Pagi itu Mercy senang karena doa Raison d’ Etre makbul. Ia benar-benar mendapat durian runtuh karena menemani Kuncoro. Tapi imbasnya, pagi di sekolah ia jadi sangat mengantuk. Buku-buku yang biasa ia baca saja menganggur. Apalagi penjelasan guru. Mercy benar-benar tak peduli dengan penjelasan guru.
Dari bangkunya sendiri waktu itu Kharisma melihat bagaimana Mercy tampak sedang merasa khawatir. Ia pikir Mercy sedang kurang sehat. Itu sampai buat ia mengacuhkan obrolan yang sedang berjalan di antara para temannya.
Sera menyadari tindakan Kharisma dan langsung menghampiri gerombolannya. Ia harus menyelamatkan Kharisma dari anggapan miring karena mengabaikan perbincangan.
“Halo! Lagi sedang pada ngobrolin apa, nih??!” teriak Sera riang.
Sontak Kharisma tersadar dari lamunannya.
“Apa kamu tau Peccadilo?” tanya Laurel.
Sera memutar otaknya sejenak. “Dosa kecil?” ia menjawab ragu.
“Bukan! Peccadilo itu novelis yang nulis ‘Serial Kejahatan Manusia’. Novelnya masuk perpustakaan kita bulan kemarin. Sampai sekarang, hampir semua orang udah baca buku itu,” jawab sekaligus beritahu Laurel.
“Emang bukunya bagus?” tanya Sera lumayan tertarik. Hal itu ia tunjukkan dari alisnya yang mulai berkerut.
“Bukan hanya bagus, tapi aku rasa itu sudah pantas untuk disebut sebagai sebuah maha karya!” jawab Raju. “Teknik yang dia gunakan dalam ceritanya aku rasa bener-bener menarik. Apa yang ada dalam ceritanya sangat dalam dan terkadang membingungkan, tapi di saat sama aku rasa juga bisa jadi sangat santai dan mudah untuk diterima,” terang siswa itu.
“Kayak mind twist. Ceritanya terlalu suram untuk disebut cerita drama, apalagi komedi. Tapi terlalu santai untuk dibilang thriller, apalagi horor,” tambah Laurel semangat.
“Terkadang kita bisa dibuat merasa bingung dan bergidik ketakutan. Tapi kadang juga bisa tiba-tiba jadi dibuat menangis karena hal lucu yang terjadi secara spontan dan tak terduga. Pokoknya sangat unik, deh,” tambah Raju tak mau kalah.
“Jadi penasaran. Ada yang bawa bukunya?” tanya Kharisma.
“Sayangnya perpustakaan sekolah kita cuma punya bukunya delapan buah. Masing-masing anak cuma dikasih waktu tiga hari buat minjem. Asem,” jawab Raju bad mood.
“Kenapa nggak pada beli aja di toko buku?” tanya Kharisma lagi. Apa yang ia tanyakan benar, dong? Jika memang sebagus itu ia rasa tak seharusnya anak remaja seperti mereka sekalipun merasa sayang kalau harus keluar sedikit uang demi terus bisa membacanya tanpa perlu khawatir dikejar oleh jadwal peminjaman karena jumlah bukunya terbatas sementara siswa yang ingin menikmatinya ada sangat banyak seperti saat ini.
Mendengar pertanyaa itu Laurel langsung bertampang ragu sambil memegang dagu. Ia menjawab, “Gimana ya... bukannya kami tidak mau beli. Tapi, buku itu sendiri cukup mahal. Untuk anak remaja yang merantau kayak kita itu sudah lumayan berat.”
Sera dan Kharisma langsung berpikir, tidak usah meminjam. Mercy pasti sudah membaca buku itu kalau memang segitu bagusnya. Nanti tinggal meminta dia cerita saja.
Ł
Mercy baru benar-benar sadar dari perasaan ngantuk yang sejak tadi menggelayuti dua kelopak matanya saat bel pulang berdering nyaring. Bukan hanya itu, Kharisma dan Sera juga menghampiri bangkunya. Mereka tak sabar mendengar kisah tentang ‘Serial Kejahatan Manusia’.
Padahal Kharisma tak suka membaca. Apa sih yang buat buku itu bisa jadi begitu menariknya? Hal itu cukup buat penasaran juga ternyata.
Ia sudah mengkonfirmasinya dari Feng. Sebesar delapan puluh tujuh persen pelajar di Apocalypse High School juga tidak suka membaca. Pengunjung perpustakaan setiap hari hanya didominasi para wajah lama. Feng sampai hapal siapa nama dan bagaimana wujud wajah mereka semua.
Namun itu berubah semenjak kedatangan ‘Serial Kejahatan Manusia’. Langsung ada cukup banyak wajah baru bersedia mendatangi tempat baca buku itu. Berbagai macam wajah penasaran. Seperti tak sabar karena ingin segera mencari tahu kenyataan dari suatu penyingkapan.
*
“Kamu sendiri udah baca atau belum? Harusnya itu lewat seleksi kalian, ‘kan?” tanya Kharisma saat jam istirahat di kantin.
Feng langsung menjawab, “Belum. Yang dapet tugas baca buku itu anak lain. Kalo boleh jujur… itu tipe buku yang paling aku tidak sukai.”
Kharisma yang bingung bertanya, “Anggota komite perpustakaan punya tipe buku yang dibenci. Nggak salah, tuh? Kata anak-anak buku itu…”
“Stop, Kharisma!” sentak Feng. “Buku itu tebelnya segini,” kata Feng sambil menunjukkan telunjuk dan jempolnya yang berjarak sekitar sepuluh senti.
“Tapi semua anak bilang kalau buku itu adalah sebuah maha karya yang jenius dan sangat luar biasa atau apalah namanya. Masa kamu nggak baca? Nggak tertarik?” tanya Kharisma lagi.
“Jadi tertarik, sih. Cuma belum sempat minjam. Selalu keduluan anak lain terus,” jawab Feng akhirnya mengikuti saja apa yang ingin anak remaja di depannya dengar saat ini. Terus mengaku bahwa ia tak ingin baca juga memang bisa jadi kontrakdiksi untuk profesi yang ia jalani di perpustakaan.
“Mercy udah pinjam?” tanya Kharisma lagi.
Feng langsung bertanya lagi, “Kenapa kamu nggak…”
Tanya sendiri saja, deh. Wajah Feng juga sudah terlihat malas melayani Kharisma. Tugas bacanya tinggal lima buku. Ia tak ingin diusik oleh godaan akan buku yang lain.
*
Di ruangan klub mereka. Lagi-lagi Mercy terkepung oleh tiga orang yang siap mengintrogasi dirinya. Ia selalu menjadi murid pertama di luar anggota perpustakaan (entah komite maupun klub) yang mendeteksi keberadaan buku bagus. Jika buku itu memang bagus, direkomendasikan, ia pasti sudah tau.
“Enggak, tuh,” jawab Mercy dengan suara datar. Kharisma dan yang lainnya langsung melongo tak percaya.
Sera langsung berujar, “Para anak yang selama ini selalu malas baca aja sampai sebegitunya. Kamu yang gila buku kok bisa nggak tau?” tanyanya penasaran.
“Siapa namanya? Pediccalo?” tanya Mercy.
“PECCADILO!” koreksi Sera.
“Ah, iya, dia, aku nggak begitu suka sama penulis yang pakai nama pena aneh begitu. Penulis itu kan harus jujur sama para pembacanya. Kalau identitasnya aja dia sembunyiin, gimana kita bisa tau originalitas karyanya dia?” jawab Mercy sekaligus balik tanya.
Kata-kata itu lebih ia tujukan terhadap dirinya sendiri.
“Tapi kalau aku nggak tau, bisa-bisa jadi kurang apdet,” kata Kharisma.
“Kira-kira di dunia luar, ‘Serial Kejahatan Manusia’ punya efek yang sama nggak ya?” tanya Feng.
“Temen-temen, aku lagi kaya raya nih. Pulang sekolah aku traktir makan, yuk,” tawar Mercy tiba-tiba. Seperti ingin mengalihkan topik pembicaraan semua temannya ke hal lain yang lebih ingin ia bahas timbang topik tidak jelas seperti itu.
*
Pulangnya mereka berempat memutuskan pergi ke kedai mie ayam. Tak seperti permintaan dua temannya di tempat kerja, ketiga temannya di sekolah cukup pengertian dengan kondisi anak rantauan.
Lima orang teman. Bukankah itu sudah cukup banyak? Seorang Mercy Adiratna Martaka tak membutuhkan lebih dari itu. Ia akan berusaha melakukan yang terbaik demi teman-temannya. Sekalipun persepsi itu bisa menghancurkannya dari dalam.
“Eh, temen-temen, aku rasa aku punya ide yang cukup cemerlang,” kata Sera setelah menuntaskan mangkuk keduanya.
“Silau!” goda Kharisma yang mengundang Feng untuk menonjok lengannya.
“Aku pengen menyelesaikan masalah semua orang. Gimana kalau kita buka klub penyelesaian untuk umum?” tanya sekaligus saran Sera pada tiga teman laki-lakinya yang lain.
“Aku juga penasaran sama kehidupan para anak lain sekolah kita. Sekolah kita itu kan punya tekanan yang cukup tinggi. Para anak orang kaya dan biasa aja bercampur jadi satu. Pasti ada banyak yang punya masalah seperti Mercy,” respon Kharisma.
“Semoga aku bisa dapetin gebetan baru dengan jadi ladang curhatan mereka,” modus Feng.
“Yee, dasar manusia kadal!” ledek Kharisma seraya tertawa puas.
"HAHAHA," tawa Feng balik.
Mercy terdiam sendiri. Keadaan seperti ini tak pernah ia bayangkan akan terjadi sepanjang hidupnya. Karena pada masa sebelumnya, ia telah memutuskan untuk mengurung diri di suatu tempat.
Namun dunia berubah dengan cepat.
“Mercy, gimana? Kamu setuju apa nggak?” tanya Kharisma sungkan. Ia kira Mercy sedang pusing memikirkan tagihan makan mereka. Sera dua mangkuk. Feng empat mangkuk. Kharisma sendiri cukup dengan tujuh mangkuk.
Itukah yang disebut cukup pengertian dengan kondisi anak rantauan?
Mereka cuma aji mumpung!
“Lakuin aja apa pun yang bikin kalian seneng. Aku nggak mau buang-buang tenagaku,” jawabnya datar.
Mendengar respon itu membangkitkan aura jahat Feng dan Kharisma. Mereka lantas berteriak, “Pak! Dua mangkuk lagi!”
“Kalian nantangin, ya?!” tanyanya berganti nada angkuh. “Kalian beli toko ini juga harganya nggak ada sepersepuluh dari duitku sekarang!”
“Ahahaha!!!”
Sebenarnya Mercy bukan tipe yang suka menghamburkan uang. Ia bukan tipe pemuda yang akan menggunakan banyak uang hanya untuk bersenang-senang. Namun hari ini ia membuat pengecualian. Ia ingin merasakan rasanya bersenang-senang ala anak muda normal.
Semoga tak ada yang merusak niatan itu.