekend nanti,” “Sudahlah gak usah dipikirin. Biar nanti aku bicara sendiri sama Ibu kos,” “Tapi kesannya gak sopan, Yun. Nanti dia malah gak mau lagi,” “Gak mungkin. Ibu kos dan anaknya itu baik kok. Tenang saja gak usah khawatir. Lebih baik kamu pikirkan diri kamu sendiri. Cari cara buat bertahan hidup. Eman sudah kadung basah. Jadi harus jalani terus sampai selesai,” terang Yuna memberitahu “Iya benar katamu. Aku sudah terlanjur memilih jalan ini. Jadi mau gak mau harus dijalani. Dan apapun rintangannya, aku harus tetap kuat dan hadapi,” “Good girl. Semangat Bestie. Semangat. Aku mendukungmu. Kamu pasti bisa melewati ini semua,” tutur Yuna memberikan kekuatan “Makasih ya, Yun. Kamu memang sehabat terbaikku,” ucap Almira tersenyum hangat . Malam harinya, Sekitar jam 9 malam lebih, Alvin pulang dengan setelan jas yang masih lengkap. Dan pada saat melewati ruang tengah, betapa terkejutnya dia melihat Almira tertidur di sofa panjangnya. Alvin mengambil gagang telepon dan langsung menghubungkannya kebagian belakang. Tempat dimana para asisten rumah tangga tinggal. “Ke ruang tengah sekarang!” titah Alvin cepat Sesaat kemudian datanglah Bi’Inah berserta yang lainnya sembari menunduk hormat. “Iya, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” tanya bi’Inah mewakili “Kenapa dia bisa tidur disini?” tanya Alvin to the poin Bi’Inah sontak melihat ke arah Almira “Sepertinya Nona kelelahan habis belajar, Tuan,” “Belajar?” “Iya Tuan. Dari tadi sore sehabis pulang kuliah, Non Almira langsung mendatangi saya dan meminta untuk diajarkan cara bikin teh chamomile. Sebenarnya tadi pagi itu juga sepenuhnya bukan kesalahan Non Almira, Tuan,” “Maksud kamu?” “Tadi pagi saya menjelaskan tentang bagaimana cara menyeduh teh chamomile. Disitu saya juga menjelaskan tentang Tuan yang tidak bisa pakai madu dan diganti gula. Namun saya lupa memberitahu gula apa yang harus dipakai. Karena saya terburu – buru pergi ke rumah sakit untuk menjenguk saudara saya. Alhasil Nona Almira sembarang memakai gula yang ada di dapur. Bukan gula khusus yang biasa dipakai untuk membuat tehnya Tuan. Jadi saya meminta maaf sebesar – besarnya kepada Tuan, atas keteledoran saya,” tutur Bi’Inah menjelaskan Mata Bi’Inah nampak berkaca – kaca seolah merasa bersalah. Sebab karena dia, Nyonya barunya kena marah oleh Tuannya. “Oleh sebab itulah Non Almira ingin belajar langsung dari saya. Karena Nyonya takut mengulangi kesalahan yang sama seperti tadi pagi. Nona benar – benar bekerja keras, Tuan. Dia belajar mulai dari takaran bahan, cara penyeduhan, sampai ke suhu tehnya Nona hafalin semuanya. Bahkan tangan Non Almira sempat kecipratan air panas tadi,” lanjut Bi’Inah memberitahu Tak ada tanggapan dari Alvin, dia hanya menatap Almira yang tertidur pulas. “Dan ini teh yang sudah Non Almira buat terakhir, Tuan,” ucap Bi’Inah lagi sembari menunjuk pada teko kecil berwarna emas yang ada di atas meja Alvin ikut menoleh ke arah teko tersebut. “Sepertinya sudah dingin Tuan karena sudah terlalu lama. Apa mau saya bantu hangatkan kembali?” tanya Bi’Inah menawarkan diri “Gak perlu. Kamu boleh pergi sekarang!” titah Alvin dengan suara khas baritonnya “Baik Tuan. Saya permisi,” ucap Bi’Inah dan berlalu pergi diikuti oleh yang lainnya Hening, Suana kembali sepi. Alvin duduk di sofa samping Almira. Dia menatap teko itu dan mulai menuangkannya ke dalam gelas kosong. Alis Alvin sempat terangkat saat dia mulai meminum teh tersebut. Namun sedetik kemudian kembali normal. Tidak sampai habis, dia meletakkan kembali gelas itu ke atas meja. Kini pandangannya beralih pada Almira, yang saat ini masih tertidur lelap. Lumayan lama Alvin memandang, hingga akhirnya dia menggendong Almira dan membawanya ke kamar Almira sendiri. Sesampainya, Alvin meletakkan tubuh Almira dengan hati–hati. Dia juga tak lupa menyelimuti istrinya itu dengan selimut tebal. Setelah selesai, Alvin kembali duduk disamping Almira dan menatapnya sekali lagi. Hanya sebentar karena pandangannya tiba – tiba beralih pada tangan Almira yang sedikit melepuh. Melihat hal itu Alvin langsung berdiri dan mencari kotak P3K. Dia membuka satu per satu laci di kamar Almira, hingga tiba–tiba dia menemukan sebingkai foto Almira yang masih kecil. Sudut bibir Alvin sempat terangkat saat melihat foto Almira yang menangis diantara ibu dan ayahnya. Foto itu seolah menggambarkan Almira yang sedang ketakutan akan sesuatu. Hanya seperkian detik, Alvin kembali memasukkan foto tersebut ke dalam laci. Setelah menemukan kotak P3K, Alvin kembali duduk dipinggir kasur, yaitu disamping Almira. Dia mengambil salep luka bakar dan mengoleskannya ke tangan Almira. “Emmphh,” ringis Almira dalam tidurnya Melihat hal itu Alvin buru–buru meniupkan udara ke tangan Almira, supaya tidak merasakan perih. Setelah selesai, Alvin menurunkan kembali tangan Almira dan memasukkannya ke dalam selimut. Entah apa yang dipikirkan Alvin saat ini. Dia menatap wajah damai Almira, hingga tangannya tak sadar mengelus pipi Almira yang nampak gembul sedikit. Kemudian tatapannya beralih pada bibir Almira yang berwarna merah muda. Glegg, Alvin menelan salivanya begitu berat. Dengan perlahan Alvin menurukan kepalanya mendekati wajah Almira. Saat bibirnya hendak sampai, seketika dia tersadar akan tindakannya. Alvin yang kaget buru – buru berhenti dan keluar dari kamar Almira. Dug – dug, dug – dug, dug – dug.... Jantung Alvin berpacu sangat cepat. Hingga keringat dingin mulai membasahi dahinya. “Sial,” batin Alvin risau TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD