HARUSKAH TETAP BERTAHAN?

1170 Words
Usai bergelut dengan pekerjaan rumah, Rachel segera menata makan siang yang disukai sang mertua, ke dalam tempat makan. Setelahnya, mengantar sendiri bekal tersebut. Bagaimana pun, ia akan memberitahu sang mertua tentang kelakuan Dita yang sudah tidur dengan suaminya. "Selesai. Sekarang aku akan bersiap-bersiap," gumam Rachel. Wanita itu segera menuju kamarnya. Tidak butuh waktu lama bagi Rachel untuk berganti pakaian. Kemudian, ia memoles wajahnya tipis. Rachel mematut diri di depan cermin. Senyum cantik merekah di bibir mungil wanita itu. Tanpa membuang waktu, Rachel segera menuju toko. Jarak antara rumah dengan toko tak begitu jauh. Sudah menjadi rutiinitas rutin, untuk mengantarkan makan siang untuk sang mertua. Karena itu, dalam waktu lima belas menit Rachel sudah tiba. Saat ini, toko tidak terlalu ramai. Hanya beberapa pelanggan yang terlihat di dalam. "Ma," sapa Rachel lembut. Pandangan Reni terangkat selama beberapa detik. Setelahnya, ia kembali fokus pada kertas yang tengah ia baca. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Reni ketus. Ia sangat tidak menyukai kehadiran Rachel. Karena itu, sikapnya tidak ramah. "Ini, Rachel bawakan makan siang untuk, Mama." Rachel mengangsurkan kotak bekal yang ada di tangannya. "Taruh saja di situ." Reni berucap tanpa menatap Rachel. "Mama, gak makan dulu? Ini, 'kan udah masuk jam makan siang," ujar Rachel seraya menatap jam yang tergantung di sana. "Nanti saja! Mama lagi sibuk!" jawab Reni masih dengan nada ketus. Rachel menghela napas perlahan. Wanita itu masih berdiri di depan meja kasir. Sementara dari sudut yang tak terlihat, Dita tersenyum miring melihat Rachel yang seakan diacuhkan sang mertua. "Kamu ngapain masih di sini? Sudah sana pulang!" usir Reni pada Rachel. "Tapi, Ma …." Ucapan Rachel terpotong. "Gak ada tapi-tapian. Sana pulang!" Kembali, Reni mengusir Rachel. Dengan wajah yang tertekuk, Rachel pun memilih menuruti keinginan sang mertua. Gagal sudah rencananya. "Mungkin, aku harus bicara nanti malam sama, Mama," batin Rachel. Sepeninggal Rachel, Dita mendekati Reni. Matanya melirik kotak bekal yang dibawakan oleh Rachel tadi. "Kenapa? Kamu mau?" tanya Reni yang meliht Dita mengintip kotak bekalnya. "Ng-ngak, kok, Bu," sangkal Dita. Sesaat Dita terdiam. Ia berpikir untuk bertanya pada Reni perihal Septian. "Bu, boleh Dita tanya sesiatu?" "Tanya apa?" Reni masih menikmati makan siangnya. "Ehm, begini. Menurut Ibu, mungkin nggak kalau Mas Septi selingkuh? Secara, Mas Septi punya jabatan bagus di kantor. Udah gitu, orang di kantornya pasti cantik-cantik. Apalagi, Mas Septi juga ganteng …." Ucapan Dita terhenti saat Reni meletakkan sendok dengan kasar di meja. "Maksud kamu apa, nanya kaya gitu? Anak saya itu, cowok baik-baik, ya." Tatapan Reni seolah ingin menelan Dita hidup-hidup. Gadis bukan perawan itu pun menelan salivanya dengan susah payah. "Bu-bukan gitu, Bu. Siapa tahu, Mas Septi menginginkan kehadiran anak. Mas Septi dan Mbak Rachel sudah menikah kurang lebih dua tahun, tapi sampai saat ini tidak ada tanda-tanda Mbak Rachel hamil." Dita dengan cepat menguasai keadaan. Gadis itu seakan tengah mencari dukungan atas hubungan terlarangnya dengan Septian. Apapun itu, hanya Dita sendirilah yang tahu maksud dari pertanyaannya. "Kalau gara-gara itu, saya sebagai ibu mendukung saja. Saya, 'kan juga iri lihat teman-teman yang menggendong cucu. Lagian, itu bukan salah Septi lah! Rachel aja yang mandul!" Raut wajah Reni terlihat sangat kesal saat membicarakan hal itu. Senyum aneh terlihat di bibir Dita. "Oh, gitu. Apa, Ibu, nggak kasihan sama Mbak Rachel?" Dita kembali bertanya. "Itu sih, nasib dia! Siapa suruh nggak bisa kasih anak untuk Septian?" Reni membereskan kotak bekal yang isinya sudah berpindah ke dalam perut. "Oh." Hanya kata itu yang terucap dari bibir Reni. Dita pun berpamitan untuk melanjutkan tugasnya. *** Nabastala telah berubah menjadi kelabu, sebagai pertanda akan turun hujan. Sementara itu, jam di dinding masih menunjukkan pukul tiga sore. Rachel berada di rumah sendiri pun, memilih bergelung dengan selimut. Suara dering ponsel mengganggu kesenangannya. Gegas ia meraih ponsel itu. Menatap sekilas nama si pemanggil. "Kenapa Ryan tiba-tiba telepon?" gumam Rachel. Rachel menajamkan indera pendengarannya. Mencoba mencari tahu, adakah seseorang yang tiba di rumah? Setelah yakin tak ada, ia segera menjawab panggilan itu. "Halo," sapa Rachel. "Sampai kapan kamu akan menghindar? Ini sudah dua tahun! Apa belum cukup main-mainnya? Kamu tahu, 'kan aku harus segera kembali?" Nada bicara Ryan terdengar begitu dingin. "Maaf, ya. Tolong tunggu sebentar lagi. Secepatnya, aku akan kembali ambil alih." Rachel selalu menjawab dengan kalimat yang sama. "Kalau begitu, aku akan mengirim beberapa berkas. Kamu harus pelajari dengan baik! Jika kurang mengerti, hubungi aku!" Panggilan itu pun terputus secara sepihak. Tak lama, pesan dari Ryan telah masuk. Baru saja Rachel membaca beberapa lembar, ponselnya kembali berdering. Kali ini, suaminya lah yang mengirim pesan. Septian mengirimkan pesan yang berisi kata-kata rayuan. Bahkan, ia menyertainya dengan emoticon. Pesan itu membuat Rachel melambung tinggi hingga ke awan. Tanpa Rachel ketahui, kini Septian tengah memadu kasih dengan wanita lain. Berbagi peluh dan saliva di sebuah kamar hotel. Suara rintihan dan deru napas terdengar memenuhi ruang kamar itu. Sebelum pulang ke rumah, Septian menelepon Dita. Lelaki itu meminta Dita datang ke hotel. Septian merasa, jika dia sudah tidak lagi merasa aman jika mengajak Dita bercinta di rumah mereka. Sejak kejadian kemarin, Septian tidak ingin mengambil resiko. Dia tidak mau kalau sang istri kembali memergokinya sedang bercinta dengan karyawan toko milik ibunya yang begitu membuatnya tergila-gila. Sementara itu, Rachel kembali ke tujuan awal. Perlahan, dia mulai mempelajari setiap detail, seperti yang Ryan ajarkan sebelum para penghuni rumah yang lain kembali. *** Malam hari di kediaman Rachel dan Septian terasa sedikit sunyi. Tidak seperti biasanya. Tak lama, pintu depan terbuka memperlihatkan kedatangan Reni. Wajahnya terlihat begitu kelelahan. Rachel berinisiatif untuk memijat sang mertua. Setelahnya, ia akan memberitahu Reni perihal kelakuan Dita yang berani bermain api. "Mama, capek, ya?" tanya Rachel memulai pembicaraan. Reni mengerutkan dahi dalam melihat inisiatif Rachel. "Apa maumu?" tanya Reni cepat. Dia menebak kalau saat ini pasti Rachel sedang menginginkan sesuatu karena perempuan itu terlihat begitu memperhatikannya sedari tadi siang. Rachel tergagap mendengar ucapan mertuanya yang tanpa basa-basi. "A–aku–" "Bicara yang jelas, Rachel!" potong Reni kesal. "Mm ... aku ingin Mama menyuruh Dita pergi dari rumah ini. Maksudku, biarkan Dita tinggal di tempat lain, jangan di rumah ini," ucap Rachel dengan terbata. Jantungnya berdetak kencang menanti jawaban Reni. "Memang kenapa kalau dia di sini? Bukankah ada banyak kamar kosong di sini?" Nada suara Reni naik dua oktaf hingga memenuhi ruang tamu. Wanita paruh baya itu merasa kesal mendengar ucapan menantunya. "Bu-bukan gitu, Ma. Aku cuma nggak mau Mas Septi digoda sama perempuan itu," jawab Rachel jujur. "Apa maksud ucapan kamu, Rachel? Kamu takut anakku selingkuh, begitu?" Tatapan Reni begitu tajam pada Rachel. Tak ada sahutan dari bibir Rachel. Wanita itu hanya mampu menundukkan kepala dalam. Apalagi, saat melihat tatapan sang mertua yang seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. "Dengar, ya! Kalau sampai Septian selingkuh, itu salah kamu! Seharusnya kamu introspeksi diri!" bentak Reni. Seketika, tubuh Rachel lemah tak berdaya mendengar ucapan sang mertua. "Apakah ini artinya, Mama tidak masalah dengan perselingkuhan Mas Septian?" batin Rachel. Hatinya terasa remuk berkeping-keping mendengar ucapan mertuanya. Niat hati ingin mendapatkan pembelaan dari sang ibu mertua, malah mendapatkan kenyataan jika ibu dari suaminya itu ternyata terang-terangan mendukung jika Septian selingkuh darinya. "Haruskah aku tetap bertahan menjalani pernikahan ini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD