Kemari!

1279 Words
SMA Apocalypse atau Apocalypse High School merupakan sekolah swasta terbesar di Number Thirty Nine. Sekolah ini terbagi menjadi empat jurusan; jurusan ilmu pengetahuan alam, jurusan ilmu pengetahuan sosial, jurusan bahasa nasional, bahasa daerah, dan bahasa internasional, juga jurusan kelas internasional. Jurusan kelas internasional sendiri menggunakan kurikulum internasional yang berbeda dengan kelas lain dan pengantar yang digunakan adalah bahasa Inggris. Yang masuk jurusan ini sendiri didominasi oleh para anak asing yang berhubungan dengan keluarga para ekspatriat di Indonesia. Sekolah ini banyak menarik para siswa dan siswi dari luar negeri untuk jadi pelajar di dalamnya. Pasalnya konsep sekolah dengan pendidikan berbasis penanganan dampak bencana pertama kali diusung oleh Apocalypse High School. Apocalypse High School didirikan oleh empat keluarga paling kaya di Indonesia (disebutnya Four Hank); Felton, Erstungkoro, Ksathra, dan Devaki. Walau menggunakan pengantar bahasa Inggris, para siswa dan para siswi kelas internasional juga wajib untuk mempelajari bahasa Indonesia. Mereka juga tak akan dapat kelebihan apa pun dibanding para siswa dan siswi asli negeri ini. Masing-masing jurusan miliki gedung mereka sendiri. Gedung-gedung itu terdiri dari empat tingkat dan dihubungkan oleh sebuah jembatan. Masing-masing gedung memiliki nama, lambang, dan moto yang berbeda. Mercy, Sera, dan Kharisma bernasib menduduki gedung Harietta Kaihan yang bermakna pemimpin alam semesta yang digunakan untuk jurusan ilmu pengetahuan alam. Sementara Feng berasal dari gedung yang berjarak dua jembatan, Musidora Durand yang bermakna hasil renungan abadi yang digunakan untuk jurusan ilmu pengeahuan sosial. Gedung sekolah yang sangat besar berguna untuk menampung puluhan hingga ratusan ribuan siswa dari sekian banyak pendaftar tiap tahunnya. Tak heran sekolah ini miliki iklim yang mendukung bercampurnya banyak kebudayaan dan latar belakang. Sangat berguna untuk menumbuhkan sikap empati lebih dalam guna menghadapi masa depan yang tak terduga nanti. Ł Keempat anggota klub penyelesaian sore itu tergeletak tak berdaya di ruang klub mereka. Tubuh mereka nyaris basah bermandikan peluh. Semua nyaris tak bisa bersuara. Alasannya karena setelah pulang sekolah, keempatnya sibuk mengelilingi seluruh bagian sekolah mereka. Mercy dan Kharisma mengelilingi gedung Harietta Kaihan (ilmu pengetahuan alam) dan gedung Archibald Theodore yang bermakna anugrah Tuhan yang sangat berani untuk jurusan bahasa. Sementara Sera dan Feng kebagian gedung Musidora Durand (ilmu pengetahuan sosial) dan gedung Valentina Pierrepont yang bermakna jembatan batu yang kuat dan penuh semangat untuk jurusan kelas internasional. Bukan hanya itu. Masing-masing jurusan, tiap tingkat terdiri dari dua puluh kelas. Dan mereka mengunjungi semua kelas itu, sibuk lakukan promosi, mencuapkan berbagai macam janji, dan harus tetap memasang wajah penuh semangat. Semua demi promosi dibukanya klub mereka untuk umum. Mereka berusaha menarik perhatian sebanyak mungkin murid. Dengan harapan, saat dibuka besok, ruangan klub mereka terlihat dengan antrian murid yang hendak konsultasi. “Aku udah nggak sabar,” kata Sera diiringi desahan ketika sudah cukup kuat untuk bicara. “Usaha kita pasti akan menunjukkan hasil,” sambung Kharisma sambil membalik tubuh ke arah lain. “Aku heran,” kata Feng sambil menatap langit-langit di atas kepalanya. “Kenapa kita nggak buat selebaran aja dan pasang di majalah dinding elektronik? Ada puluhan majalah dinding semacmam itu di sekolah kita. Terus bisa juga iklan lewat klub penyiaran. Kita semua kan punya SP (smartphone). Kenapa nggak iklan lewat situ. Kurasa cara itu lebih efektif timbang bertindak kayak tadi. Kita malah keliatan mencurigakan,” ucapnya sambil menghela nafas lelah. Hah. Kharisma langsung menengok tajam ke arah Feng, "..." Anak remaja itu langsung gugup dibuatnya, “Ada apa dengan kamu?” “Kenapa kamu nggak ngomongin hal itu dari tadi, FENG?!!” tanya Kharisma sambil memegang kedua pelipis Feng. Sebelum mulai sendiri Kharisma memang sudah menanyakan bagaimana pendapat anggota klub tentang cara yang harus mereka gunakan untuk lakukan promosi untuk klub mereka. Tapi semua orang hanya diam saja sampai Sera mengusulkan cara itu. Jadilah… Feng hanya merespon dengan cengiran tanpa makna. Habis kalau boleh jujur ia sendiri memang baru memikirkan hal itu barus saja. “Kamu itu bener-bener nggak akan ngomong kalau nggak ada yang mancing ya, Mercy,” keluh Kharisma menghadapi kebisuan Mercy. Pemuda itu sejak berbaring tak mengeluarkan sepatah kata pun. “Kalau gitu terus pertemanan kamu bisa stuck di kami, lho. Masa kamu mau temenan sama kami doang selamanya,” tambah Feng. “Ngomong-ngomong, kamu kalau udah lulus mau lanjut kuliah apa?” tanya Kharisma mengalihkan topik. Dipikirnya, mungkin Mercy masih sangat kelelahan. Feng menjawab, “Aku pengen kuliah buat jadi pustakawan. Habis itu ngelamar kerja di perpustakaan sekolah ini lagi.” “Kamu suka sama masa SMA kamu, ya?” tanya Kharisma. Feng menjawab, “Suka banget. Sebenernya orang tuaku itu dokter. Mereka pengen aku jadi dokter juga. Tapi aku nggak mau. Makanya aku kabur ke sini. Kalau kamu?” tanyanya balik. “Apa ya? Aku nggak punya mimpi apa pun,” jawab Kharisma tersenyum kecil. “Ngomong-ngomong, tumben ya hari ini Sera diam,” ledek Feng. Sera kan biasanya memang jadi ornag yang paling banyak bicara di kelompok mereka. Ia menengok ke arah Sera yang tampaknya sedang sibuk mengamati Mercy. “Aku bingung. Mercy kenapa diam aja ya?” tanya Sera. Feng berkata, “Tidur kali. Biarin aja. Nanti kalau kita mau pulang baru dibangunin.” “Aku pengen ngejahilin mukanya ah!” kata Feng seraya bangkit dari posisi. Kharisma langsung memelototi anak yang sering dikira keturunan China itu. “Kharisma nggak asik,” ia mendengus kesal. Setelah sekitar setengah jam sibuk bercengkrama, akhirnya mereka siap-siap bebenah untuk pulang. Langit sudah gelap dan waktu menunjukkan pukul enam lewat. Feng melihat Mercy yang masih tidur saat mereka sudah bangkit. “Woy, Mas, bangun!” koyaknya ke lengan Mercy. “Kalau nggak salah jam enam itu Mercy harusnya kerja, ‘kan? Mercy!” panggil Sera di telinganya. Kharisma melihat aneh ke pemuda itu. Ia tak terusik sama sekali dengan panggilan teman-temannya. Ia mualai merasa curiga. Digoyangkan ke kiri dan ke kanan wajahnya. Ia tetap tak berkutik. “Jangan-jangan Mercy pingsan,” kata Feng ngeri. Menyadari kemungkinan ucapan Feng, ia dan Feng langsung berusaha membopong tubuh Mercy ke komite kesehatan sekolah. Di pintu gedung yang terletak sekitar seratus meter dari ruang klub mereka itu langkah mereka terhenti. Sera sibuk memencet bel. Namun tak ada respon apa pun dari dalam. Sekolah mereka sudah sepi. “Gimana, nih?” tanya Sera gusar. “Kalian melakukan apa saja di sana?” tanya seorang pemuda yang lewat dekat sana. Ia menghampiri keempatnya. “Kalian mau ngapain?” tanyanya lagi. “Dit, gedung kesehatannya kenapa ditutup?” tanya Kharisma. “Ada yang pingsan, nih.” Pemuda bernama Radith itu memegang dagunya sambil berdehem. “Dokter sekolah yang lama udah keluar karena menikah. Untuk beberapa saat, gedung ini memang ditutup. Tapi nggak akan lama,” jawabnya. “Terus kalau ada murid yang sakit gimana?” geram Feng kesal. Radith menjawab, “Mereka bakal dibawa ke klub kesehatan sekolah (UKS). Tapi klub itu tutup bersamaan dengan waktu pulang sekolah. Emang kalian habis ngapain?” Tanpa menghiraukan pertanyaan Radith, Kharisma langsung membawa tubuh Mercy menuju gerbang sekolah. Itu membawa pertanyaan bagi Sera dan Feng. “Kamu mau ngapain, Ris?” tanya Sera. Lagi-lagi tanpa menghiraukan pertanyaan temannya, Kharisma terus memacu langkahnya. Bukannya ia mau sok keren dengan bersikap diam. Tapi berjalan sejauh itu, ditambah membopong tubuh Mercy, kalau harus bicara lagi akan sangat melelahkan. Ia berusaha meniru asas efektivitas Mercy. Tak lama kemudian sampailah mereka di depan bangunan sebuah apartemen mewah. Itulah apartemen Kharisma. Ia memilih berpikir singkat dengan membawa Mercy ke rumahnya. Daripada mengharapkan bantuan yang takkan datang. Sesampainya di kamar, Kharisma dan Feng langsung membaringkan tubuh Mercy di ranjang. Wajahnya sangat pucat. Ketika Sera menggulung lengan Mercy untuk memberinya angin, gadis itu langsung bergidik histeris. “Jangan berisik!” teriak Kharisma dari dapur. Ia khawatir sampai tetangga tau ia memasukkan perempuan ke kamarnya. Feng muncul di ambang pembatas dapur. Ia mengayunkan tangannya. “Sini, deh!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD